Tak Ada Aturan, bisa Terulang

Pungutan Sekolah Negeri

Perwakilan Ombudsman RI Kaltim menyerahkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) kepada Wakil Gubernur Kalimantan Timur di Kantor Gubernur Kaltim.-Ben/Ombudsman.

Praktik pengumpulan dana, atau iuran di sekolah negeri tentunya tidak dibenarkan. Temuan Ombudsman, diharapkan tidak terulang lagi di Benua Etam.

DIKETAHUI, Ombudsman Republik Indonesia (RI) Perwakilan Kalimantan Timur (Kaltim), menyerahkan dokumen hasil pemeriksaan kepada Pemerintah Provinsi Kaltim,Rabu (30/4/2025).

Laporan tersebut, merupakan keluaran dari inisiatif investigasi internal menyangkut dugaan penyimpangan dalam praktik pengumpulan dana di sekolah menengah negeri. Penyerahan oleh Kepala Perwakilan Ombudsman Kaltim, Mulyadin, bersama tim. Dokumen telah diterima Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji.

Dalam pertemuan, tim memaparkan rangkuman hasil investigasi, disertai analisis dan saran kebijakan untuk mencegah pelanggaran serupa di masa mendatang.

“Tujuan kami menyerahkan laporan ini bukan untuk mencari-cari kesalahan, melainkan untuk memperbaiki tata kelola pelayanan publik, terutama dalam sektor pendidikan,” terang Mulyadin saat menyampaikan laporan di hadapan Wakil Gubernur.

Untuk pemeriksaan telah dilakukan pada 10 sekolah tingkat menengah, yang tersebar di berbagai wilayah Kalimantan Timur.  Adapun latar belakang penyelidikan, dipicu banyaknya laporan masyarakat terkait iuran untuk kegiatan seremoni seperti perpisahan dan wisuda. Walhasil, keluhan muncul akibat beban finansial yang dirasakan wali peserta didik, terutama karena sifat pungutan yang tidak bersifat sukarela.

“Mayoritas orang tua menyampaikan kepada kami bahwa mereka merasa terpaksa membayar, meskipun tak pernah ada forum musyawarah yang layak. Ini jelas menyalahi prinsip partisipatif dan sukarela,” tegasnya.

Temuan lapangan menunjukkan, bahwa sejumlah sekolah menjadikan komite sebagai alat untuk menghimpun dana dari orang tua murid tanpa dasar hukum yang sah. Praktik itu, dikategorikan Ombudsman sebagai tindakan maladministratif karena melanggar prinsip sukarela dalam penghimpunan dana pendidikan.

Merujuk Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016, komite sekolah tidak diperbolehkan menarik iuran dari peserta didik maupun wali. Peran komite hanya terbatas pada dukungan nonkomersial yang bersifat sumbangan atau bantuan tidak mengikat.

“Kami melihat komite sekolah justru dijadikan semacam ‘tangan panjang’ oleh pihak sekolah untuk memungut dana. Padahal aturannya jelas, komite tidak boleh memungut dalam bentuk apapun yang bersifat wajib,” ungkap Mulyadin.

Ombudsman menilai, pelaksanaan penggalangan dana ini juga tidak sejalan dengan dua surat edaran yang berlaku. Pertama, regulasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan Nomor 14 Tahun 2023, yang mengatur pelarangan pungutan wajib pada kegiatan seremoni di lembaga pendidikan.

Kedua, surat edaran Gubernur Kalimantan Timur Nomor 400.3.1/775/Tahun 2024 yang menegaskan hal serupa bagi satuan pendidikan jenjang SMA, SMK, dan SLB di bawah kewenangan provinsi.

Kedua aturan itu menekankan bahwa seluruh kegiatan pelepasan siswa tidak boleh membebani orang tua melalui kewajiban pembayaran. Namun, di beberapa sekolah, praktik ini tetap berlangsung tanpa transparansi, bahkan cenderung memaksa.

“Beberapa sekolah menyebut pembayaran bersifat sukarela. Tapi, di lapangan kami dapati orang tua tidak diberikan pilihan. Jika tidak membayar, anaknya tidak boleh ikut kegiatan pelepasan,” sebut Mulyadin.

Melihat kondisi tersebut, Ombudsman mengusulkan agar Pemerintah Provinsi Kaltim mengambil langkah normatif dengan menyusun Peraturan Gubernur khusus terkait larangan pungutan pada satuan pendidikan menengah.

Usulan ini sebagai saran yang dirumuskan melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Timur sesuai amanat Pasal 55 ayat (3) Perda Kaltim Nomor 16 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pendidikan.

“Sudah waktunya ada aturan khusus yang jelas dan kuat secara hukum agar praktik pungutan liar ini berhenti total. Jika tidak, persoalan akan terus berulang setiap tahun,” tutur Mulyadin.

Tak hanya itu, Ombudsman juga mendorong agar dinas menerbitkan surat edaran rutin setiap awal tahun ajaran guna memperkuat posisi hukum larangan pungutan.

Pihaknya menyakini, dengan adanya edaran, bisa menjadi acuan bagi sekolah dalam merencanakan aktivitas non-akademik. Supaya tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku.

Ombudsman pun meminta dibentuknya kanal pelaporan yang mudah diakses masyarakat, guna membuka ruang partisipasi publik dalam mengawasi praktik penyimpangan serupa. Hal tersebut juga merupakan upaya untuk  mempercepat tindak lanjut jika ada pelanggaran.

“Kami menyarankan ada satu kanal pengaduan resmi yang diumumkan secara terbuka, agar masyarakat tahu ke mana mereka bisa melapor jika menemukan praktik serupa,” sarannya.

Selain itu, Mulyadin menyampaikan, penghargaan atas berbagai program pendidikan yang telah berjalan di Kalimantan Timur.

Meski demikian,  perlu pengawasan ketat terhadap satuan pendidikan. Agar setiap kebijakan tidak disalahgunakan di tingkat pelaksana. Penyelenggaraan pendidikan seharusnya bebas dari tekanan ekonomi tambahan, terlebih bagi keluarga yang kurang mampu.

“Semua pihak harus terlibat menjaga prinsip keadilan dalam akses pendidikan. Jangan sampai hanya karena ketidakmampuan membayar, anak-anak kehilangan hak untuk ikut merayakan momen penting dalam hidup mereka,” pungkasnya.(salsa/arie)

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *