Sampai Kapan

Oleh: Dahlan Iskan

PENGUSAHA besar dan kecil kali ini bisa bersatu: sama-sama mempertanyakan pertanyaan yang sama.

Pertama: apakah kabinet baru ini bisa diharap untuk lebih baik.

Kedua: ekonomi lesu ini sampai kapan?

Mungkin yang bisa menjawab Budi Ari. Atau wamen lain yang selalu punya jawaban untuk pertanyaan apa saja. Saya tidak mampu menjawab.

Mungkin baik juga untuk bahan tebak-tebakan. Siapa yang berani bertaruh bahwa hasil kabinet ini sudah bisa kelihatan dalam enam bulan ke depan.

Siapa pula yang taruh uang untuk tebakan satu tahun. Tiga tahun. Atau sampai akhir masa jabatan pun belum akan baik.

Pertanyaan yang sama juga dikemukakan oleh para pengusaha pun di daerah sejauh Ponorogo.

Di saat Prabowo dilantik sebagai presiden, Minggu lalu saya sedang bertemu sekitar 50 anggota HPN Ponorogo. Di restoran “mewah” karena benar-benar mepet sawah.

HPN, Anda sudah tahu: singkatan Himpunan Pengusaha Nahdliyin. Pengusaha NU. Masih muda-muda. Mereka sangat merasakan lesunya daya beli masyarakat.

“Apakah benar lesu?” tanya saya. “Bukankah ada yang berteori ekonomi sebenarnya tidak lesu? Katanya, yang terjadi adalah peralihan. Beralih dari offline ke online. Bukan lesu,” sambung saya.

Saya pun ditertawakan.

Anggota HPN itu hampir semua pengusaha lama. Sudah lolos dari masa-masa jatuh-bangun. Hanya satu orang yang usahanya baru berumur tiga tahun.

Salah satu di antara mereka itu ada yang usaha katering. Awalnya pemasok ayam lodoh untuk banyak restoran bermenu masakan khas Trenggalek-Tulungagung itu tapi tidak punya kokinya. Ia bikin ayam lodoh beku. Dikirim sampai ke Tegal dan Purwokerto.

Namanya: Riyan Rahmawan. Nama usahanya: katering Doro Gepak.

Sejak Covid-19 terjadi perubahan drastis: pesanan online lebih banyak. Bahkan dari luar negeri: Taiwan, Hongkong, Korea, Jepang.

Yang lebih banyak dipesan pun berubah: tumpeng Ponorogo.

Kirim tumpeng ke Taiwan?

Tidak.

Pemesannya dari negara-negara tersebut tapi tumpengnya minta dikirim ke alamat di sekitar Ponorogo saja. “Tiap hari ada pesanan dari luar negeri,” ujar Riyan.

Pesan yang harus Riyan tulis di tumpeng itu macam-macam. Terbanyak: selamat ulang tahun.

Siapa yang ulang tahun? “Paling banyak anak-anak,” ujar Riyan. Dari ibu ke anaknyi. Sang ibu lagi berjuang di luar negeri. Mereka masih muda-muda. Ibu muda. Anak mereka pun masih kecil-kecil. Ditinggal di kampung.

Mereka ingat kapan anak mereka berulang tahun. Riyan jadi perantara rasa sayang seorang ibu pada anak mereka. Sayang jarak jauh.

“Ada yang pesan sampai 100 tumpeng. Agar bisa mengundang seluruh teman anaknyi,” ujar Riyan.

Tentu ada juga pesanan tumpeng untuk orang tua TKI. Termasuk di saat ”mendhaki” penanda hari kematian orang tua.

Saya bertanya satu persatu apa saja usaha anggota HPN di Ponorogo. Saya kaget: salah satunya bisa berbahasa Mandarin. Pernah enam tahun jadi TKI di Taiwan.

Ketuanya sendiri, Suparlin, punya lima jenis usaha. Termasuk resto yang ditata dengan gaya pedesaan Jepang. Gabungan Jepang dan Jawa.

Apa pun usaha mereka kini muncul tantangan terbaru. Mereka kini harus menghadapi lima hal: lesunya daya beli, soal pajak, lalu pajak, pajak lagi dan pajak. Belum pernah mereka menghadapi masalah pajak seperti sekarang ini.

Saya pun tidak bisa memberi jalan keluar. Saya hanya sampaikan bahwa ke depan pajak akan semakin keras. Pengusaha kecil sudah harus memasukkan resiko pajak dalam perhitungan bisnis.

Mengapa semakin keras? Pemerintah harus cari uang lebih keras. Lebih banyak. Pendapatan negara kian banyak yang harus untuk bayar utang.

Apalagi, jangan-jangan, biaya untuk birokrasi juga naik –akibat anggota kabinet yang kian gemuk.

Pembaharuan struktur kabinet ternyata tidak terjadi. Kementerian BUMN tetap ada –bahkan wakil menterinya ditambah. Kementerian keuangan juga tidak jadi dipisah. Tidak jadi ada kementerian pendapatan negara.

Uang kian sulit. Biaya kian besar. Rezeki nomplok belum tentu datang lagi: dari melonjaknya harga batu bara, nikel, dan minyak sawit.

Mereka tidak bisa menerima penjelasan seperti itu. Maka saya sarankan agar HPN, di mana pun, melakukan pertemuan anggota. Bicarakanlan problem pajak masing-masing. Setelah diinventarisasi, adakan pertemuan anggota sekali lagi. Undanglah pejabat pajak setempat. Diskusikan.

Jadi, berapa lama lagi kelesuan ekonomi terjadi?

Kalau melihat pidato pertama Presiden Prabowo di saat pelantikan rasanya menjanjikan. Tapi Anda sudah tahu: pidato sudah lama tidak bisa dipegang.(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *