SAYA ke Jambi kemarin. Jadi saksi perkara seperti itu lagi. Di PTPN 6 di sana. Saya khawatir tidak cukup waktu untuk menulis. Saya ingat teman saya yang satu ini.
Setelah Covid-19 berlalu, orang seperti Adharta tidak bisa diam. Ia sudah memilih lagi bidang pengabdian berikutnya: menangani stunting. Kemarin ia mulai rapat soal itu. Dengan para mantan aktivis –relawan Covid-19. Anda masih ingat: Adharta adalah ketua relawan KILL Covid –singkatan dari Komunitas Indonesia Lawan Libas Covid-19. Anggotanya sampai 20.000 relawan. Di banyak kota.
Ia sendiri tiga kali kena Covid. Tiga kali masuk ICU. Masing-masing 10 hari. Pun sampai sekarang, masih terkena long Covid: pendengarannya masih terganggu. Telinganya tidak bisa stereo. Sudah berobat ke mana-mana: termasuk ke Australia dan Singapura. Ia punya rumah di sana. Anak-cucunya ada yang tinggal di dua negara itu. “Akhirnya saya harus pakai alat pembantu pendengaran. Tidak banyak menolong juga,” katanya. “Memang dokter sudah mengatakan tidak bisa lagi dipulihkan,” tambahnya.
Adharta–
Ia pebisnis sukses. Di bidang kapal. Tapi saya baru tahu ayahnya ternyata pegawai Pelni. Itulah sebabnya Adharta lahir di kota yang saya belum pernah ke sana: Kalabahi. Di pulau Alor. Tetangga utara Dili, Timor Leste.
Ayahnya sendiri lahir di Fujian. Waktu kecil sang ayah dibawa engkongnya ke Makassar. “Bagi orang Fujian, kala itu, Makassar lebih terkenal dari Batavia (Jakarta) atau Surabaya,” ujar Adharta mengutip cerita engkongnya.
Sang ayah tumbuh besar di Makassar. Lalu bekerja di perusahaan kapal Belanda. Ketika Indonesia merdeka perusahaan kapal itu berubah nama menjadi Pelni.
Tugas berikut sang ayah adalah: memimpin Pelni cabang Kalabahi. Waktu itu Kalabahi kota pelabuhan yang penting: punya sumber air tawar yang melimpah. Kapal-kapal besar (untuk ukuran zaman itu) senang mampir di Kalabahi: isi air. Pun kapal yang menuju Australia.
Sumber air itu muncul di atas bukit. Bukitnya dekat pelabuhan. Tinggal pasang bambu. Dari bukit air bisa langsung ke kapal. Sang ayah melakukan perubahan: bikin tandon air. Besar sekali. Di antara sumber air dan pelabuhan.
Dari pipa bambu, air ditampung dulu di kolam itu. Lalu dipasang pipa besar. Pipa besi. Dengan demikian bisa mengisi air ke kapal dalam hitungan jam.
“Sebelum itu kapal harus berhenti di Kalabahi tiga hari. Pipa bambu kan kecil,” katanya.
Waktu kecil Adharta melihat semua itu. Ia juga sering mendaki bukit dan gunung Alor. Bersama anak-anak di sana. Termasuk Hasan Ashari Oramahi. Anda sudah tahu tokoh itu: penyiar legendaris RRI, TVRI, sampai BBC.
Oramahi adalah sepupu Adharta: sang engkong punya dua istri. Yang satu wanita Tionghoa, satu orang lagi asli Alor. Lahirlah ayah Hasan Ashari Oramahi.
“Alam Alor itu indah. Bergunung. Berbukit. Tanahnya subur,” katanya. Kemiri terbaik dari sana. kemirinya tiga kali lebih besar dari daerah lain. Kenari. Pala. Dan yang ia selalu banggakan adalah: mangga kelapa.
Ia selalu minta kiriman mangga kelapa dari Alor. Ukurannya sebesar kelapa. Rasanya, katanya, tiada duanya. Setiap kali melihat mangga besar di Bangkok ia selalu mencibir dalam hati: tidak akan bisa mengalahkan mangga kelapa.
Anda sudah tahu: yang juga terkenal dari Alor adalah lautnya. Pantainya. Teluknya. Pertukaran air lautnya. Dari dingin (saat Australia musim dingin) ke hangat. Lumba-lumbanya. Ikan pausnya. Semua itu bisa dilihat. Dirasakan.
Kalabahi memang berada di sebuah teluk. Menjorok jauh ke dalam: airnya tenang sekali.
Ketika Adharta SD, ayahnya dipindah ke Pelni Surabaya. Kantornya di dekat tugu Pahlawan. Di sebelah kantor lama Surabaya Post. Saya juga pernah berkantor sebentar di situ. Di majalah Liberty-nya Goh Tjing Hok.
Adharta sekolah di SD negeri. Satu sekolahan dengan Wapres Try Sutrisno. Lalu masuk SMA Frateran di belakang kantor pos. Sarjananya teknik sipil Trisakti. Master manajemennya di Prasetya Mulya.
“Sesekali saya masih ke Kalabahi. Biasanya kalau lagi ching bing. Ke makam. Masih banyak keluarga di sana,” katanya.
Harusnya saya ikut rapat stunting Adharta kemarin. Yang diundang para aktivis kesehatan: Ada dr Lie Dharmawan, Daniel Tjen, Prof Soewandi, Prof Susanto, Prof Santoso, Prof Nafsiah Mboi, Prof Chandra Motik, dan Prof Henry.
Adharta masih berharap telinganya bisa kembali stereo. Ia memang tidak ke dokter THT lagi, tapi terapi telinga terus dilakukan:
Daun telinga di tarik-tarik, dipijit-pijit, dan diputar-putar.
Lakukan tekanan jari pelan-pelan ke lubang telinga. “Ada usulan disembuhkan dengan hyperbaric. Saya pernah coba,” katanya.
Pakai air tetes telinga yang mengandung antibiotik.
Pakai kain handuk dikasih air panas ditempel ke telinga. Pagi dan sore, 5 menit.
Latihan konsentrasi mendengar.
Fokus. Misalnya mendengarkan TV.
“Karena intinya itu konsentrasi saraf,” katanya.
Tinggal satu saran yang belum dilakukan: tusuk jarum.
Tentu saya juga harus melakukan sesuatu di Jambi: makan durian. Ramai-ramai dengan teman dari Jambi Ekspres. Saat itulah saya baru tahu: sekolah di Jambi diliburkan. Tiga hari. Asap lagi menguasai angkasa Jambi. Biasa: akibat bakar-bakar kebun atau hutan. Resminya bukan libur: WFH lagi. (DAHLAN ISKAN)