Mati Lagi

Oleh: Dahlan Iskan

Tidak ada taruhan yang lebih besar dari ini: menutup bandara Husein Sastranegara di Bandung demi menghidupkan bandara baru Kertajati di Majalengka, dekat Cirebon.

Hasilnya: yang mau dihidupkan mati lagi. Sudah hampir. Tepatnya: nyaris mati lagi.

Penutupan Husein itu, ibaratnya sudah seperti memberikan viagra terbaik bagi Kertajati. Toh tidak mampu bangkit.

Penerbangan-penerbangan yang sempat ”dipaksakan” kembali harus terbang dari Kertajati satu per satu tutup lagi. Orang Bandung tidak mau terbang dari Kertajati. Pun setelah jalan tol Bandung-Kertajati dioperasikan.

Saya mendarat di Bandara Husein Sastranegara, Bandung, bulan lalu. Sedih. Sepi. Itu kali pertama saya mendarat di Husein sejak penerbangan komersial ditutup di bandara itu. Begitu sunyi. Berbeda dengan hiruk-pikuk ketika bandara itu masih beroperasi. Saya lihat betapa besar penurunan aktivitas ekonomi di sekitar bandara. Bukan lagi turun, tapi hilang. Begitu banyak bisnis kecil yang tiba-tiba hilang.

Memang bandara Husein dianggap terlalu kecil bagi kota sebesar Bandung. Tidak bisa lagi dikembangkan. Statusnya pun milik TNI-AU. Cepat atau lambat bandara itu harus dipindah.

Ternyata pemerintah menempuh jalan cepat. Cepat pindah. Ke Kertajati –65 km dari Bandung.

Hasilnya begitu dramatis –sedihnya. Dalam keadaan ekonomi lagi lesu seperti ini penutupan bandara Husein patut ditangisi.

Setiap kali bertemu orang Bandung saya sering bertanya: mengapa tidak mau terbang lewat Kertajati.

“Bagi kami, orang Bandung, lebih cepat terbang lewat Halim. Jurusannya juga banyak,” ujar Djoni Toat Mulyadi. Saya ngobrol panjang dengan Djoni di lantai 26 Hotel Westin, Kuningan, Jakarta. Sambil menunggu acara The 11th South Asia, Chinese Clans Friendship Conference yang diadakan Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Indonesia (PSMTI).

“Apalagi sekarang ada Woosh,” tambahnya. “Setengah jam sampai Halim,” tambahnya.

Djoni, seorang Tionghoa mualaf, adalah pengacara. Juga pegiat sosial. Ia pernah punya banyak bisnis karaoke, night club, dan sejenisnya. Sekaligus di beberapa kota. Sejak ramai obat terlarang masuk tempat hiburan malam ia akhiri semua jenis bisnis itu.

“Kalau dilakukan jajak pendapat, lebih 100 persen menginginkan bandara Husein dibuka kembali,” katanya.

Djoni mengingat betapa banyak turis belanja dari Singapura dan Malaysia yang datang ke Bandung. “Kita pun mudah kalau mau ke Singapura,” katanya.


Bersama Djoni Toat Mulyadi–

Setelah itu saya ke Cirebon pekan lalu. Bank Indonesia Cirebon sedang mengumpulkan para pengusaha dan pejabat dari lima kabupaten/kota di wilayah kerjanya: kota Cirebon, kabupaten Cirebon, kabupaten Majalengka, kabupaten Kuningan dan Indramayu. Nama acaranya: Ngariung sa Ciayumajakuning 2024.

Ketika kali pertama jalan tol dari Jakarta tembus sampai Cirebon, ekonomi kawasan ini bergerak lebih cepat. Lalu mendatar lagi: sama dengan rata-rata nasional.

Lima daerah itu begitu berharap bandara Kertajati bisa jadi lokomotif bagi perekonomian setempat. Maka di sela-sela topik utama hari itu saya menyisipkan pertanyaan: siapa yang punya ide bagus agar Kertajati bisa hidup lagi.

“Hanya orang dari daerah ini yang mau sungguh-sungguh memikirkan kemajuan daerah ini,” kata saya kepada mereka. “Orang di luar daerah ini tidak akan sungguh-sungguh membela daerah ini. Pun yang dari pusat,” kata saya lagi.

Empat orang pun unjuk jari. Saya minta mereka naik panggung. Saya ingin mendengar ada ide apa dari orang-orang daerah sendiri.

“Pesawat yang mendarat di Kertajati mengeluh harga avturnya lebih mahal,” kata salah satunya.

Saya tidak tahu kebenaran pendapatnya itu, tapi ia bilang begitulah adanya.

“Mestinya ada shuttle bus dari Bandung dan dari Cirebon,” ujar satunya lagi. “Saya heran mengapa konektivitas seperti itu tidak dipikirkan,” tambahnya.

Saya juga tidak tahu apakah saat penutupan bandara Husein tidak dibarengi pengadaan shuttle bus seperti dimaksud. Aneh juga.

“Kalau saya, rencana besar untuk kawasan ini harus dijalankan. Rencana itulah yang melatarbelakangi dibangunnya Bandara Kertajati,” ujar pendapat ketiga.

Memang, dulu, pernah ada rencana besar, dengan nama besar: menjadikan Cirebon dan sekitarnya seperti kawasan ekonomi yang terintegrasi. Nama kerennya: Aglomerasi.

Ketika Bandara Kertajati selesai dibangun jangankan sudah dilaksanakan, wacananya pun tidak bergema lagi.

Dari pendapat-pendapat lokal itu, saya nilai, belum ada yang bernilai viagra. Baru kelas pasak bumi. Harga avtur memang penting. Shuttle bus juga penting. Tapi baru jadi faktor pendukung.

Sedang melaksanakan aglomerasi, Anda sudah tahu, rasanya masih seperti mengharap hujan di musim kemarau.

Yang hebat, Kertajati pernah ditolong dengan cara yang sangat merugikan masyarakat Bandung. Pun tidak berhasil. Sudah saatnya segera diputuskan: bandara Husein dibuka lagi. Mungkin dengan penerbangan lebih terbatas, tapi ada jalan keluar.(Dahlan Iskan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *