Jabatan boleh setinggi layang-layang putus. Nama boleh sebesar bola dunia. Tapi yang paling berkuasa tetaplah yang memegang uang. Apalagi kalau si pemegang dana sekaligus yang berwenang mengeluarkan uang.
Pun ketika saya menjabat CEO Jawa Pos Group duluuuu. Yang paling berkuasa tetaplah direktur keuangan.
Saya boleh punya inovasi sebanyak bintang di langit. Tapi program itu tidak bisa jalan kalau uangnya tidak bisa cair. Atau cairnya pakai gaya hemat seorang yang punya sikap keuangan seperti dirinyi.
Apalagi secara pribadi saya memang punya tekad tidak mau menangani urusan uang. Biarlah uang di tangan orang yang punya sikap keuangan.
Saya membedakan antara orang yang punya ‘sikap keuangan’ dan orang yang ‘ahli keuangan‘.
Seorang ‘ahli keuangan’ belum tentu punya ‘sikap keuangan’. Begitu pula sebaliknya. Tapi ada juga orang yang ahli keuangan sekaligus punya sikap keuangan.
Tidak banyak.
Dr Sri Mulyani kelihatannya termasuk yang tidak banyak itu. Maka Presiden Prabowo tetap memintanyi untuk menjadi menteri keuangan.
Seandainya saya dihadapkan hanya dua pilihan –‘ahli keuangan’ dan ‘sikap keuangan’– orang seperti saya akan memilih yang punya sikap keuangan.
Dia/ia tidak ahli keuangan tapi cerewet soal keuangan. Pelit. Suka nguber kas bon yang belum dibereskan. Punya tim penagih utang yang sama kuat dengan tim marketing.
“Uang kita yang di tangan orang harus ditagih sampai dapat”.
Maka menarik untuk melihat sikap Sri Mulyani berikutnya: apakah dia tetap seorang ahli keuangan yang punya sikap keuangan. Terutama dalam melihat membengkaknya birokrasi.
Rasanya belakangan Sri Mulyani sudah lebih fleksibel. Dulu saya lihat Sri Mulyani sangat keras dalam hal keuangan. Saya bisa melihatnyi dari jarak agak dekat.
Kini saya melihatnya dari jarak jauh. Mungkin saja penglihatan saya salah. Saya menandai bahwa Sri Mulyani tidak sekeras dulu.
Misalnya: bagaimana dia setuju atas proyek-proyek yang menyerap dana yang begitu besar. Termasuk proyek yang awalnya tidak akan menggunakan negara akhirnya ke APBN juga.
Mungkin yang di atas Sri Mulyani jauh lebih pintar. Lebih pintar dari Sri Mulyani. Untuk mendapat persetujuannyi dijanjikanlah proyek besar tersebut tidak akan mengganggu APBN.
Bukan pura-pura. Diusahakan sungguh-sungguh untuk tidak pakai APBN. Ternyata tidak gampang. Proyek harus berjalan. Sudah telanjur dikerjakan. Penyelamatan harus dilakukan.
Dalam bisnis selalu ada sikap seperti ini: rugi Rp 1 miliar itu baik. Lebih baik dari rugi Rp 10 miliar. Inilah yang disebut sisi baik dari sebuah rugi.
Rugi Rp 10 miliar itu baik. Lebih baik dari rugi Ro 100 miliar. Punya tabungan Rp 1 triliun di lemari lebih baik dari hanya punya simpanan Rp 50 juta.
Rasanya Sri Mulyani sering dihadapkan pada situasi penyelamatan seperti itu. Tidak hanya sekali.
Apakah dia akan menghadapi persoalan yang sama di lima tahun ke depan?
Kian tua orang memang kian bijaksana. Tapi harusnya kian tua orang keuangan tetap kian bertambah cerewetnya.(Dahlan Iskan)