Laporan tahunan Simontini 2024 mengungkap fakta mengejutkan, sebanyak 97 persen deforestasi di Indonesia sepanjang tahun ini terjadi di dalam kawasan berizin.
Temuan itu menandakan bahwa hilangnya hutan-hutan alam bukan lagi dominan disebabkan oleh perambahan liar, melainkan oleh aktivitas legal yang difasilitasi melalui izin resmi negara.
Total luas deforestasi nasional pada 2024 mencapai 261.575 hektare, dan Kalimantan Timur tercatat sebagai provinsi dengan kehilangan tutupan hutan terbesar, yaitu 44.483 hektare. Menyusul di bawahnya Kalimantan Barat (39.598 ha) dan Kalimantan Tengah (33.389 ha).
Yayasan Auriga Nusantara, mitra penyusun data bersama Simontini, menyatakan bahwa penyumbang utama deforestasi adalah aktivitas dalam konsesi legal.
“Yang paling mencolok dari data tahun ini adalah dominasi deforestasi dalam wilayah-wilayah berizin. Ini artinya, bukan hanya aktivitas ilegal yang jadi masalah, tetapi bagaimana izin itu dijalankan dan diawasi,” kata Dedy P Sukmara selaku Tim Data Auriga.
Top 10 Provinsi Deforestasi Tertinggi 2024: Kalimantan Timur – 44.483 ha, Kalimantan Barat – 39.598 ha, Kalimantan Tengah – 33.389 ha, Riau – 20.812 ha. (selengkapnya lihat grafis)
Perkebunan dan tambang dominasi perusakan. Berdasarkan sektor, empat jenis konsesi menjadi pendorong utama kehilangan hutan alam tahun ini:
Yang perama perkebunan kayu: 41.332 ha, kedua Pertambangan: 38.615 ha, ketiga Sawit: 37.483 ha, dan yang keempat Logging: 36.068 ha
“Polanya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Namun tekanan terhadap hutan primer meningkat, terutama di wilayah Kalimantan,” ungkapnya.
Dampak Nyata untuk Lingkungan dan Masyarakat Adat
Selain kehilangan keanekaragaman hayati, deforestasi masif berdampak langsung pada kehidupan masyarakat lokal, terutama masyarakat adat yang bergantung pada hutan untuk sumber pangan, air, dan budaya.
Dalam laporan Simontini, disebutkan mengenai hilangnya hutan ini merampas sistem kehidupan masyarakat adat dan memicu konflik tenurial.
Selain itu, Auriga juga menyoroti bahwa sebagian besar pemerintah daerah di 10 provinsi dengan deforestasi tertinggi belum menunjukkan respons efektif.
Di atas kertas, kata Dedy, beberapa daerah telah menyusun rencana restorasi. Namun pelaksanaannya lemah karena keterbatasan anggaran, koordinasi antarinstansi, dan dominasi pengaruh korporasi.
“Pemantauan lapangan lemah. Sanksi terhadap pelanggaran juga tidak konsisten. Sebagian besar mengandalkan pusat, padahal kerusakan terjadi di wilayah mereka sendiri,” jelasnya.
Sebagai langkah korektif, Auriga mendorong pemerintah agar dapat memperkuat sistem pengawasan berbasis teknologi, membuka akses data perizinan dan konsesi secara publik, melibatkan masyarakat dalam pemantauan dan pelaporan, dan mengevaluasi seluruh izin usaha di kawasan hutan, serta mendorong terbitnya Peraturan Presiden untuk melindungi seluruh hutan alam.
Pihaknya menekankan, hal tersebut wajib dilakukan bukan hanya berdasarkan status kawasan, namun juga fungsi ekologisnya.
“Pemerintah perlu menjamin perlindungan yang menyeluruh terhadap hutan alam, karena di situlah penyangga kehidupan masyarakat dan keanekaragaman hayati berada,” tutup Dedy.(salsa/arie)