“Saya kali terakhir bertemu beliau seminggu sebelum Maulana wafat”. Yang mengatakan itu adalah Budi Haqoni, pengusaha shipping di Jakarta yang baru pulang dari Amerika.
Yang dimaksud dengan Maulana adalah Syekh Hisyam Al Kabbani. Ulama besar sufi, mursyid tarekat Nahsabandiyah dunia.
Maulana Kabbani tinggal di Michigan, USA, satu jam dari kota Detroit. Rumah Maulana Kabbani tidak jauh dari University of Michigan.
Budi Haqoni terbang ke Detroit karena mendengar Maulana Kabbani lagi sakit. Ayah Budi ikut serta.
“Saat kami tiba beliau sudah sulit mengutarakan kata-kata, tapi genggaman tangannya masih sangat kuat,” ujar Haqoni.
Begitu Haqoni tiba di Singapura –dalam perjalanan pulang ke Jakarta– datanglah berita duka itu: 5 Desember waktu Michigan.
Di antara jamaah aliran tarekat Nahsabandiyah Kabbani di Indonesia keluarga Haqoni-lah yang paling dekat beliau.
Sudah tak terhitung lagi berapa kali Maulana Kabbani tinggal di rumahnya di kawasan Tomang, Jakarta.
Awalnya, setiap kali Maulana Kabbani ke Jakarta selalu tinggal di rumah yang berbeda. Setiap jamaah Nahsabandiyah ingin rumahnya ditinggali Maulana Kabbani. Termasuk pernah di rumah Farid Wajdi, tokoh pengusaha-politik masa lalu, ayah Muhammad Lutfi yang pernah menjadi menteri.
Dalam kunjungan belakangan akhirnya selalu tinggal di rumah Haqoni. Setiap kali ke Jakarta biasanya sekitar 10 hari. Acaranya penuh dengan peribadatan dan nasihat.
Ketika Haqoni menikah sekitar 12 tahun lalu pun Maulana Kabbani hadir.
Haqoni adalah alumnus Ohio State University di Columbus. Ia ambil jurusan transportasi dan logistik. Ayahnya punya perusahaan perkapalan –yang kini mulai dipimpin oleh Haqoni.
“Waktu kuliah di Ohio, tiap Lebaran saya driving ke Michigan. Berlebaran di rumah beliau,” ujar Haqoni.
Awalnya Haqoni tidak tahu siapa beliau. Ketika awal-awal di Ohio, ayahnya datang. Minta diantar ke Michigan, bertemu Maulana Kabbani. Sejak itu Haqoni sering ke sana.
“Maulana Kabbani itu mengajarkan agama cinta. Ibadah karena cinta,” ujar Haqoni.
Dulu, katanya, saya merasa ibadah itu seperti beban, karena seperti suatu yang diharuskan. Setelah menjadi murid Maulana Kabbani, ibadah itu lebih rileks.
Saya jadi ingat ceramah agama dari ahli tafsir terkemuka Indonesia, Prof Dr Quraish Shihab. Lebih 40 tahun lalu. Di rumah Mbak Tutut Soeharto.
Kata beliau: menyembah Allah itu bisa karena tiga hal yang berbeda. Bisa karena takut pada Allah. Bisa karena ingin berbisnis dengan Allah. Bisa juga karena cinta pada Allah. Semua ada dasarnya.
Maulana Kabbani mengajarkan yang ketiga itu: cinta.
Habib Syech Solo juga termasuk yang sering bertemu Maulana Kabbani. Baik di Jakarta maupun di Malaysia. Habib Syech –yang punya jutaan penggemar lewat festival salawatnya, juga terkesan dengan ajaran moderat dari Maulana Kabbani.
Setelah Maulana Kabbani meninggal, putra beliau, Syaikh Nur, yang kelihatannya akan tampil memimpin aliran tarekat Nahsabandiyah. Ia juga sudah sering ke Jakarta. Juga tinggal di rumah Haqoni.
Anda sudah tahu siapa Maulana Kabbani. Salah satu murid terkenal beliau Anda sudah kenal: petinju Muhammad Ali. Murid beliau di Indonesia, salah satunya: Susilo Bambang Yudhoyono –dan satu lagi Anda juga kenal.
Maulana Kabbani lahir 79 tahun lalu di Beirut, Lebanon. Kalau ditarik ke atas nasabnya akan sampai di ulama besar Abdul Qadir Jaelani –akhirnya ke Nabi Muhammad.
Aliran sufi, tarekat, punya ”tradisi” pecah dan pecah lagi. Pun Nahsabandiyah. Rupanya jalan menuju Tuhan seperti dibuat banyak –tinggal pilih mau lewat yang mana.(Dahlan Iskan)