Kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen dikonfirmasi akan mulai berlaku pada 1 Januari 2025 mendatang. Tentunya hal tersebut masih menimbulkan pro dan kontra, sektor apa saja yang naik?
Ketentuan kenaikan pajak PPN ini sendiri sudah diatur dalam UU HPP Bab IV Pasal 7, yang menyebutkan bahwa Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen akan berlaku mulai pada 1 Januari 2025 nanti.
Sebelumnya, kenaikan PPN ini juga sudah berlangsung secara perlahan mulai dari tahun 2022 lalu. Di mana, PPN mengalami kenaikan menjadi 11 persen pada 1 April 2022. Dalam UU itu, disebutkan juga bahwa batas kenaikan PPN yang bisa dinaikkan oleh Pemerintah adalah 15 persen.
Nantinya, beban kenaikan PPN 12 persen akan meliputi konsumsi barang dan jasa yang ada di dalam negeri. Beban PPN 12 persen juga akan dikenakan kepada para perusahaan lokal dan asing di Indonesia dengan pungutan PPN 12 persen kepada konsumen akhir.
Barang-barang termasuk dalam cakupan PPN 12 persen sendiri meliputi pakaian dan barang konsumsi, barang elektronik, hiburan, kesehatan swasta, serta konsultasi.Para pelaku usaha kena pajak dalam bidang yang sudah disebutkan tersebut wajib untuk memungut pajak PPN kepada para konsumen.
Kendati begitu, beban kenaikan pajak PPN 12 persen ini juga tidak berlaku pada sejumlah barang dan jasa tertentu.
Dilansir dari peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 116/PMK.010/2017 tentang Barang Kebutuhan Pokok Yang Tidak Dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN), barang serta jasa yang tidak akan dikenai kenaikan PPN 12 persen adalah barang dan jasa yang memiliki peran vital dalam kehidupan orang lain, dan menjadi faktor pendorong kehidupan masyarakat.
Barang-barang yang termasuk ke dalam kategori tersebut adalah barang-barang yang meliputi bahan pangan seperti jagung, beras, daging, telur, susu, sayur-sayuran, dan buah-buahan.
Dari segi jasa sendiri, layanan yang tidak akan dikenakan beban kenaikan pajak PPN 12 persen ini adalah layanan seperti Pendidikan dan Kesehatan Dasar yang sudah disediakan oleh Pemerintah sebelumnya, atau lembaga yang menyediakan layanan gratis dan tidak mengambil keuntungan atau profit dalam bentuk apapun.
Dalam hal ini, layanan seperti ekspor barang kena pajak berwujud dan tidak berwujud serta ekspor jasa juga merupakan layanan yang tidak akan dibebankan biaya PPN 12 persen.
Sebagai informasi, sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen akan tetap berlaku pada 1 Januari 2025 sesuai amanat UU.
Menurutnya, rencana tersebut hanya bisa batal apabila ada UU lain yang hapus Pasal 7 ayat (1) UU No. 7/2021.
Menanggapi perdebatan yang ditimbulkan oleh kebijakan penaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 nanti, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa keputusan untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen ini masih sesuai dengan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021, yang mengatur tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Selain itu, Menkeu Sri Mulyani juga menambahkan bahwa penjagaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) agar tetap stabil dan terjaga untuk menghadapi krisis ekonomi juga menjadi salah satu pertimbangan dalam rencana kenaikan PPN 12 persen ini.
“APBN harus mampu merespons global financial crisis, kesehatannya harus kita jaga,” tutur Menkeu Sri Mulyani dalam keterangan resminya pada Kamis 14 November 2024.
Selain itu, Sri Mulyani juga menambahkan bahwa Pemerintah telah memberikan insentif pajak berupa penurunan tarif PPh Final menjadi 0,5 persen dari jumlah sebelumnya yang sebesar 1 persen untuk sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
“Walaupun kita membuat policy untuk pajak seperti PPN, bukan berarti kita membabi buta atau tidak perhatian kepada sektor-sektor lain seperti kesehatan, pendidikan bahkan makanan pokok,” ujar Menkeu Sri Mulyani.
Sementara itu menurut Ekonom Senior dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, menyatakan bahwa rencana kenaikan PPN ini dinilai kurang tepat untuk diterapkan,
Apalagi mengingat bahwa daya beli masyarakat, terutama dari mereka yang berasal dari kalangan kelas menengah, sedang menurun drastis.
“Menurut saya sih tidak tepat ya. Dulu kami pernah mengkaji itu, dan itu tetap dampaknya kepada pertumbuhan ekonomi itu akan berkurang, karena penaikan PPN mengurangi konsumsi. Kan bukan hanya satu atau dua komunitas yang terdampak, semua barang naik,” Jelas Tauhid dalam keterangan tertulis resminya pada Kamis 14 November 2024.
Selain itu, Tauhid menambahkan, beban kebijakan PPN ini nantinya juga pasti akan berimbas ke konsumen, bukan kepada produsen.
“Memang kelihatannya kecil, tapi karena ada kenaikan tadi, biasanya ada double perhitungan di tingkat bawah, sehingga kesannya harganya bisa meningkat lebih besar dari sebelumnya. Apakah produsen juga kena imbasnya? Ya pasti, karena tingkat konsumsi masyarakat akan menurun,” Jelas Tauhid.(disway.id/arie)