Juri Hamil

Oleh: Dahlan Iskan

“Bisakah Anda beralasan sudah terlalu tua? Sudah 84 tahun?”

“Tidak bisa.”

“Bisakah beralasan pernah sakit punggung berat sampai gak bisa jalan dua tahun lalu?”

“Tidak bisa”.

“Lagi punya tamu dari luar negeri?”

“Tidak bisa.”

“Bagaimana kalau bilang ada rencana pergi ke New York?”

“Urusan bisa panjang,” katanya. Apalagi kalau mengada-ada.

Di Amerika, kata John Mohn, orang tidak boleh berbohong. Harus bilang apa adanya. Sudah dibiasakan sejak kecil begitu.

Berbohong adalah perkara besar di sana. Pun itu jadi keluhan kedutaan dan konsulat Amerika saat menerima permohonan visa. Bohong akan ketahuan. Visa tidak akan diberikan. Bahkan bisa seumur hidup.

Panggilan wawancara untuk jadi juri di pengadilan hari itu adalah yang kedua bagi John. Yang pertama saat masih di Evansville, Indiana. Istrinya, Dr Chris, juga pernah jadi juri. Dua kali.

Bagi John yang pertama dulu kasus pencurian mobil. Hanya John yang berpendapat terdakwa tidak bersalah. Satu juri lagi berpendapat ia bersalah. Selebihnya ragu-ragu.

Karena skor 1-1, maka 12 orang juri berembuk. John bertanya kepada lawannya: kenapa bersalah. Si lawan mengatakan terdakwa sudah masuk mobil.

John berpendapat bisa saja ia hanya akan memindah mobil itu. Alasannya sudah dijelaskan di persidangan. Akhirnya yang 10 orang berubah pendapat: terdakwa tidak bersalah. Dibebaskan. Telanjur ditahan.

Pagi itu saya pun ikut John Mohn ke pengadilan. Ingin tahu proses menjadi juri di persidangan pidana di Amerika.

Kalau pun tidak bisa ikut masuk saya bisa di taman di depannya. Tamannya luas. Indah. Bisa menulis naskah di bawah pohon. Atau membaca komentar di Disway.

Atau ke seberang jalan: ke museum sejarah kota Lawrence. Inilah satu-satunya kota yang terbangun oleh sikap politik: mereka yang tidak mau ada sistem perbudakan pindah ke lahan kosong di sebelah barat sungai.

Wilayah itu sudah di luar negara bagian Missouri. Sudah masuk negara bagian Kansas.

Pemukiman baru itu lama-lama berkembang menjadi kota. Lawrence pun menjadi kota anti budak dan anti diskriminasi.

Gerakan penentangan perbudakan muncul di kota ini. Maka Lawrence diserbu oleh lawan politik yang menguasai sebelah timur sungai. Dua kali Lawrence dibakar oleh penyerbu dari Missouri yang properbudakan.

Gedung pengadilan ini memang di pusat kota. Sambil menunggu John isa juga saya  jalan-jalan di downtown.

Menunggu sepanjang hari pun tidak masalah. Istilah ‘menunggu itu membosankan’ sudah harus dihapus sejak ada smartphone. Apalagi kalau paketnya tidak nyicil.

Bangunan pengadilan ini sudah model baru. Satu lantai. Di belakang gedung asli. Gedung tuanya, yang masih anggun, dipertahankan sebagai bangunan bersejarah.

Dari tempat parkir John menuju pintu utama. Saya berjalan di belakangnya. Spekulasi. Siapa tahu boleh ikut masuk.

Setelah melewati pintu ganda, barang bawaan harus masuk mesin detektor.

John harus balik ke mobil. Ia membawa pisau lipat kecil yang tidak lolos detektor.

Saya ditinggal di situ. Saya ngobrol dengan tiga petugas jaga: dua kulit putih seperti sosok di di film cowboy, satu kulit hitam kekar.

Saya perkenalkan diri: dari Indonesia, steman calon juri yang akan diwawancara. Mereka menyambut baik. Boleh masuk. Diminta duduk di kursi panjang di koridor dalam.

Saya pun duduk di situ. Lorong ini lebar. Sekitar 6 meter. Tidak terasa sebagai lorong. Beberapa kursi panjang ada di kiri lorong. Kanannya kosong. Banyak display di dinding kanan: termasuk jejeran foto-foto  anggota asosiasi pengacara di wilayah itu.

Saya pun berdiri. Pilih lihat-lihat display itu. Lalu mengintip sana-sini. Di kanan-kiri lorong ada beberapa pintu. Itulah pintu masuk ruang-ruang sidang pengadilan. Salah satunya lebih besar. Susunannya mirip yang di ruang pengadilan Presiden Trump di New York yang pernah saya lihat.

Kian lama kian banyak yang duduk di kursi panjang. Saya bertanya ke wanita setengah baya di kursi itu. Dia kulit putih. Blonde. Modis. Dia menjawab: dia juga  datang untuk wawancara jadi juri.

Kursi panjang pun tidak cukup. Banyak yang berdiri. Salah satunya: wanita yang lagi hamil tua. Pun dalam kondisi seperti itu dia harus datang: agar tidak kena pasal contempt of court.

Saya hitung: 40 orang. Padahal yang diperlukan hanya 13 saja: 12 sebagai juri,  satu cadangan. Atau ini untuk dua atau tiga tim juri?

Tepat pukul 09.00 mereka antre masuk salah satu ruangan. Di pintu masuk mereka ditanya nama, lalu dicocokkan dengan daftar. Lantas diberi kartu nomor. John dapat nomor 45 dari total 48 orang calon juri.

Di dalam ruangan mereka duduk di kursi yang dijejer seperti dalam kelas. Saya bisa mengintip karena pintu terbuka.

Di ruang itulah dijelaskan tata cara wawancara. Lalu pintu ditutup.

Sesaat kemudian Si hamil tua keluar dari ruangan. Boleh tidak jadi juri. Dia mungkin akan melahirkan saat persidangan berlangsung.

Lalu ada lagi yang keluar. Juga wanita. Dia dokter. Sudah terikat janji melakukan operasi bedah jantung sore itu.

Tidak sampai satu jam, banyak orang keluar dari ruangan. Termasuk John. Ia mengepalkan tangan sambil tersenyum lebar. Belum sampai pada nomor urutnya, 13 nama sudah didapat.

Di mobil John bercerita: begitu tahu kisi-kisi persidangan itu untuk perkara apa, John langsung punya ide untuk tidak terpilih.

Calon juri memang tidak diberi tahu perkaranya nanti soal apa. Tapi John menangkap kisi-kisinya: yang salah satu keluarganya menjadi polisi diminta angkat tangan. Beberapa orang angkat tangan. Mereka dianggap tidak memenuhi syarat. Berarti, pikir John, ini perkara penjahat yang melawan polisi.

Maka langsung terpikir oleh John bahwa ia juga bisa tidak memenuhi syarat. Ia pernah menjadi polisi militer. Pasti pro-polisi. Yakni ketika ia menjadi tentara di masa muda dulu.

Waktu itu ia bertugas di Jerman dan Perancis mengawasi tentara Amerika di sana. Belum sampai senjata itu digunakan John sudah terbebas.

“Ke mana?”

Sudah telanjur keluar rumah. “Kita ke Fort Leavenworth,” kata saya.

Itu kota kecil, tua, satu jam di utara Lawrence. John sudah tahu mengapa saya ingin ke Fort Leavenworth.

Ia pernah bertemu SBY di Surabaya. Sebelum jadi presiden. Di Fort Leavenworth-lah SBY menjalani pendidikan militer. Banyak jendral Indonesia lulusan Fort Leavenworth.(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *