Mayasari Tempe

Oleh: Dahlan Iskan

“Saya harus bertemu Anda,” ujar Mayasari.

“Saya di Chicago. Anda kan di Indiana,” jawab saya.

“Saya bisa naik mobil ke Chicago. Sekalian cari wajan,” katanyi.

Itu saat saya di Chicago bulan lalu. Berarti dia harus mengemudi sejauh 3,5 jam. Kalau dia sambil cari wajan berarti bertemunya harus di China Town. Chicago bagian selatan.

Buru-buru saya beri kabar Jamal Jufree Ahmad. Yang juga lagi di Chicago. Sekalian saja ikut makan siang di China Town.

Jamal lagi menemani istri yang menempuh S-3 di University of Chicago. Itu kampusnya Cak Prof Nurcholish Madjid, si pemilik gagasan pembaharuan pemikiran Islam dulu.

Juga kampusnya Prof Mun’im Sirry, ahli sejarah Alquran asal Madura, yang kini mengajar di universitas Katolik, University of Notre Dame, Indiana, USA.

Istri Jamal, Lien Iffah N. Fina, ambil studi Islam di situ. Khususnya Alquran. Disertasinyi nanti tentang revitalisasi tadabur Quran. Jamal dan Lien sama-sama alumnus SMA pondok Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Jamal kakak kelas dua tahun. Lalu sama-sama masuk UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta –dan kini S-3 studi Islam di Chicago.

Di China Town kami baku dapa. Tapi di rumah makan ini kami tidak bisa ngomong serius. Penuh sesak.

Restoran terbaik di dekat sini

Saya datang bersama Stevanus dan istri. Jamal dengan istri. Maya ternyata juga dengan suami: bule asli Indiana.

“Ia seorang petani,” ujar Maya memperkenalkan suami.

“Petani Amerika itu,” kata saya, “mampu membeli mesin panen yang harganya sama dengan 10 Mercy”.

Semua tertawa.

Saya ingat humor petani di pedalaman Amerika. Suatu saat Mercy milik orang kota terperosok di parit pedalaman. Seorang petani ingin menolong dengan cara mengangkat pakai traktornya.

Si pemilik Mercy waswas mobilnya terluka. “Ini Mercy. Mahal,” ujar pemiliknya.

“Harga traktor saya ini bisa untuk beli lima Mercy,” sahut si petani.

Mayasari lahir di Bogor. Ayahnyi Sunda. Polisi. Ibunyi Sangihe, utara Manado, dekat Mindanao, Filipina.

Sang ayah pernah jadi kapolres Bogor. Pernah juga jadi atase kedutaan Indonesia di banyak negara. Maya kecil diajak bapaknyi ikut tugas di beberapa negara Eropa.

Maya ke Amerika untuk kuliah: di Purdue University, tidak jauh dari Notre Dame. Dia ambil computer science. Begitu lulus Maya dapat pekerjaan di pabrik komponen mobil. Di Indiana.

Di pabrik itulah Maya bertemu calon suaminyi. Jatuh cinta. Si bule-lah, kata Maya, yang mengincar dirinyi.

“Lalu saya tes. Ternyata lulus. Ya sudah. Kawin,” ujar Maya lantas tertawa ngakak. Si bule hanya senyum-senyum. Ia lebih pendiam daripada Maya.

Tes pertama: Maya masak cakar ayam. Apakah ia bisa memakannya. Di Amerika cakar ayam untuk makanan anjing.

Restoran terbaik di dekat sini

Tes kedua: cakar ayam itu dimasak pedas sekali. Orang Amerika tidak suka pedas.

“Ternyata dua-duanya lolos. Berarti cocok,” seloroh Maya si jago masak.

Setelah kawin mereka sama-sama berhenti dari perusahaan mobil. Padahal posisi Maya sudah sangat mapan. Sudah sering ditugaskan ke luar negeri pakai private jet.

Mereka banting stir: buka restoran Indonesia di kampung halaman suami. Kampung itu jauh di pedalaman. Di antara kota Indianapolis dan Cincinnati.

Boleh dikata Maya adalah perintis perubahan selera makan di kampung itu. Dari makanan Amerika ke Indonesia. Sukses. Mie gorengnyi sangat disukai. Juga rendangnyi. Pun nasi goreng.

Dari mana dapat mie? Bikin sendiri?

Tidak. Mie goreng itu sebenarnya Indomie. Lalu diberi topping  tempe goreng.

Dari mana dapat kelapa untuk santan buat rendang?

Restoran terbaik di dekat sini

“Inilah problem kita….”

“Nggak usah dilanjutkan. Saya sudah  tahu,” kata saya. “Dari Thailand kan?”

Nama resto itu: Mayasari.

Menu andalan lainnya adalah tempe. Sekitar 30 menu masakan Indonesia ditawarkan di resto Mayasari.

Juru masaknya tiga orang. Anak muda semua. Bule semua. Indiana memang negara bagian yang kulit putihnya dominan sekali.

Mayalah yang mengajari tiga anak muda itu masak menu Indonesia. Bisa. “Kan bumbu rendangnya sudah saya buatkan,” kata Maya.

Tempe adalah kesukaan Maya. Sejak masih di Bogor. “Tempe Bogor,” katanyi, “adalah tempe terenak di Indonesia”.

Itu karena air Bogor sangat cocok untuk membuat tempe.

Setelah menu tempenyi digemari, Maya terpikir untuk memproduksi tempe sendiri. Sang suami mendukung ide itu. Didirikanlah pabrik tempe.

Sang suami yang bertugas membuat alat yang bisa menghasilkan air sama baiknya dengan air di Bogor.

Mudah. Bagi sang suami. Air dari kran dimasukkan proses penyaringan secara khusus. Pakai membran. Dihasilkanlah air dengan pH di bawah lima.

Air kran di Amerika adalah air yang bisa diminum. pH-nya sekitar 8 sampai 9. Itu tidak bisa untuk membuat tempe –tempenya akan terasa pahit.

“Tempe kami sudah dijual di tiga negara bagian,” ujar Maya.

Tahun lalu Maya berunding dengan suami: bagaimana agar bisa menanam kedelai khusus untuk tempe.

Tidak sulit. Sang suami sudah pengalaman menanam kedelai ratusan hektare di sawah miliknya sendiri. Tiap tahun. Hanya saja ia belum pernah menanam kedelai yang bisa untuk tempe.

Tahun lalu sang suami mencoba seluas 15 hektare. Berhasil. Tahun ini dilipat duakan. Sampai berapa pun.

Luasan sawah milik sang suami cukup untuk menopang ambisi itu. Luas sawahnya sama dengan luas sawah milik petani Indonesia –kalau 2000 petani dijadikan satu.

Sawah milik satu petani suami Mayasari ini hampir 1000 hektare. Tanahnya cocok untuk kedelai. Diselang-seling waktunya dengan jagung

Untuk memanen kedelai 15 hektare itu hanya perlu tiga orang. Pakai mesin besar. Batang-batang kedelai dibabat. Batang dan isinya masuk mesin di alat itu. Diproses di dalam mesin. Keluar dari mesin sudah berbentuk kedelai.

Lien yang sedang mendalami databur Quran ikut mendengar cerita itu. Kapan Lien menyelesaikan disertasi tentang tadabur Quran?

Kami harus pindah dari resto yang padat itu. Cari cafe. Ngobrol dilanjutkan ke kafe. Lebih serius. Kami bicara soal apa yang bisa disumbangkan dari studi tadabur untuk kemanusiaan masa depan. Juga tentang apakah akhlak yang baik itu bisa dimonopoli satu agama.

Lien masih lama di Chicago. Beasiswanyi memang sembilan tahun. Saya kembali ternganga. Sembilan tahun. Baru dapat gelar doktor. Bukan 18 bulan.

Untungnya sang suami bisa dapat pekerjaan di Chicago. Secara legal. Dapat izin kerja. Ternyata suami-istri ini juga kangen tempe. Jamal beberapa kali membuat tempe. Pakai air kran.

“Menurut saya sih enak. Tapi kan tidak ada pembandingnya,” ujar Jamal.

Kini ia punya pembanding. Maya memberinya tempe hasil dari pabriknyi yang di Indiana.

Oleh-oleh tempe itu tidak hanya untuk Lien. Saya juga diberi oleh-oleh keripik tempe. Satu pack –ukuran tiga kali Indomie. “Untuk dimakan di pesawat,” katanyi. “Seenak tempe Bogor”.

Satu bungkus itu, di Amerika, dijual dengan harga 5 dolar.

Di pesawat saya kepikiran: saya makan sampai habis atau saya sisakan untuk perusuh Disway yang akan kumpul di Surabaya?(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *