Walk Out

Oleh: Dahlan Iskan

Toha akan tercatat sebagai satu-satunya calon kepala daerah yang berani walk out saat debat terbuka. Yakni debat antar calon bupati Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 21 November lalu.

Itu debat kedua. Toha sudah menyimpan kekesalan sejak debat pertama. Ia berharap di salah satu sesi debat itu ada kesempatan untuk bertanya langsung secara bebas ke calon lawannya.

Kesempatan itu tidak ada. Maka Toha berharap di debat kedua. Kalau sampai di debat kedua pun tidak ada waktu mengajukannya maka hilanglah kesempatan itu.

Debat kedua pun tiba. Sudah berjalan dua sesi. Kesempatan yang ditunggu Toha belum juga datang. Cara debat masih harus memenuhi skenario KPUD.

Memasuki sesi ketiga pun masih sama. Berarti di sesi tiga pun Toha tidak punya peluang bertanya langsung tanpa teks ke calon sebelah.

Maka Toha walk out. Ia dan pasangannya meninggalkan begitu saja panggung debat. Tegang sebentar. Acara dilanjutkan. Sampai selesai. Tinggal satu pasangan yang ada di panggung.

Saya hubungi Toha kemarin: apa sih pertanyaan untuk calon sebelah yang ia simpan rapat-rapat.

“Saya mau bertanya ‘mengapa dalam visi dan misi Ibu tidak mencantumkan pemerintahan yang bersih?’ Itu saja,” ujar Toha.

Ia ingin mengucapkan itu langsung. Tanpa teks. Bukan pertanyaan yang harus disiapkan.

Ia ingin mendengar juga jawaban tanpa teks dari calon sebelah itu. Lalu, ia membayangkan, akan terjadi debat tanpa teks.

Persoalan ”pemerintahan yang bersih” itu penting bagi Toha. Misi membangun pemerintahan yang bersih itulah yang diamanatkan pendukungnya.

Toha awalnya tidak punya keinginan untuk maju sebagai calon bupati. Tapi kelompok-kelompok masyarakat di sana terus mendorongnya. Mereka malu Muba selalu jadi berita nasional dalam hal korupsi.

“Mereka minta saya memberantas korupsi di Muba,” ujar Toha.

Calon sebelah itu memang pernah terkena OTT KPK. Sudah lama: 2015.

Namanyi: Lucianty Pahri. Saat itu dia menjabat anggota DPRD provinsi Sumsel. Suaminyi, Pahri Azhar, menjabat bupati Musi Manyuasin. Periode kedua.

Luci diadili. Dia dijatuhi hukuman 1,5 tahun penjara. Sedang suami Luci dijatuhi hukuman 3 tahun. Kelak, setelah bebas dari penjara, Pahri mengalami kecelakaan lalu-lintas: meninggal dunia.

Meski harus masuk penjara, hak-hak politik Luci tidak dicabut. Karena itu Luci, setelah bebas dari penjara, maju sebagai calon anggota DPD dari Sumsel.

Dia tidak pernah menutup-nutupi masa lalunyi itu. Semua itu, kata Luci, adalah kehendak Allah.

Suami-istri itu tokoh Partai Amanat Nasional di Sumsel. Kekayaan mereka, menurut LHKPN, mencapai Rp 500 miliar.

Di Pilkada 2024 ini istri Pahri maju sebagai calon bupati Muba. Dia masih sangat populer. Masih kaya. Awalnya hampir saja menjadi calon tunggal. Sudah 11 partai mengusungnyi.

Akhirnya tinggal PKB dan Nasdem yang belum bergabung. Dua partai itu lantas mencalonkan Toha. Dua lawan sebelas.

Saya kenal Toha. Pernah. Lebih 18 tahun lalu. Dia adalah staf lokal di perusahaan milik seseorang yang Anda kenal. Usaha itu di bidang pengelolaan sumur-sumur minyak tua di Muba.

Saat orang itu jadi sesuatu, usaha itu berakhir. Izinnya habis. Ia tidak mau memperpanjang. Sumur-sumur minyak itu pun terancam telantar. Tohalah yang berinisiatif meneruskan. Ia sudah tahu bagaimana manajemen lama mengelolanya.

Toha membentuk perkumpulan masyarakat di desanya. Perkumpulan itulah yang menambang minyak mentah yang ditinggalkan orang itu. Hasilnya Toha kirim ke Pertamina setempat.

Boleh dikata Toha adalah pelopor perjuangan melegalkan penambangan sumur minyak lama untuk menggerakkan perekonomian rakyat setempat.

Modal awalnya dari 29 sumur itu, lantas kini berkembang menjadi 500 sumur lebih.

Toha juga berjuang agar daerah mendapat manfaat dari minyak mentah di sana. Karena itu dibentuklah perusahaan daerah kabupaten Muba.

Pertamina tentu tidak bisa menerima pasokan minyak mentah dari perorangan maupun perkumpulan. Maka perkumpulan mengirim minyak ke Pertamina lewat bendera Perusda.

Dari minyak mentah itu ekonomi Toha membaik. Kekayaannya saat ini sekitar Rp 50 miliar. Tidak punya utang.

Kekayaan Toha masih kalah jauh dari kekayaan Luci, tapi Toha telah jadi tokoh riil yang secara nyata telah membela ekonomi masyarakat.

Dan lagi Toha hampir tidak keluar biaya. Ia tidak perlu melalukan serangan fajar.

Waktu kampanye pun banyak acara yang disiapkan oleh kelompok masyarakat sendiri. Legalisasi minyak mentah dari sumur tua itu memang menyangkut nasib puluhan ribu rakyat Muba. Mereka merasa semua itu berkat jasa Toha.

Toha juga orang yang berjuang untuk keluarga. Ia anak nomor tiga dari sembilan bersaudara. Kakaknya sudah menikah sehingga punya tanggungan keluarga. Enam adiknya harus sekolah.

Maka begitu tamat SMP Toha memutuskan untuk bekerja. Apa saja. Termasuk membantu ayah mencari kayu di hutan. Berbulan-bulan kayu itu tidak menghasilkan uang. Harus terkumpul banyak dulu. Lalu dijadikan lanting –diikat-ikat di atas sungai. Lanting itu dihanyutkan di sungai Musi sampai ke Palembang.

Di kota besar itulah kayu dijual. “Satu tahun dapat uang satu kali,” kenang Toha. “Biarlah saya tidak sekolah. Yang penting semua adik saya bisa terus sekolah,” ujar Toha.

Setelah adik-adiknya jadi sarjana, dan setelah menjadi staf lokal kami, Toha ingin sekolah. Maka ia ikut program Paket C tingkat SMA. Lulus. Dengan ijasah Paket C itu Toha kuliah. Di salah satu universitas swasta di Palembang. Jadilah Toha sarjana hukum.

Toha akan terus ingat apa yang menyebabkan ia walk out. Yakni soal pemerintahan yang bersih. Sebentar lagi Toha sendirilah pemerintahan Muba itu.(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *