Gunung terakhir kami lewati. Sepanjang jalan tidak ada yang berlubang. Kemulusan aspalnya setara dengan jalan aspal non tol di Indonesia. Hanya sebagian aspalnya bergelombang, terlalu banyak truk gandeng kelebihan muatan.
Itu sangat jauh dari bayangan saya. Yakni bayangan yang dibentuk buku pelajaran tarikh Islam. Ustman bin Affan, orang Islam terkaya di Makkah saat itu, sampai ke Negash. Atas perintah Nabi Muhammad. Agar terhindar dari tekanan dan ancaman kaum Quraisy. Utsman sendiri kelak, jadi salah satu dari empat khalifah (pemimpin) utama pengganti Nabi Muhammad.

Rumah-rumah di Negash, Ethiopia–
Kalau Anda naik kereta termodern Whoosh ke Bandung, lalu pindah ke kereta supporting-nya, Anda saksikan saja rumah-rumah di sepanjang rel itu: seperti apa. Atau rumah-rumah di sepanjang sungai di Kaltim dan Kalsel. Seperti apa.
Mereka yang sudah lama meninggal itu punya rumah sangat bagus. Rupanya ada orang kaya Ethiopia yang membangunnya. Sekaligus membangun kembali masjid di depannya.

—
Mobil kami pun keluar dari jalan beraspal. Masuk ke kompleks ini. Menikung naik ke kiri. Menanjak sedikit. Belum beraspal. Jalan tanah. Kanan kirinya rumah penduduk miskin.
Terkunci. Belum saatnya waktu salat. Juga masih tiga jam lagi salat Jumat.
Halaman masjid ini berupa tanah kering. Cukup luas. Sedikit lebih luas dari masjidnya. Di sebelah tempat wudu itu ada gerbang. Itulah gerbang menuju makam.

—
Di belakang jajaran prasasti itu pepohonan dan semak. Tanaman utamanya kaktus. Tinggi-tinggi, meski tidak setinggi kaktus di Arizona, Amerika.
—
Gus pemandu ini memberi banyak penjelasan. Sama persis dengan yang ada di internet.
Saya juga tidak bisa menuliskannya.
Di dalam bangunan itu juga penuh dengan andang —scaffolding. Beberapa orang bekerja di atas andang itu. Bersih-bersih. Mengecat.
Kiai sepuh itu pun memimpin doa. Pendek. Sambil berdiri. Tidak ada kekhusukan seperti di makam Gus Dur di Tebuireng, Jombang.
Keluar dari makam lebih banyak lagi yang mengerubung. Juga para wanita. Anak-anak.
Lalu saya lihat dua lelaki perlente masuk ke makam. Gagah. Berjas. Berdasi. Wajahnya seperti keturunan Arab.
“Assalamu alaikum,” sapanya. “Kami dari Toronto”.
“Kanada?”
“Yes”.
Kami pun ngobrol sambil berdiri. Tidak ada tempat duduk. Tidak ada gasebo. Tidak ada tempat berteduh.
“Kami lahir di desa ini. Besar di Addis Ababa. Sekarang tinggal di Toronto”.
“Sering ke sini?”
“Sering. Sesekali”.
Jelaslah mereka masih keturunan yang dimakamkan di situ. Obrolan selesai.
Lapar.
Saya pun minta dibawa ke warung terbaik. Ini soal kesehatan benda yang akan masuk ke perut.
Maka saya dibawa ke warung itu. Lihat foto depannya. Saya ditawari makanan lokal tapi tidak mengerti. Juga tidak mau berjudi. Saya pilih saja roti epek. Roti gapit. Telur dadar (putihnya saja) dijepit di dua belahan roti.
Si Gus Pemandu menolak untuk ikut makan. Lalu setengah saya paksa. Tetap menolak. Ia lulusan D2 bahasa Inggris di kota kecil dekat desanya.
“Puasa?”
“Tidak”.
“Pesanlah makanan apa saja yang Anda suka”.
“Tidak”.
Miskin tapi bermartabat. Cocok dengan motto saya dulu. Anda tentu masih ingat apa lanjutan motto “Miskin Bermartabat” itu –yang pernah saya kampanyekan dulu.
Yang disajikan beda dengan yang saya maksud. Telurnya masih pakai kuningnya.
“Tolong sampaikan, yang saya inginkan tidak seperti ini. Jangan pakai kuning telur,” pinta saya kepada si Gus.
Pesanan pun datang. Benar. Maka saya sodorkan roti epek yang ada kuning telurnya tadi ke Gus Pemandu. Ia mau makan. Lebih cepat habis dari saya.
Kami banyak berbincang soal perang di Tigray. Sesekali pembicaraan berhenti. Kami terdiam. Lama. Sopir yang mengantar saya dari Makelle menyerahkan layar HP-nya. Merek Samsung. Saya baca pesan di layar hp itu.
“Kita jangan bicara perang. Yang baru masuk itu tentara,” tulisnya.
Saya pun melirik tamu yang lagi makan sayur mentah campur saus dan roti. Makannya cepat. Lalu pergi. Kami mulai lagi bicara soal perang.
“Saya pernah sembunyi di bunker di bawah masjid. Hampir tanpa makan dan minum. Dua hari,” ujar Gus Pamandu.
Bunker itu cukup untuk 50 orang. Berdesakan. Tapi tetap saja tidak aman. Tentara masuk ke bunker. Memeriksa mereka. Ketakutan. Tidak ditemukan senjata. Mereka dibebaskan.
Ganti tentara yang menguasai bunker itu. Lengkap dengan persediaan smerekanya.
Desa Negash kini berpenduduk sekitar 2.000 orang. Penduduk muslimnya tinggal paling banyak 200 orang. Saat salat Jumat, masjid itu penuh.
“Sekitar 50 orang yang jumatan ” ujar Gus pemandu.
Saya pilih kembali ke Makelle. Jumatan di kota itu. Waktu saya harus dihemat. Dalam perjalanan kembali ke Makelle saya minta izin ke sopir: tidak lagi duduk di depan. Kursinya terlalu tegak. Tidak bisa disandarkan. Sedikit saja sekali pun.
Saya pun menggeletakkan badan di kursi tengah. Tas merah sebagai bantalnya.(Dahlan Iskan)