Pemerintah Kota (Pemkot) Samarinda, diminta untuk tidak menunda implementasi transportasi massal hanya karena sistem belum sempurna.
Desakan itu disampaikan oleh Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Wilayah Kalimantan Timur, Tiopan Henry Manto Gultom, menyusul rencana Pemkot yang memprioritaskan pembangunan sistem transportasi mulai 2026 dan pengadaan armada pada 2027.
Tiopan, yang juga pengamat lalu lintas dari Fakultas Teknik Universitas Mulawarman, menegaskan, bahwa keterbatasan infrastruktur bukan alasan untuk menunda penyediaan angkutan umum.
“Paling mudah dan cepat disiapkan adalah moda berbasis jalan, seperti bus. Kalau mau jangka panjang, bisa dirancang moda berbasis rel. Tapi harus dimulai dulu dari yang memungkinkan,” kata Tiopan, Senin 4 Agustus 2025).
Ia mengakui, bahwa kondisi jalan di Samarinda cenderung sempit dan tidak dirancang sebagai kota metropolitan. Namun, hal itu menurutnya bukan alasan untuk mengabaikan kebutuhan akan sistem mobilitas publik.
“Kota lain seperti Balikpapan juga punya tantangan serupa, tapi bisa membangun sistem transportasi publik yang fungsional,” ujarnya.
Tiopan menekankan pentingnya pemilihan jenis moda transportasi yang sesuai dengan karakteristik wilayah. Jika kondisi jalan tidak memungkinkan penggunaan bus besar, maka bisa digunakan kendaraan sedang atau kecil.
“Kendaraan bisa disesuaikan dengan kondisi lapangan. Yang penting adalah masyarakat terlayani dan sistem berjalan,” katanya.
Selain itu, Tiopan menyoroti, pentingnya penataan ulang arus lalu lintas agar sistem transportasi massal dapat berjalan efisien. Upaya seperti konversi jalan dua arah menjadi satu arah, manajemen arus, hingga rekayasa kawasan harus dipersiapkan dengan matang.
“Perlu simulasi dan kajian teknis agar tidak menimbulkan kemacetan baru,” ujarnya.
Namun, menurut dia, sistem transportasi tidak cukup dibangun melalui pendekatan infrastruktur semata. Faktor perilaku manusia menjadi elemen krusial yang menentukan keberhasilan implementasi.
“Tidak ada buku yang menjelaskan secara pasti perilaku warga Samarinda dalam berlalu lintas. Jadi harus dicoba dulu, lalu dievaluasi bertahap,” ujarnya.
Tiopan mendorong Pemkot Samarinda untuk berani memulai uji coba transportasi massal. Menurutnya, eksperimen kebijakan sangat penting untuk mengukur efektivitas sistem dan menentukan perbaikan ke depan.
“Kalau tidak dimulai, kita tidak akan pernah tahu di mana letak kekurangannya,” ujarnya.
DAMPAK LUAS TRANSPORTASI
Tiopan juga mengingatkan, bahwa stagnasi transportasi publik akan berdampak luas terhadap struktur mobilitas, ekonomi rumah tangga, serta kualitas lingkungan. Ketergantungan terhadap kendaraan pribadi, lanjutnya, akan terus memperparah kemacetan, meningkatkan polusi udara, dan menambah beban pengeluaran masyarakat.
“Transportasi massal itu juga menyangkut manusia dan perilaku mereka. Perlu ketegasan dalam kebijakan agar perubahan bisa terjadi,” kata Tiopan.
Ia menyimpulkan bahwa kunci pembangunan transportasi publik di Samarinda terletak pada komitmen pemerintah daerah.“Semua tergantung keberanian dan komitmen Pemkot untuk memulai,” tutupnya.
Sebelumnya, Pemerintah Kota Samarinda belum akan langsung mengimplementasikan sistem transportasi massal dalam waktu dekat. Saat ini, masih memprioritaskan penyusunan sistem dan regulasi pendukung. Rencana pengadaan fisik transportasi massal baru akan dimulai pada 2027, setelah sistem dinilai siap dan layak untuk diterapkan.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Penelitian dan Pengembangan (Bappedalitbang) Kota Samarinda, Ananta Fathurrozi, menjelaskan bahwa saat ini pihaknya masih dalam tahap menerima masukan dan menyusun skema pembiayaan.
“Saya tadi sudah komunikasi dengan Pak Manalu, yang menangani soal transportasi massal. Katanya, koordinasinya di tim Bappeda. Tapi secara teknis bukan kami yang menangani. Kami hanya menerima masukan serta melihat bagaimana pembiayaannya nanti,” ujar Ananta saat ditemui di Samarinda, Sabtu (2/8/2025).
Menurut Ananta, program transportasi massal berbasis sistem buy the service (BTS) memang telah menjadi bagian dari visi dan misi Wali Kota Samarinda, Andi Harun. Namun, pemerintah kota belum akan langsung melangkah ke tahap operasional tanpa kajian kelayakan terlebih dahulu.
“Kalau bicara pembiayaan, tentu harus kita lihat dulu, apakah program ini layak secara anggaran. Jangan sampai kita sudah keluarkan biaya besar, ternyata dampaknya kecil,” katanya.
Ia mencontohkan simulasi skenario buy the service yang diajukan oleh vendor, dengan biaya sekitar Rp 60 miliar untuk dua jalur trayek. Jika animo masyarakat masih rendah, misalnya hanya empat orang yang naik dalam satu armada, maka dana yang dikeluarkan akan sia-sia karena hanya menguntungkan penyedia jasa.
“Artinya kita hanya membiayai vendornya saja. Tujuan utamanya, yaitu mendorong masyarakat beralih ke transportasi umum dan mengurangi kemacetan serta emisi, tidak tercapai,” ujarnya.
Untuk itu, lanjut Ananta, tahun 2026 akan difokuskan pada penyusunan sistem, termasuk regulasi, kelembagaan, dan skema pembiayaan alternatif. Pemerintah juga membuka kemungkinan untuk mencari solusi yang lebih murah dan sederhana dibandingkan skema BTS nasional.
“Karena sistem BTS ini kan berbasis vendor nasional. Ada pengusaha besar di belakangnya. Kita belum tentu bisa langsung ikut, karena kita juga belum punya survei atau data pengguna. Maka kami juga membuka ruang inovasi, termasuk potensi kerja sama dengan pihak swasta lokal,” jelasnya.
Ananta menegaskan, bahwa penganggaran fisik untuk transportasi massal baru akan diputuskan setelah sistem rampung dan dinilai layak. Jika proyek berjalan bertahap, maka kebutuhan anggaran diproyeksikan mencapai Rp 180 miliar hingga tahun 2030.
“Kalau itu masuk ke dalam RPJMD atau rencana strategis OPD, kita harus siapkan anggarannya bertahap. Tapi kita juga harus realistis. Jangan sampai dana besar keluar, sementara jalan-jalan lain yang prioritas justru terbengkalai,” tuturnya.
Lanjutnya, pendekatan berbasis kerja sama swasta bisa menjadi alternatif yang lebih fleksibel dan murah. Namun, hal ini tergantung pada kesiapan pihak swasta lokal dalam menyediakan sistem dan layanan setara dengan standar nasional.
“Bisa saja kita ajak kerja sama swasta lokal. Tapi apakah ada yang siap dengan sistem serupa dan standar yang diminta? Ini yang juga masih kita kaji,” kata Ananta.
Pemerintah Kota Samarinda menegaskan, tahapan sistemik harus lebih dulu diselesaikan agar pelaksanaan program transportasi massal benar-benar tepat sasaran, efisien, dan tidak menjadi beban fiskal di masa depan.(rahmat/arie)