Pemerintah daerah terus dibuat pusing dengan kebijakan pusat, apalagi yang berkaitan dengan anggaran. Dana transfer daerah terancam 50 persen terpangkas, membuat legislatif bereaksi.
———————-
Rencana pemerintah pusat memangkas Dana Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026 terus menuai perhatian. Kebijakan efisiensi yang disebut bisa mencapai 26 hingga 50 persen ini dinilai akan berimbas besar, terutama bagi daerah penghasil sumber daya alam seperti Kalimantan Timur (Kaltim).
Salah satu yang menyatakan keberatan adalah Anggota DPR RI asal dapil Kaltim, Syafruddin. Ia tidak menutupi kekecewaannya ketika mendengar kabar pemotongan yang akan menyasar Dana Bagi Hasil (DBH) migas, yang selama ini menjadi tulang punggung fiskal Kaltim.
“Terus terang saya agak bersedih, karena Kaltim terutama dana bagi hasilnya itu mengalami kekurangan atau alias dipotong. Harusnya pemerintah pusat melihat secara objektif, mana daerah yang boleh dipotong dan mana yang tidak. Kaltim ini penghasil, jangan sampai masyarakat di bawah tidak menikmati hasil kekayaan alamnya,” ujar Syafruddin, Selasa (9/9/2025).
Lanjut Syafruddin, pemangkasan DBH akan berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Kaltim selama ini sangat bergantung pada dana transfer pusat untuk menopang pembiayaan pembangunan.
Pada 2025, nilai APBD Kaltim diproyeksikan mencapai Rp 21,3 triliun. Dari jumlah itu, DBH migas menyumbang porsi signifikan, yakni sekitar Rp8–9 triliun. Bila benar terjadi pemotongan hingga separuh, maka alokasi yang kembali ke daerah bisa anjlok menjadi Rp 4–5 triliun saja.
“Bayangkan, dari yang seharusnya Rp 9 triliun turun jadi Rp 4 triliun. Itu separuh hilang. Bagaimana daerah bisa menjaga layanan dasar? Ini akan mengganggu kualitas hidup masyarakat,” tutur politisi PKB itu.
Syafruddin menegaskan, risiko terbesar dari berkurangnya ruang fiskal adalah terhambatnya pembangunan dasar. Banyak wilayah di Kaltim masih menghadapi persoalan infrastruktur, mulai dari akses air bersih, jaringan listrik, hingga jalan penghubung antarwilayah.
“Kalau dana bagi hasil dipotong maksimal, daerah tidak bisa bergerak lagi untuk membangun. Saya khawatir kebutuhan dasar masyarakat jadi terhambat,”ucapnya.
Kondisi ini, menurut dia, bisa memperlebar kesenjangan antara potensi sumber daya alam Kaltim dengan kesejahteraan masyarakatnya.
“Kaltim ini kaya, tapi kalau hasil kekayaannya tidak dikembalikan, rakyat hanya jadi penonton,” tambah Syafruddin.
Selain soal fiskal, Dia mengingatkan, bahwa Kaltim sudah lama menanggung beban ekologis akibat eksploitasi sumber daya alam. Hutan yang rusak, lahan bekas tambang yang terbengkalai, serta tekanan terhadap ekosistem adalah sebagian dari konsekuensi pembangunan berbasis ekstraksi.
“Kontribusi Kaltim terhadap APBN besar, tapi yang kembali ke daerah kecil. Ini tidak adil, apalagi daerah juga menanggung dampak kerusakan hutan dan lingkungan,”tegasnya.
Ia menilai, bila dana hasil eksploitasi tidak dikembalikan, maka Kaltim hanya menjadi ‘korban ganda’ dari lingkungan rusak, serta fiskal yang tergerus. “Ini yang saya khawatirkan. Jangan sampai beban ditanggung daerah, tapi manfaatnya dinikmati pusat,” katanya.
Syafruddin juga mengingatkan kembali soal risiko sosial dan ekonomi. Ia mencontohkan, distribusi bahan pokok ke daerah pedalaman bisa kembali terganggu seperti yang sempat terjadi di Mahakam Hulu.
“Kalau hasil eksploitasi sumber daya alam tidak dikembalikan ke Kaltim, khawatir terjadi lagi kendala distribusi sembako seperti kasus di Mahakam Hulu kemarin,” terangnya. Menurutnya, jika pemerintah pusat tidak sensitif terhadap kondisi ini, masyarakat di daerah terpencil akan semakin kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Oleh karena itu, Syafruddin menegaskan akan menggunakan posisinya di parlemen untuk menyuarakan aspirasi rakyat Kaltim. Ia berkomitmen mendorong pemerintah pusat mempertimbangkan ulang kebijakan pemotongan TKD, khususnya DBH migas.
“Kami akan bersuara agar Kaltim dipertimbangkan kembali. Jangan sampai rakyat Kaltim hanya jadi penonton, sementara hasil bumi mereka tidak dinikmati,” ujar Syafruddin.
Dialog antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan wakil rakyat perlu dilakukan sebelum keputusan final diambil. “Kami ingin duduk bersama, menyampaikan aspirasi masyarakat, agar kebijakan ini tidak memberatkan daerah,” imbuhnya.
Syafruddin juga mengingatkan, bahwa posisi Kaltim semakin strategis karena menjadi lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN). Ia menilai, justru saat beban pembangunan meningkat, pemerintah pusat tidak seharusnya mengurangi dukungan fiskal.
“Ini soal keadilan. Kaltim menyumbang begitu besar, bahkan jadi lokasi IKN, tapi kalau dana bagi hasilnya dipangkas, bagaimana masyarakat bisa merasakan manfaat langsung?” katanya.
Dia menilai, jika kebijakan ini diterapkan, maka ada paradoks besar daerah yang menanggung beban pembangunan nasional justru semakin terbebani. Untuk itu, Syafruddin berharap pemerintah pusat mau melakukan evaluasi. Terlebih, Suaara rakyat Kaltim tidak boleh diabaikan dalam pengambilan keputusan fiskal.
“Terus terang saya agak bersedih dengan rencana ini. Tetapi saya yakin, kalau kita bersuara bersama, pemerintah pusat bisa mempertimbangkan kembali. Jangan sampai daerah penghasil justru merasa ditinggalkan,” pungkasnya.
Ditemui terpisah, Ketua DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Hasanuddin Mas’ud, menyampaikan kekhawatiran atas kabar rencana pemerintah pusat memangkas Dana Bagi Hasil (DBH) hingga 50 sampai 75 persen. Menurutnya, jika kebijakan itu diterapkan, struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim 2025 akan terdampak besar.
“Agar sama ya, masih seperti awal. Cuma ada berita terakhir bahwa ada efisiensi untuk murni. Nah, kemungkinan efisiensinya 50 persen sampai 75 persen. Jadi dana bagi hasilnya akan berkurang. Ini akan merubah susunan pos anggaran,” ujar Hamas sapaan akrabnya, Senin (8/9/2025).
Hamas menuturkan, proyeksi pemangkasan 50 persen itu setara anggaran Rp 4,5 triliun hingga Rp 5 triliun. Menurutnya, perubahan sebesar ini akan memengaruhi berbagai pos belanja daerah, mulai dari pembangunan infrastruktur hingga layanan publik dasar.
“Itu akan berubah lagi karena akan merubah pos anggaran kita. Makanya kita masih nunggu surat dari Menteri Keuangan,”jelasnya.
Meski begitu, Hamas berharap pemerintah pusat tidak melakukan pemangkasan signifikan. Namun, ia mengakui informasi terakhir mengarah pada adanya revisi besar.
“Harapan kita sih jangan ada perubahan. Tapi kalau memang itu harus dirubah, ya mau bagaimana lagi. Informasi terakhir kayaknya ada perubahan, cuma kita masih tunggu berapa persen,” katanya.
Hamas menyampaikan gagasan baru terkait mekanisme pemotongan DBH. Ia menilai, hak daerah sebesar 5 persen sebaiknya langsung dipotong di daerah penghasil, bukan seluruhnya dibawa dulu ke pusat.
“Kalau itu memang harus dibagi katakanlah pemerintah pusat 95 persen dan pemerintah daerah 5 persen. Maunya itu yang 5 persen kita potong di daerah, yang 95 persen silakan bawa ke pusat. Ini kan sekarang semua dibawa dulu ke sana, baru nanti diturunkan ke daerah,”jelasnya.
Pola saat ini membuat daerah penghasil seperti Kaltim tidak memiliki kepastian. “Persoalannya, kalau sudah punya hak kita yang 5 persen itu, tiba-tiba dipotong karena pusat perlu duit. Kita mau bilang apa? Makanya saya memberikan masukan kepada pemerintah berikutnya, coba diatur, kita perjuangkan supaya DBH itu dipotong langsung di daerah, jangan lagi dibawa ke pusat semua dulu,” tegasnya.
Jadi, masalah DBH bukan hanya teknis fiskal, melainkan juga menyangkut regulasi yang berada di bawah kewenangan pemerintah pusat. Karena itu, perjuangan politik diperlukan agar skema pembagian bisa lebih berpihak pada daerah penghasil.
“Kadang-kadang walaupun itu bagian kita, kita masih harus memohon. Apalagi seperti sekarang ada putusan menteri atau perintah presiden untuk pemotongan 50 persen. Kamu mau bilang apa? Itu lah yang harus kita perjuangkan,” pungkasnya.
PENJAJAHAN BAGI KALTIM
Pengamat kebijakan publik Universitas Mulawarman, Saiful Bachtiar, menilai langkah itu berpotensi menzalimi hak masyarakat daerah penghasil sumber daya alam dan akan memicu kontraksi serius pada APBD.
“Kalau pemotongan dilakukan sejak 2025, maka kontraksi APBD akan sangat signifikan. Banyak program pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota yang terancam dipangkas,” ujar Saiful, Senin, (8/9/2025).
Ia menambahkan, penjelasan dari Pemprov Kaltim maupun DPRD sejauh ini masih terkesan sepotong-sepotong. Padahal, kepastian kapan pemotongan berlaku sangat menentukan perencanaan fiskal daerah.
Pemangkasan DBH dari sektor sumber daya alam seperti migas, batu bara, dan sawit akan sangat merugikan daerah penghasil. Kabupaten Kutai Kartanegara, Kutai Timur, Kutai Barat, Berau, hingga Bontang adalah wilayah yang paling terdampak karena selama ini kontribusi mereka terhadap pendapatan nasional sangat besar.
“Ketidakadilan sangat terasa. Daerah penghasil justru menderita akibat eksploitasi sumber daya alam. Lingkungan rusak, masyarakat terdampak, tapi bagian DBH malah semakin kecil,” kata Saiful.
Ia menyebut, skema pembagian DBH dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 sejak awal sudah timpang. Untuk migas, misalnya, pemerintah daerah hanya memperoleh 15 persen, sedangkan pusat menguasai 85 persen.”Itu pun 15 persen masih harus dibagi-bagi lagi untuk provinsi, kabupaten penghasil, dan daerah sekitarnya. Jadi bagian daerah sebenarnya sangat kecil,” ucapnya.
Saiful menekankan, pemangkasan DBH otomatis akan menggerus kemampuan daerah dalam menjalankan program-program publik. Jika Rp 4–5 triliun anggaran hilang, maka prioritas pembangunan di berbagai sektor harus direvisi.
“Yang paling terdampak tentu program pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Padahal masyarakat menunggu peningkatan kualitas layanan di sektor itu,” ungkapnya.
Ia mencontohkan, Kaltim masih menghadapi banyak masalah di bidang pendidikan, mulai dari keterbatasan fasilitas sekolah di pelosok hingga ketimpangan kualitas guru antarwilayah. Pemangkasan anggaran, katanya, hanya akan memperlambat perbaikan kualitas SDM lokal.
“Bayangkan kalau program rehab sekolah atau beasiswa daerah harus dipotong karena defisit. Generasi muda kita yang jadi korban,” terangnya.
Di sektor kesehatan, pemangkasan DBH juga bisa berimbas pada layanan dasar. Saiful mengingatkan, masih banyak rumah sakit dan puskesmas di Kaltim yang kekurangan sarana serta tenaga medis. “Kalau anggaran dipotong, jangan harap kualitas layanan kesehatan masyarakat bisa membaik,” tegasnya.
Sementara untuk infrastruktur, Saiful menilai Kaltim seharusnya mendapat perhatian lebih karena menjadi daerah penghasil sekaligus penyangga pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
“Tapi faktanya, banyak jalan provinsi maupun antar-kabupaten masih rusak parah. Kalau DBH dikurangi, infrastruktur makin terabaikan,” ujarnya.
Saiful menyayangkan sikap kepala daerah di Kaltim yang terkesan ‘tenang-tenang saja’ menghadapi kebijakan ini. Ia menilai ekspresi landai itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap hak rakyat.
“Baik itu Gubernur, Ketua DPRD, DPR, bupati, dan wali kota mestinya bersuara lantang. Ini bukan sekadar urusan APBD, tapi hak rakyat Kaltim. Cara berpikir jangan cari aman. Kalau diam saja, berarti rela rakyat dikorbankan,” ujarnya.
Kebijakan pemotongan DBH sebagai bentuk ‘kolonialisme modern’ dari pemerintah pusat terhadap daerah penghasil sumber daya alam.
Jika pemangkasan benar diberlakukan, Saiful khawatir daerah akan menutup kekurangan APBD dengan menaikkan pajak. Strategi itu, menurutnya, justru akan semakin memberatkan masyarakat kecil.
“Jangan sampai rakyat lagi yang jadi korban. Pajak bumi dan bangunan (PBB) atau kendaraan bermotor rakyat kecil mestinya tidak boleh dijadikan sumber utama PAD. Justru pajak tinggi harus dibebankan ke perusahaan tambang, sawit, dan angkutan berat mereka,”ujarnya.
Ia mencontohkan, truk-truk besar pengangkut batu bara atau kelapa sawit yang melintas di jalan umum mestinya dikenakan pajak khusus, karena aktivitas mereka mempercepat kerusakan infrastruktur.
Bahwa pemotongan DBH bertentangan dengan amanat Pasal 33 UUD 1945 yang menyebutkan kekayaan alam dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
“Kalau asas keadilan benar-benar dijalankan, mestinya DBH cukup untuk memperbaiki kerusakan lingkungan, membangun infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan di Kaltim. Nyatanya, daerah penghasil malah dianaktirikan,” tuturnya.
Menurutnya, kontribusi besar Kaltim dalam menyokong APBN seharusnya berbanding lurus dengan perhatian pusat terhadap pembangunan daerah. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, daerah penghasil merasa diperas tanpa mendapat imbalan yang setimpal.
Saiful mendesak pemerintah daerah agar tidak menerima begitu saja pemangkasan DBH. Ia mengingatkan, sikap pasif hanya akan semakin memperburuk ketidakadilan fiskal.
“Kalau hanya diam, maka pemotongan ini sama saja dengan penzaliman. Ini bukan hanya soal angka, tapi harga diri daerah penghasil sumber daya alam,” pungkasnya.(mayang/arie)












