Menanti Keadilan IDI Samarinda

Dugaan Malapraktik di RSHD

Dugaan malapraktik medis oleh Rumah Sakit Haji Drajad (RSHD) Samarinda kepada  pasiennya, Ria Khairunnisa (35) terus bergulir. Terbaru, Ria bersama kuasa hukumnya mengadu ke Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Cabang Kota Samarinda, Selasa, 17 Juni 2025.

Ria membawa bukti-bukti kongkret yang diajukan, sembari menerangkan awal mula sakitnya terjadi, hingga diputuskan untuk menjalani operasi oleh oknum dokter yang diduga tidak mendiagnosis dengan benar penyakit Ria tersebut.

Tim Kuasa Hukumnya, Titus Tibayan Pakalla mengatakan, bahwa kasus ini dibawa kepada pihak IDI bertujuan agar kliennya mendapatkan keadilan.

“Kami mengajukan permohonan sekitar 2 minggu lalu, dan hari ini permohonan sudah ada tanggapannya. Kami dipanggil ke IDI Kota Samarinda,” ungkap Titus kepada awak media.

Menurut Titus, koordinasi dengan IDI kota Samarinda kondusif. Pihak IDI pun dinilai kooperatif untuk membantu proses kasus ini ke depannya. “Hasilnya,  dari pelapor dulu yang dimintai pendapat atau keterangan. Nanti ada waktunya untuk terlapor. Setelah terlapor dipanggil, nanti akan dirapatkan khusus oleh Majelis Kode Etik,” jelas Titus.

Melalui rapat majelis kode etik itu, lanjut Titus, akan didapatkan temuan fakta-fakta yang bisa dijadikan kerangka acuan untuk menentukkan jalannya kasus ini. Apakah berlanjut atau tidak. Untuk itu, Titus bersama kliennya, Ria, tengah menantikan keputusan dari hasil sidang kode etik IDI Samarinda tersebut.

“Kemudian nanti disimpulkan. Dalam kesimpulan nanti itu ada dua, apakah terbukti atau tidak. Hasil kesimpulannya nanti disampaikan kepada para pihak baik yang terlapor maupun terlapor,” ujarnya.

Lanjut  Titus, pihak IDI telah berkomitmen untuk menindaklanjuti pelaporan ini dengan memanggil dokter terlapor. Supaya dapat menjalankan sidang sesuai kaidah IDI. “Kalau hasil mediasi tadi, kami diterima dengan baik, dengan pelayanan yang bagus. Jadi kami tunggu lanjutannya,” ucapnya.

Titus pun telah mengultimatum IDI Samarinda agar bersikap netral dan bijak dalam kasus ini. Sehingga keadilan bagi kliennya dapat dijalankan seadil-adilnya secara transparan, tidak ada permainan yang ditutup-tutupi.

“Dan kami pun meminta agar tidak ada “tindakan-tindakan” keberpihakan. Tapi berpegang teguh pada keadilan, kalau memang itu terbukti, ya terbukti. Tidak ada intervensi dari pihak mana pun. Ya, tuntutan kami pastinya tetap sama. Bahwa kami tetap meminta pertanggungjawaban dari dokter maupun rumah sakit yang melakukan dugaan malapraktik,” paparnya.

“Kalau memang dia terbukti ya kami berharap disanksi, berharap bahwa laporan kami ini berhasil sampai sini, tidak ada laporan lainnya. Artinya selesai sampai di sini,” tambahnya.

Sementara itu, Ria Khairunnisa mengungkapkan, kondisi dirinya masih merasakan nyeri hebat pasca operasi. Tidak bisa bergerak dengan leluasa untuk sekadar beraktivitas harian, Apalagi untuk bekerja.

“Dari terakhir operasi bulan Oktober sampai saat ini masih berdampak sih. tidak bisa bekerja, karena bekas operasi nyeri,” jelasnya.

Meski sempat melakukan bius lokal, namun rasa nyeri itu tidak dapat dihentikan. Justru mengganggu Ria dengan memengaruhi kesehatannya yang lain.

“Tulang belakangnya nyeri walau sudah dibius lokal. Jadi berdampak juga kepada kesehatan yang lain, yang masih dalam pengobatan sih,” terang Ria.

Ria menyatakan kekecewaannya saat pihak RSHD tidak menunjukkan itikad baik untuk bertemu dengan dirinya. Apalagi untuk sekadar mengecek kondisi kesehatannya setelah operasi hingga saat ini. Dengan demikian, derita kesehatan yang dialami membuatnya merasa frustasi dan sedih akibat tidak dapat beraktivitas dengan normal seperti dahulu sebelum operasi.

“Tidak ada sama sekali, kami sudah minta mediasi dari bulan November ya. Tapi sampai sekarang belum ada konfirmasi untuk mediasi dari pihak rumah sakit,” pungkasnya.

Sebagai informasi, upaya Ria dalam memperoleh keadilan telah ditempuhnya dengan melaporkan pengalaman tidak menyenangkannya kepada DPRD Samarinda pada Kamis 8 Mei 2025 lalu.

Ria menceritakan, pada Oktober 2024 lalu. Saat itu, dirinya mendatangi RHSD dan mengeluhkan sakit lambung yang dideritanya usai mengonsumsi dodol ketan. Dia pun mengalami gejala muntah dan diare. Meski memiliki riwayat penyakit maag akut, namun hasil diagnosa perawat RSHD saat itu berkata lain.

Ria yang selama ini tak memiliki riwayat penyakit usus buntu, didiagnosa mengidap gejala penyakit itu oleh pihak RSHD. Dan menjalani rawat inap sejak 17 Oktober 2024, pun sempat merasa kondisinya membaik dan ingin pulang. Namun, pihak RSHD mendesak Ria untuk tetap melakukan operasi usus buntu, dengan catatan, jika menolak maka biaya pengobatan harus ditanggung secara mandiri. Padahal Ria tercatat sebagai peserta BPJS.

Pihak RSHD berdalih, BPJS yang awalnya akan menanggung biaya pengobatan korban tidak dapat diklaim jika pasien menolak anjuran dokter. Oleh karena itu, operasi itu terpaksa dilakukan. Saat timbul sejumlah masalah kesehatan pasca operasi, Ria yang hendak kembali ke RSHD untuk perawatan, pihak rumah sakit menyatakan dokter tidak tersedia dan menyarankan untuk pindah ke rumah sakit lain.

Atas dasar hal inilah, yang sedang diperjuangkan keadilannya agar pihak rumah sakit bersama dokter yang mendiagnosis dapat bertanggungjawab sebagaimana mestinya terhadap Ria.

Media ini berusaha menghubungi pihak RSHD melalui kuasa hukumnya, Febronius Kusi Kefi untuk konfirmasi, kemarin 18 Juni 2025, namun belum mendapatkan respons hingga berita ini diterbitkan. (mayang/arie).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *