Penyertaan modal untuk perusahaan daerah (perusda) di Kalimantan Timur (Kaltim), seolah percuma atau sia-sia. Laba tak sebanding dengan uang yang dikeluarkan pemerintah provinsi.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim), hingga pertengahan 2025 masih belum menerima seluruh pembagian keuntungan (dividen), yang seharusnya disetorkan oleh perusda atau BUMN. Dividen ini pun menjadi utang piutang yang masih diusahakan untuk ditagihkan kepada perusda.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHPBPK) RI tahun anggaran 2024, Pemprov Kaltim telah menganggarkan penyertaan modal untuk Perusda senilai Rp 8,360 triliun pada 2024. Sementara realisasi hasil pengelolaan kekayaan daerah (laba), senilai Rp 237,697 miliar.
Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim, Sri Wahyuni, pun angkat bicara soal hasil temuan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kaltim, tentang pengelolaan investasi jangka panjang lewat PAD dari perusda yang belum maksimal.
“Mereka ini sebenarnya bukan tidak menghasilkan PAD, Mereka yang dari itu sudah menghasilkan PAD. Tetapi kan keinginan kita harus optimal, apalagi dengan aset yang dimiliki. Nah, Mekanisme ini wajar,” ungkap Sri, Rabu, (25/6/2025).
Sri mengakui masalah utang-piutang ini, memang ada dan bermasalah, serta telah ditangani prosesnya oleh aparat penegak hukum. Dalam hal ini salah satunya, adalah Kejati Kaltim. Menurutnya, beberapa masalah ini berakar sejak lama dari masa pengelolaan sebelumnya, yakni sebelum 2010.
“Memang piutang ini, ada yang sudah kita serahkan ke aparat penegak hukum. Ini kan dari manajemen-manajemen yang sebelumnya. Dari tahun di bawah 2010. Jadi piutang itu ada yang sudah diserahkan ke APH itu tadi,” jelasnya.
Pemprov, terpaksa harus menindak perusda ini melalui jalur hukum, karena dinilai tidak lagi kooperatif dalam mengingat kewajibannya menyetor PAD dari pemanfaatan aset yang dimiliki.
“Karena pihak yang berkewajiban bayar utang itu sudah tidak kooperatif misalnya. Intinya tidak membayar kewajiban itu kan jadi piutang. Jadi, salah satunya seperti ada haknya PT MMP yang belum dibayarkan. Ada yang ke APH. Ada juga lewat prosedur-prosedur yang lain,” ucap Sri.
Adapun, Pemprov Kaltim berniat untuk melakukan perbaikan melalui evaluasi BUMD secara keseluruhan melalui peninjauan dan audit BPK setiap tahun yang turut diawasi mekanismenya oleh biro ekonomi.
“Dilakukan lewat Biro Ekonomi. Evaluasinya ada dengan melihat dari rencana bisnisnya, rencana kerja. Juga ada audit dari BPK. Setiap tahun mereka harus memberikan jawaban hasil audit. Respons terhadap audit dari BPK itu juga bagian dari evaluasi,” kata dia.
Dalam salah satu kasus, Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemprov Kaltim seharusnya menerima dividen sebesar Rp 76,266 miliar dari perusahaan daerah PT Migas Mandiri Pratama Kaltim (MMP) sesuai berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun 2024.
Namun, hingga akhir tahun 2024, PT ini baru menyetorkan Rp 38,37 miliar. Skemanya terdiri dari, Rp 35,62 miliar pada 23 Desember 2024 dan Rp2,75 Miliar pada 27 Desember 2024.
Akibatnya, per 31 Desember 2024 masih ada piutang dividen sebesar Rp40 miliar yang belum dibayar ke Pemprov Kaltim.
Lalu, masih berdasarkan laporan BPK, pada 25 Februari 2025, PT MMP kembali menyetor sebesar Rp13,60 miliar. Dengan demikian, total yang sudah disetor hingga awal 2025 adalah Rp51,97 miliar, dan masih ada kekurangan pembayaran sebesar Rp26,39 miliar yang belum disetorkan.
Disinggung soal kekurangan setoran itu, Sri Wahyuni, mengakui masih ada piutang yang belum dibayarkan sepenuhnya. Dia mengatakan bahwa itu terjaid karena PT MMP masih menunggu pemasukan dari PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), mitra bisnis yang menjadi salah satu sumber pendapatan perusahaan daerah itu.
“Karena dia juga menunggu. Menunggu dari PT PHM yang juga belum masuk. Informasi yang kami terima seperti itu. Tapi tetap harus tertagih. Ini rangkaian yang membuat dia belum bisa membayar, karena juga belum menerima dari PHM-nya,” tuturnya.
SEBUT WARISAN LAMA
Direktur Utama PT MMP, Edi Kurniawan menjelaskan, bahwa sebagian besar piutang tersebut berasal dari periode 2011 hingga 2015 dan belum sempat ditagih di masa kepemimpinan sebelumnya.
Namun, sejak dirinya menjabat, berbagai upaya penyelesaian telah dilakukan, baik melalui jalur hukum maupun pendekatan administratif.
“Periodenya saya itu bisa diselesaikan caranya dengan perdata atau pidana. Sudah, pengurangan piutang itu tadinya Rp90 miliar, kita turunkan sekarang jadi sekitar Rp60-70 miliar,” ujar Edi dalam keterangannya.
Edi mengungkapkan bahwa proses penagihan dilakukan secara bertahap melalui pendekatan litigasi dan mitigasi. Jalur litigasi mencakup pelaporan kepada kejaksaan, penyitaan aset, hingga upaya hukum yang telah membuahkan beberapa kemenangan di pengadilan.
Sementara pendekatan mitigasi dilakukan dengan cara administratif dan penataan ulang piutang secara berkala.
“Setiap tahun kami punya KPI (Indikator Kerja Utama), diwajibkan menurunkan piutang sekitar 10 persen. Caranya ya dengan litigasi dan mitigasi itu,” jelasnya.
Ia juga menegaskan bahwa sebagian besar kasus piutang lama yang kini tengah dalam proses penyelidikan di kejaksaan justru merupakan inisiatif internal perusahaan, bukan temuan dari BPK.
“Itu justru dari kami itu. Bukan temuan dari BPK. Dan ini sudah masuk ranah juga di kejaksaan,” tegas Edi.
Meski mengakui bahwa proses penyelesaian ini tidak bisa dilakukan secara cepat karena potensi kegaduhan, Edi optimis bahwa langkah-langkah yang telah ditempuh akan berdampak positif terhadap perbaikan kinerja perusahaan ke depan.
Sebagai bagian dari pembenahan internal, Edi juga menyampaikan bahwa PT MMP tengah mendorong transformasi digital di seluruh lini perusahaan. Langkah ini diharapkan mampu memperkuat transparansi dan efisiensi operasional.
“Pencapaiannya ada digitalisasi sudah sekarang. Bahkan nanti mungkin dalam waktu dekat, semua anak perusahaan kami sudah clear digitalisasinya. Termasuk transaksi keuangan, mudah-mudahan dalam waktu dekat juga, mungkin bulan depan, itu sudah terkonek semua,” pungkasnya.(MAYANG/NIZAR/ARIE)