Implementasi kebijakan alih daya berlapis di Kalimantan Timur (Kaltim), memicu banyaknya keluhan dari para pekerja. Bahkan sudah banyak laporan.
Alih daya adalah pemindahan pekerjaan (operasi) dari satu perusahaan ke perusahaan lain. Hal ini biasanya dilakukan untuk memperkecil biaya produksi atau untuk memusatkan perhatian kepada hal utama dari perusahaan tersebut.
Pengawas Ketenagakerjaan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kaltim, Maria Dewi Santinurani mengungkapkan, bahwa benang kusut hubungan kerja akibat praktik alih daya bertingkat menjadi laporan terbanyak yang mereka terima saat ini.
Santi menjelaskan, perubahan signifikan dalam regulasi ketenagakerjaan pasca-Undang-Undang Cipta Kerja membuka lebar pintu bagi perusahaan untuk melimpahkan pekerjaan kepada subkontraktor secara berjenjang, bahkan tanpa batasan lapisan. Situasi ini berbeda jauh dengan aturan sebelumnya yang membatasi praktik serupa.
“Yang sering dilaporkan saat ini memang ada terkait UMK, tapi yang paling banyak itu hubungan kerja karena alih daya,” tegas Santi di Balikpapan, Kamis (1/5/2025).
Menurutnya, dicabutnya Peraturan Menteri (Permen) Nomor 19 Tahun 2012 secara otomatis menghilangkan pagar pembatas alih daya, sehingga lanskap ketenagakerjaan kini diwarnai potensi rantai subkontrak yang panjang dan kompleks.
Dampak riil dari alih daya berlapis ini dirasakan langsung oleh para pekerja. Santi menyoroti kerentanan mereka, terutama ketika salah satu mata rantai dalam sistem kontrak tersebut gagal memenuhi kewajibannya.
Dahulu, kata Santi, dalam rezim regulasi sebelumnya, perusahaan pemberi kerja turut memikul tanggung jawab atas kelalaian subkontraktor. Namun, kini situasinya berubah drastis.
“Kalau subkon tidak melaksanakan kewajiban, sekarang yang bertanggung jawab hanya pihak subkon itu saja, yang lainnya lepas (tidak ada kewenangan),” jelas Santi.
Ia menggambarkan, bagaimana tanggung jawab kini terpusat pada ujung rantai alih daya. Kondisi ini, menurutnya, membuka peluang lebar bagi kerugian pekerja dan memicu kekhawatiran mendalam terkait perlindungan hak-hak mereka.
Kendati demikian, Santi tidak secara eksplisit menentang praktik alih daya subkontraktor yang berpotensi melibatkan banyak lapisan. Namun, menekankan krusialnya peran aktif perusahaan pemberi kerja dalam melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh mata rantai subkontraktor yang terlibat.
Lebih jauh, Santi mengusulkan, langkah konkret kepada pemerintah pusat untuk memperkuat perlindungan pekerja. Ia pun mendorong penambahan pasal dalam regulasi yang secara tegas memuat kewajiban bagi perusahaan pemberi kerja untuk turut bertanggung jawab apabila subkontraktor lalai dalam mengawasi para pekerjanya.
Usulan ini, kata Santi, telah ia sampaikan dalam forum dialog dengan para pemangku kepentingan di tingkat pusat yang berlangsung di Balikpapan pada tahun 2024 lalu. Ia pun juga berharap agar aspirasi dari daerah dapat diakomodir dalam kebijakan di tingkat nasional.
“Ini sudah saya usulkan pada pemerintah pusat. Karena kami di daerah adalah pelaksana regulasi, bukan regulator,” pungkas Santi.(chandra/arie)