Sejumlah pengamat dan Ekonom saat ini mulai mewanti-wanti dampak yang akan ditimbulkan oleh kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, yang sudah dikonfirmasi akan mulai berjalan pada 1 Januari 2025 nanti oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati pada Rabu 13 November 2024 lalu.
Menurut keterangan Ekonom serta pakar kebijakan publik Universitas Pembangunan Nasional ‘Veteran’ Jakarta, Achmad Nur Hidayat, ada beberapa risiko yang sangat berpotensi akan ditimbulkan dari penerapan kebijakan ini. Salah satunya adalah menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap Pemerintah.
Selain itu, ketidakpuasan ini dapat memunculkan resistensi sosial yang lebih besar, sebagaimana terlihat dari banyaknya penolakan yang sudah bermunculan.
“Di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu, masyarakat berharap pemerintah hadir dengan solusi yang memudahkan kehidupan mereka, bukan justru membebani dengan tambahan pajak,” ujar Achmad saat dihubungi oleh Disway.Id pada Sabtu 16 November 2024.
Tidak hanya itu, Achmad juga menambahkan bahwa kenaikan tarif PPN hampir pasti memicu inflasi, yang merupakan ancaman besar bagi stabilitas ekonomi.
Inflasi yang tinggi tidak hanya merugikan masyarakat tetapi juga sektor usaha kecil dan menengah (UKM). Lebih jauh lagi, inflasi yang dipicu oleh kenaikan PPN ini nantinya juga dapat menjadi hal yang akan menghambat investasi.
“Investor mungkin ragu untuk menanamkan modalnya di pasar yang kurang stabil, mengingat daya beli yang menurun dan prospek ekonomi yang melambat,” ucap Achmad.
Selain itu, Achmad melanjutkan, salah satu alasan utama kenaikan PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan negara. Namun menurutnya, argumen ini juga patut untuk dipertanyakan.
Pasalnya, masih banyak potensi penerimaan pajak yang belum digarap secara optimal, terutama dari sektor-sektor ekonomi besar yang selama ini belum terjangkau secara maksimal.
“Alih-alih membebankan masyarakat dengan pajak yang lebih tinggi, pemerintah seharusnya berfokus pada memperluas basis pajak dan memperbaiki efisiensi penerimaan pajak,” pungkas Achmad.
Menurut Achmad, penggunaan anggaran untuk proyek-proyek mercusuar yang kurang relevan dengan kebutuhan masyarakat seharusnya dikurangi.
Reformasi fiskal yang fokus pada efisiensi anggaran akan lebih efektif daripada sekadar menaikkan pajak.
HARUS BERDAMPAK KE KESEHATAN MASYARAKAT
Ketua Yayasan Pengembangan Medis Indonesia (Yapmedi) Prof dr Muchtaruddin Mansyur, MS, SpOK, PhD mengingatkan, agar kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen harus turut dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Salah satunya terkait dengan kesehatan
Terlebih, beberapa waktu belakangan ramai dibicarakan mengenai isu kenaikan iuran BPJS Kesehatan lantaran adanya potensi gagal bayar akibat defisit hingga Rp20 triliun.
“Dengan kenaikan pajak yang mulai Januari, harus ada alokasi untuk ke sana (layanan kesehatan),” terang Muchtar ketika ditemui di Gedung Smesco, Jakarta Selatan, 16 November 2024.
Dengan begitu, layanan kesehatan dapat diningkatkan tanpa harus membebani masyarakat, dalam hal ini menaikkan iuran BPJS Kesehatan.”Sehingga dimungkinkan layanan kesehatan itu bisa ditingkatkan tanpa harus membebani masyarakat. Bahwa memang kebutuhan itu meningkat dan itulah yang sebetulnya upaya promotif preventif itu yang harus digalakkan,” lanjutnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulwani Indrawati menjelaskan kenaikan PPN 12 persen tersebut tertuang dalam UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Ditegaskannya bahwa hal ini sudah diputuskan dengan melalui banyak pertimbangan bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Menurut Sri Mulyani, kenaikan PPN 12 persen ini akan diterapkan dengan saksama serta pihaknya menyosialisasikan kepada masyarakat.
“Bukannya kita membabi buta atau tidak perhatian kepada sektor-sektor lain, tapi APBN harus mampu merespons global financial crisis, kesehatannya harus kita jaga,” tutur Sri Mulyani dalam keterangan resminya, Jumat, 15 November 2024.(DISWAY.ID/ARIE)