TANJUNG SELOR, NOSAKALTARA – Partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024 mengalami penurunan di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Di Kalimantan Utara (Kaltara), KPU mencatat, partisipasi pemilih hanya 68,05 persen. Turun dibandingkan dengan partisipasi pemilih pada Pilkada Kaltara 2020, yang tercatat lebih 74 persen.
Terlebih jika dibandingkan dengan partisipasi pemilih di Pemilu 2024, yang dilaksanakan pada Februari lalu, penurunannya cukup signifikan. Di Pemilu 2024 lalu, partisipasi pemilih di Kaltara mencapai 81 persen.
Ketua KPU Kaltara, Hariyadi Hamid menyebut, secara general ada beberapa faktor penyebab turunnya partisipasi pemilih pada Pilkada 2024.
Di antaranya, pelaksanaan pemilu dan pilkada yang berdekatan, sehingga membuat masyarakat sedikit mengalami kejenuhan.
Jika dibandingkan dengan pemilu, menurutnya, dalam perhelatan pemilu aktor-aktor yang terlibat cukup banyak. Termasuk juga jumlah calon yang lebih banyak, serta tim sukses dan relawan dari calon juga lebih banyak jika dibandingkan dengan pilkada.
“Sehingga, kemudian itu bisa memengaruhi partisipasi pemilih. Karena partisipasi itu tidak hanya ditunjang oleh penyelenggara, tetapi juga ada faktor-faktor yang lain,” kata Hariyadi, Senin (9/12/2024).
Kendati demikian, KPU Kaltara akan mengevaluasi. KPU, kata Hariyadi, akan melihat apakah kreativitas program yang telah disusun memberikan efektif atau tidak terhadap partisipasi pemilih.
“Itu nanti akan kami evaluasi dan mencari data pembanding. Setidaknya kami akan melakukan penelitian terkait dengan itu. Mudah-mudahan nanti kami bisa publikasikan, apakah program yang kemudian sudah kami rencanakan itu berdampak atau tidak sama sekali berdampak. Sehingga nantinya akan menjadi bahan untuk kami susun terkait dengan pilkada di masa yang akan datang,” ujarnya.
Sementara itu, pengamat yang juga dosen Fakultas Sosial Politik (Sospol) Universitas Kaltara, Jimmy Nasroen MA, menyebut beberapa faktor jadi penyebab menurunnya tingkat partisipatif pemilih pada Pilkada 2024.
Menurutnya, peran partai politik (parpol) pengusung dari pasangan calon tidak berjalan maksimal, dalam melakukan sosialisasi terhadap pasangan calon yang diusung.
“Memang kalau parpol ini kan ada beberapa alasan kenapa mereka tidak punya partisipatif yang aktif. Ya, mungkin komunikasi pendanaan yang kurang terhadap paslon mereka,” ujarnya.
“Komunikasi yang kurang efektif dari parpol ini, untuk bagaimana menarik peserta pemilih datang ke TPS. Karena seharusnya tidak bisa hindari persoalan pendanaan untuk melakukan sosialisasi ke lapangan, itu juga sangat penting,” lanjut Jimmy.
Selain itu, adanya intervensi dari partai di tingkat DPP atau pusat, diakuinya juga menjadi salah satu penyebabnya.
Ia menilai parpol di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota di Kaltara, merasa tidak dilibatkan dengan adanya kesepakatan dukungan parpol dengan pasangan calon yang akan diusung.
Adanya transaksi antara pasangan calon dengan partai pengusung di tingkat DPP atau pusat, namun tidak menyentuh pada pengurus partai di tingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.
“Persoalan pilkada ini kan transaksinya di tingkat pusat. Ini juga yang menjadi kendala dan menjadi pengalaman kita dari tahun ke tahun. Kenapa teman-teman, baik di provinsi maupun di kabupaten/kota itu agak kurang bergerak, karena deal-nya di pusat. Dan, mereka jujur saja, mereka tidak dapat apa-apa,” ujarnya.
Untuk itu, ia menyarankan agar ada regulasi di internal partai pengusung, untuk menyerahkan sepenuhnya arah dukungan masing-masing kepala daerah kepada pengurus partai di tingkat provinsi atau kabupaten/kota.
Sehingga, adanya kesepakatan politik antara calon yang diusung dan partai pengusung akan tersentuh langsung pada tingkat daerah.
“Saya berharap, kewenangan teman-teman partai politik di daerah itu harus diberikan,” ujarnya. (ALAN)