Tolak Bom

Oleh: Dahlan Iskan

Pertanyaan penting tentang Syria adalah: akan menjadi negara apa setelah penguasa lamanya runtuh? Menjadi republik Islam seperti IranIraq, atau Pakistan?

“Perkiraan saya akan menjadi negara emirate Islam,” ujar Islah Bahrawi. “Mungkin akan mirip dengan Afghanistan sekarang,” tambahnya.

Anda sudah tahu siapa Islah Bahrawi. Ia intelektual Islam yang berjuang keras untuk moderasi Islam. Ia juga ahli pemetaan terhadap gerakan terorisme. Termasuk jaringan mereka di Timur Tengah dan Asia Tenggara.

Penguasaannya pada bahasa Arab dan  ilmu agama sangat dalam. Islah sejak SD sudah di sekolah Islam. Di Bangkalan. Di tengah-tengah antara Bangkalan-Sampang.

Lulus SD ia langsung masuk pondok pesantren bintang sembilan milik ulama besar Syaikhona Kholil, Bangkalan.

Pertanyaan saya berikutnya: setelah Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil menumbangkan Presiden Bashar al-Assad apakah Amerika akan mengubah statusnya dari kelompok organisasi terorisme?

“Kemungkinan besar Barat akan menghapus status itu. HTS sebenarnya kelompok oposisi pemerintahan diktator Assad, sejak sebelum ada Al Qaeda. Mereka terus berjuang menumbangkan Basyar Al Assad,” ujar Bahrawi.

Perjuangan itu bahkan sudah dilakukan sejak Syria di bawah ayahnya Basyar. Dinasti diktator Assad sudah berkuasa di Syria selama lebih 50 tahun.

Perjuangan HTS sudah dilakukan sejak gerakan itu masih bernama Jabhat An Nusra. Bahwa belakangan HTS beraliansi dengan Al Qaeda itu sebagai cara untuk melawan Assad. Pun ketika HTS juga beraliansi dengan ISI dan kemudian ISIS.

Setelah ISIS terus melemah, HTS tidak ikut melemah. Perjuangan pokoknya adalah menumbangkan rezim otoriter Assad. Bahkan HTS kian bergerak ke moderat. Tidak jarang HTS didemo sendiri oleh sayap-sayap organisasi karena dianggap kurang radikal.

Dari pondok pesantren di Bangkalan, Bahrawi masuk Universitas Nasional (Unas) Jakarta. Ia ambil jurusan sastra Inggris tapi bergaulnya dengan teman-temannya di sastra Indonesia. Salah satu teman angkatannya di Unas: Gus Ipul –Saifullah Yusuf yang sekarang menteri sosial.

Dari Unas, Bahrawi ke Amerika. Ia mendalami sejarah Islam di California. Yakni di Institute Al Zaytuna –sekarang college. Di Berkeley, Oakland, tidak jauh dari rumah masa kecil Wapres Kamala Harris.

Saat di Amerika itulah terjadi terorisme 9/11 di New York. Islam sangat tersudutkan. Di AS. Dan di seluruh dunia.

“Kalau begini caranya orang non Islam kian anti Islam dan yang Islam meninggalkan agama,” katanya.

Sejak itulah Bahrawi menjadi aktivis gerakan mederasi agama. Ia punya modal sosial yang kuat: Madura, alumnus pondok Syaikhona Kholil, alumnus Al Zaytuna pula.

Pertanyaan ketiga: siapa yang akan tampil sebagai pemimpin baru negara Syria? Apakah Abu Muhammad al-Jawlani, pemimpin HTS yang kini berumur 42 tahun?

“Kalau ia yang akan tampil akan rentan,” ujar Bahrawi. Tapi memang tidak mudah mencari pilihan. Terlalu banyak kelompok di dalamnya. Itu sudah “hukum revolusi”. Begitu berhasil akan terjadi rebutan posisi.

HTS pernah membuat luka yang sangat dalam. Dua ulama terbesar Syria dibunuh HTS: Syaikh Ramadhan al-Buthi dan Syaikh Adnan al-Afyouni.

Al Jawlani sendiri terus memoles diri. Citra lamanya yang terkait Al Qaeda dan ISIS ia jauhi. Al Jawlani kini lebih banyak tampil humanis. Tidak mau lagi pakai nama jihadnya Al Jawlani. Ia kembali memakai nama lahirnya: Ahmed Shaara.

Pertanyaan susulan: Kalau Al Jawlani alias Ahmed Shaara tidak bisa diterima luas, lalu siapa alternatifnya?

“Ada tokoh oposisi bernama Usamah Rifa’i. Ia musuh lama Assad. Termasuk musuh ayahnya, Hafez al-Assad,” jawab Bahrawi.

Masih ada satu lagi: Ragheed Ahmad al-Tatari. “Tokoh ini begitu dielu-elukan oleh publik. Yakni setelah pemberontak membebaskannya dari penjara Minggu kemarin,” ujar Bahrawi.

Dua tokoh itu berada di penjara selama 43 tahun. Rasanya mereka kini berumur 70 tahunan.

Tatari seorang pilot pesawat tempur. Ia dipenjara karena menolak perintah Assad untuk menjatuhkan bom di sasaran yang padat dengan penduduk sipil. Sasaran itu: kampung Hama. Di tahun 1982.

Mungkin salah satu dari keduanya bisa jadi jalan tengah untuk pertentangan banyak faksi di kalangan oposisi.

Bahrawi sudah dua kali ke Syria. Banyak kelompok pergerakan di sana yang terjebak hadis-hadis palsu. Utamanya hadis yang memuliakan tanah Syria sebagai tanah yang dijanjikan tempat lahirnya kejayaan Islam masa depan.

“Sebenarnya hadis-hadis palsu itu dimunculkan untuk kebutuhan perang melawan kekaisaran Utsmani,” katanya.

Bahrawi punya dua anak. Yang sulung lagi kuliah bisnis di Edinburg, Skotlandia. Untuk S-2. Sedang adiknya masih kuliah S-1 di UM Malaysia.

“Apakah anak-anak masih bisa bahasa Madura?” tanya saya.

“Masih sangat fasih,” ujar Bahrawi. “Ibu mereka kan juga Madura, meski kami dipertemukan di Jakarta,” tambahnya.

Bahrawi terus mengamati perkembangan di Syria. Utamanya ke arah mana Syria akan menuju. Bagaimana pula hubungannya dengan organisasi-organisasi terorisme internasional. Ketidakstabilan di sana bisa merangsang munculnya ekstremitas.

Kalau “hukum revolusi” juga berlaku di Syria maka sulit berharap negara itu akan stabil dalam waktu lima tahun ke depan.

Kita pun dulu begitu. Setelah runtuhnya penjajahan Belanda terjadi ketidakstabilan yang panjang. Pun setelah runtuhnya Orde Lama. Demikian juga setelah runtuhnya Orde Baru.

Untuk membangun perlu stabilitas. Stabilitas tidak bisa datang begitu saja.(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *