Transisi energi melalui kebijakan biomassa Co-Firing, nampaknya masih harus melalui jalan panjang dan berliku.
Program Co-firing di PLTU Teluk Balikpapan merupakan bagian dari komitmen Indonesia dalam menurunkan emisi karbon, sekaligus memenuhi kebutuhan energi secara berkelanjutan.
Meskipun sudah dimulai sejak akhir 2022, implementasi program Co-Firing di PLTU terbesar di Pulau Kalimantan tersebut menghadapi berbagai kendala teknis dan tantangan di lapangan.
Kebijakan Co-Firing dengan biomassa diperkenalkan melalui Peraturan Menteri No 12 Tahun 2023, yang mewajibkan PLTU di seluruh Indonesia untuk mulai menggantikan sebagian batu bara dengan biomassa.
Kebijakan ini dirancang untuk mengurangi emisi karbon dan meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional, yang ditargetkan mencapai 23 persen pada 2025.
Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap batu bara, yang merupakan salah satu penyumbang emisi karbon terbesar di sektor energi.
PLTU Teluk Balikpapan, dengan kapasitas sebesar 2×110 megawatt (MW), telah menerapkan kebijakan ini sejak Desember 2022 dengan mencampurkan biomassa hingga 3 persen dari total bahan bakar yang digunakan.
Biomassa yang dipilih berupa limbah kayu jenis Woodchip, yang diperoleh dari wilayah sekitar Balikpapan. Limbah kayu ini kemudian dicampurkan dengan batu bara di area stok bahan bakar sebelum proses pembakaran berlangsung.
Penggunaan Woodchip sebagai biomassa bukan hanya membantu mengurangi emisi karbon, tetapi juga membuka peluang baru bagi pengelolaan limbah kayu lokal, yang sebelumnya dianggap kurang bernilai ekonomi.
Di tingkat nasional, sebanyak 52 PLTU lainnya juga diwajibkan melakukan program Co-Firing dengan menggunakan 5-10 persen biomassa sebagai bahan bakar. Hal ini diharapkan dapat mengurangi emisi polusi dari pembakaran batu bara, yang masih menjadi sumber utama pembangkit listrik di Indonesia.
Kebijakan ini merupakan bagian dari komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris, di mana negara ini berjanji untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mempercepat transisi menuju sumber energi terbarukan.
Menurut data global, pada tahun 2022, PLTU berbasis batu bara di seluruh dunia menghasilkan emisi sebesar 8,99 miliar ton CO2, dengan kontribusi Indonesia mencapai sekitar 214 juta ton.
Tingginya angka ini mencerminkan pentingnya langkah nyata dalam menurunkan emisi, khususnya dari sektor energi yang masih bergantung pada batu bara. Dengan meningkatnya penggunaan biomassa sebagai alternatif, Indonesia berharap dapat mengurangi dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pembangkit berbasis batu bara.
Namun, pelaksanaan Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan dan pembangkit lainnya masih menemui berbagai kendala. Termasuk ketersediaan pasokan biomassa yang stabil dan keterbatasan infrastruktur yang mendukung penggunaan bahan bakar campuran ini.
Pasokan Woodchip, misalnya, memerlukan rantai pasokan yang stabil agar volume biomassa dapat memenuhi kebutuhan harian pembangkit tanpa terganggu. Selain itu, teknologi pembakaran di beberapa PLTU juga perlu penyesuaian agar dapat mengolah campuran biomassa dan batu bara secara optimal.
Kendati demikian, PLTU Teluk Balikpapan tetap optimistis dapat meningkatkan persentase biomassa dalam bauran energinya dalam beberapa tahun ke depan. Dukungan dari pemerintah dan kolaborasi dengan sektor swasta diharapkan dapat mempercepat penyediaan infrastruktur dan pasokan biomassa, sehingga transisi energi menuju energi terbarukan ini bisa berjalan lebih lancar.
Di sisi lain, edukasi dan sosialisasi terkait kebijakan ini juga diperlukan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pentingnya transisi ke energi hijau dan upaya mengurangi dampak negatif dari penggunaan batu bara.
Dengan kombinasi kebijakan pemerintah, komitmen industri, dan dukungan masyarakat, PLTU Teluk Balikpapan meyakini bahwa langkah-langkah ini akan memberikan kontribusi signifikan dalam mengurangi emisi karbon dan meningkatkan kualitas lingkungan di masa depan.
Melalui upaya yang berkelanjutan, diharapkan PLTU Teluk Balikpapan dapat menjadi contoh nyata dalam mengimplementasikan transisi energi yang lebih bersih dan ramah lingkungan di Indonesia.
Kebijakan Co-Firing: Langkah Awal Pengurangan Emisi Karbon dan Tantangan Pasokan Biomassa
Team Leader Bidang Niaga dan Bahan Bakar di PLTU Teluk Balikpapan, Alif menyatakan bahwa penggunaan biomassa dapat mendukung pencapaian target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025.
Namun, hingga saat ini, penggunaan biomassa baru mencapai 3 persen dari total konsumsi bahan bakar, dengan batu bara masih mendominasi sebagai sumber energi utama.
“Kami sedang berusaha keras untuk meningkatkan proporsi biomassa, tetapi tantangan yang kami hadapi cukup besar,” ujar Alif.
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi Co-Firing adalah ketersediaan pasokan biomassa. “Kami pernah mencoba pasokan dari Sotek, Penajam Paser Utara (PPU), tetapi pengiriman melalui laut dengan tongkang tidak efisien dan mengakibatkan kerugian,” jelas Alif.
Pengiriman biomassa sering terhambat oleh cuaca dan kondisi laut yang tidak menentu, yang mengganggu kelancaran suplai.Kebutuhan konsumsi biomassa maksimal PLTU Teluk Balikpapan mencapai 100 ton per hari, namun saat ini rata-rata pasokan yang tersedia hanya sekitar 30-50 ton per hari.
PLTU Teluk Balikpapan melakukan kerja sama dengan kelompok tani dan berbagai komunitas pengelola limbah kayu di sekitar Balikpapan. “Kami mencoba menjalin kemitraan dengan masyarakat lokal untuk meningkatkan pasokan biomassa,” beber Alif.
Namun, kendala logistik dan harga beli biomassa yang rendah menjadi penghalang dalam mencapai target. Di samping masalah pasokan, aspek ekonomi juga menjadi tantangan.
Alif menjelaskan bahwa biaya biomassa dihitung setara 1,2 kali harga batu bara, tetapi biaya transportasi tidak diakomodasi dalam aturan.Ini membuat pemasok enggan berinvestasi lebih jauh dalam penyediaan biomassa, karena mereka tidak mendapatkan keuntungan yang memadai.
PLTU Teluk Balikpapan kini berupaya memperluas sumber biomassa dengan menjajaki kerja sama baru. Alif menyampaikan bahwa pihaknya sedang mencari lahan untuk kerja sama yang lebih luas, termasuk dengan institusi seperti Perhutani. Namun, proses ini masih dalam tahap awal dan membutuhkan waktu untuk mencapai skala yang diharapkan.
Selain itu, pemerintah daerah juga diharapkan dapat lebih proaktif dalam mendukung upaya transisi energi.
Sudirman dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Balikpapan menekankan bahwa pihaknya siap mendukung kolaborasi antara PLN dan pemangku kepentingan lainnya.
“Ini penting untuk memastikan keberlanjutan program ini,” tegasnya.
Meskipun PLTU Teluk Balikpapan telah memulai langkah awal dalam pemanfaatan biomassa, realisasi transisi energi ini masih jauh dari target.
Alif menekankan bahwa Koordinasi yang lebih baik antara PLN, pemerintah daerah, dan pemasok lokal, serta dukungan kebijakan yang menyeluruh, sangat dibutuhkan agar program Co-Firing ini dapat berjalan optimal dan berkelanjutan.
Saat ini dengan seluruh tantangan yang masih banyak menghadang, semua pihak harus dapat bekerja sama untuk menciptakan solusi yang tidak hanya menguntungkan dari segi ekonomi tetapi juga menjaga keberlanjutan lingkungan, demi masa depan yang lebih baik bagi masyarakat dan alam di sekitar PLTU Teluk Balikpapan.(salsa/arie/bersambung)