PENCEMARAN air di Sungai Segah kembali menjadi keluhan serius bagi para petambak ikan di Kabupaten Berau. Buruknya kualitas air sungai membuat pertumbuhan ikan melambat dan menurunkan produktivitas tambak.
Hal ini dirasakan langsung oleh Sumarto (71), seorang petambak ikan yang bermukim di Jalan Bujangga, Tanjung Redeb. Ia mengeluhkan air Sungai Segah yang mengaliri tambaknya kini tak lagi sejernih dulu. Menurutnya, kondisi ini sudah berlangsung cukup lama akibat pencemaran limbah yang tidak kunjung ditangani.
“Sekarang air sungai sudah kotor. Limbah sudah pernah mencemari sungai dua kali, kalau tidak salah tahun 2015 dan 2018. Sejak saat itu, banyak ikan yang mati,” ujar Sumarto, Senin (9/6/2025).
Dampak pencemaran sungai sangat terasa pada proses budidaya ikan. Ia menyebut pertumbuhan ikan menjadi lebih lambat, terutama ikan emas yang dulunya bisa dipanen dalam waktu tiga bulan, kini harus menunggu hingga lima bulan dan belum tentu berhasil panen.
Di tambaknya, Sumarto membudidayakan beberapa jenis ikan konsumsi seperti nila, emas, patin, dan lele. Namun hasil panen masih dipasarkan dalam skala kecil, sebagian besar dijual langsung ke warga sekitar. Ia mengaku lebih memilih cara ini karena lebih mudah dalam transaksi dibanding menjual ke pasar.
“Kalau panen, biasanya langsung habis dibeli warga. Kalau panen besar, kami panggil speed buat bantu angkut. Tapi tidak dijual ke pasar, karena kalau ke pasar kadang susah uangnya,” tuturnya.
Harga jual ikan, menurut Sumarto, sejauh ini masih tergolong stabil. Ikan nila dan patin dijual dengan harga Rp 50 ribu per kilogram, lele Rp 30 ribu per kilogram, dan ikan emas mencapai Rp 75 ribu per kilogram.
Selain pencemaran air, gangguan juga datang dari aktivitas lalu lintas sungai. Ia menilai kapal tongkang yang kerap melintas di Sungai Segah tidak memberikan dampak signifikan. Namun, lain halnya dengan speedboat yang melaju kencang, menciptakan gelombang besar hingga mengganggu air di permukaan tambak.
Sumarto juga menyinggung minimnya perhatian dari pemerintah terhadap petambak kecil. Selama lebih dari dua dekade mengelola tambak, ia mengaku baru dua kali mendapatkan bantuan, baik berupa pelatihan, bibit, maupun pakan ikan.
“Sudah 22 tahun saya kelola tambak ini, tapi baru dua kali dibantu pemerintah. Sekarang sudah lama tidak ada bantuan lagi,” pungkasnya. (MAULIDIA)