Sidang sengketa Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar) di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Banjarmasin, Prof. Margarito Kamis ikut bersuara, mengenai tafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023. Di tengah kontroversi yang melibatkan masa jabatan penjabat sementara (Pjs) dan pejabat definitif, serta syarat kelayakan untuk mencalonkan diri dalam pemilihan.
Menurut Prof. Margarito, dalam persidangan lalu, menekankan pentingnya memahami amar putusan dalam setiap perkara yang dihadapi. Jadi, amar putusan adalah hukum dari perselisihan itu, yang menunjukkan bahwa keputusan hakim harus diakui dan dipatuhi sebagai dasar hukum yang mengatur penyelesaian sengketa.
Dalam hal ini, ditegaskannya, bahwa keputusan MK bersifat final, dan tidak bisa dibantah tanpa adanya putusan baru yang lebih tinggi.
Lebih lanjut, Prof. Margarito menjelaskan, tentang kompleksitas dalam menghitung masa jabatan penjabat. Seorang penjabat, menjabat selama 3 bulan sebagai penjabat sementara, dan kemudian diangkat menjadi pejabat definitif selama 2 tahun 4 bulan, maka total masa jabatan tersebut tetap dihitung sebagai lebih dari dua setengah tahun.
“MK bilang mau sementara, atau pejabat tetap, dihitung satu periode,” ucapnya, 20 Oktober 2024.
Kemudian, implikasi dari penafsiran ini, dalam konteks undang-undang pemilihan. Ia ingin menunjukkan, bahwa calon yang telah menjabat lebih dari dua setengah tahun, baik sebagai penjabat sementara, maupun pejabat definitif, tidak memenuhi syarat untuk mencalonkan diri kembali dalam pemilihan.
“Kalau dia 1 periode lagi full 5 tahun, ya dua periode. Apa hukumnya? tidak memenuhi syarat UU tentang pemilihan gubernur, bupati, walikota untuk dicalonkan lagi karena sudah memenuhi kualifikasi pasal tersebut,” ujarnya.
Dalam penjelasannya, Prof. Margarito juga menyoroti, peran Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam pelaksanaan putusan MK. Meskipun KPU tidak menjadi pihak dalam permohonan perkara perselisihan norma di MK, putusan tersebut tetap mengikat secara hukum.
“Apakah karena KPU tidak menjadi pihak dalam permohonan perkara perselisihan norma di MK, tidak tunduk pada MK? Tidak, karena putusan itu mengikat secara hukum dan menjadi norma,” ungkapnya.
Lebih jauh, Dia menjelaskan, bahwa putusan MK harus dipatuhi oleh semua pihak, termasuk KPU, dan harus dijadikan sebagai acuan dalam setiap tindakan hukum yang diambil. Menurut mantan Staf Ahli Menteri Sekretaris Negara dari 2006 -2007, hukum dalam pengujian norma itu ada pada amar, tidak bisa ditafsirkan lagi amar itu. Putusan dikoreksi dengan putusan. UU dikoreksi dengan UU.
Prof. Margarito juga menggarisbawahi pentingnya membedakan, antara surat edaran dan peraturan hukum yang sah. Ia menegaskan bahwa surat edaran tidak dapat digunakan sebagai dasar untuk melakukan tindakan hukum, terutama yang berpotensi menangguhkan hak orang lain atau menciptakan sebuah produk hukum baru.
“Surat edaran itu bukan hukum, hukum itu peraturan,” jelasnya.
Dalam konteks ini, Dia meminta agar tafsir mengenai masa jabatan penjabat sementara bisa dihitung dengan jelas sebelum Dia dilantik.
“Misal, Saya minta agar menyatakan yang 3 bulan saya pjs itu tidak dihitung sebagai jabatan. Namun, putusan MK sudah jelas bahwa 2 tahun 7 bulan itu 1 periode,” ujarnya.
Sebagai penutup, Prof. Margarito menegaskan bahwa MK tidak mempersoalkan tindakan hukum, baik sementara atau definitif, jika masa jabatannya lebih dari dua setengah tahun, maka itu terhitung sebagai satu periode.
“Versi hukum MK tidak mempersoalkan tindakan-tindakan hukum, mau itu sementara atau definitif, kalau itu lebih dari 2,5 tahun itu terhitung 1 periode. Substansinya itu. Saya tidak mempersoalkan konseptual pejabat sementara itu bagaimana tapi MK menyatakan dua setengah tahun mau itu PLT atau pejabat definitif itu termasuk 1 periode,” pungkasnya.(ari/arie)