KELUAR dari bandara Makelle, saya tolah-toleh: yang mana yang menjemput saya. Semuanya hitam. Semuanya keriting. Semuanya seperti belum mandi selama tiga hari.
Tempat kedatangan di bandara internasional ini tidak punya teras. Apalagi anjungan.
—
Matahari pagi menyala terang. Udara sangat sejuk: 20 derajat. Tapi kering. Bikin kulit meriang. Bersisik. Lupa pula bawa VCO. Bibir ikut kering. Terancam pecah-pecah. Saya bukan tipe pria salon: tidak pernah membawa lotion pelembab kulit.

—
Seorang lelaki muda mendekat. Usia sekitar 35 tahun. Rambutnya tingtal –keriting total. Dibiarkan memanjang hampir sebahu. Pakai kaus warna gelap. Kekar. Ada tatto besar di lengannya. Giginya putih. Gigi yang kuat. Matanya cendekia. Dahinya agak lebar.
“Iya. Saya.”
Saya naik ke mobilnya. Mobil Toyota Land Cruiser model lama. Mobil tua. Banyak tembelan silotip hitam di sana-sini. Saya duduk di depan, di sebelah kanannya yang lagi memegang kemudi.
“Betul sekali. Langsung”.
Bandara Makelle ini di pinggir kota Makelle, ibukota region Tigray. Ketika mobil mulai bergerak saya bisa melihat sebagian kota Makelle. Tentu jarang terlihat ada pohon. Kering. Debu tipis menyapu udara yang harusnya cerah.
Saya beruntung. Sopir travel saya ini banyak tahu pergolakan di Tigray. Bahkan ia pernah ditahan. Satu tahun. Istrinya pun ikut ditahan. Bersama dua anak kecilnya: umur 4 tahun dan bayi enam bulan.
Ada truk gandeng berarti ada kegiatan ekonomi. Saya pun tahu: mengapa perjalanan ini harus dua jam. Bukan karena jauh. Jarak Makelle-Nagesh hanya 60 km.
Di pertengahan jalan kami melewati satu kota. Menakjubkan. Di kanan kiri jalan penuh bangunan baru. Beton. Mangkrak. Dua lantai. Atau tiga. Empat. Lima. Struktur betonnya sudah jadi tapi baru setengah jadi.
Dari strukturnya terlihat itu adalah calon bangunan rumah. Perumahan. Masif. Ribuan rumah. Membentuk satu kota tersendiri. Kota beton yang mangkrak.
Setidaknya sudah tiga tahun mangkrak seperti itu. Setidaknya sudah terlihat bahwa ada “revolusi” perumahan rakyat. Revolusi perumahan itu sudah mulai dilaksanakan. Pun di pedalaman. Pertanda Ethiopia bangkit tidak hanya di Addis Ababa.
Semua itu agar rakyat tidak lagi tinggal di rumah-rumah petak terbuat dari tanah. Bahwa program itu mangkrak Anda pun sudah bisa menduga: akibat perang.
Perang terakhir di Tigray terjadi belum lama. Baru tiga tahun lalu. Bermula dari pemilu regional tahun 2020. Terjadi konflik. Tentara perjuangan kemerdekaan Tigray menyerang pos-pos militer negara federal. Meletuslah perang. Lebih 600.000 orang tewas. Perang besar. Suku Tigray gagal lagi untuk merdeka dari Ethiopia.
Uniknya, kali ini, Ethiopia dibantu musuh masa lalunya: Eritrea. Maka dari arah selatan Tigray diserang oleh tentara federal. Dari utara diserang oleh tentara Eritrea.
Itu yang tidak disangka oleh para pemimpin militer Tigray: diserang oleh tentara satu suku sendiri dari utara. Tigray terkepung. Mereka punya istilah sendiri: perang 360 derajat. Diserang dari segala arah.
Banyak bangunan baru mangkrak.
“Negash masih jauh?”
“Di balik gunung itu,” ujarnya.
Perut mulai lapar. Belum sarapan. Tapi tujuan ke balik gunung itu harus dicapai dulu. (Dahlan Iskan)