Kemandirian bagi Kalimantan Timur (Kaltim) masih dinilai jauh bakal diwujudkan. Pasalnya, pendapatan asli daerah belum optimal bisa terserap. Padahal Kaltim, termasuk daerah kaya.
——————————–
Di tengah geliat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan janji kemandirian fiskal daerah, Kalimantan Timur justru masih menghadapi ironi klasik yakni potensi besar, tapi hasil minim. Salah satu sumbernya ada pada pengelolaan pajak dan Participating Interest (PI) migas yang dinilai belum digarap secara optimal, sehingga potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) belum memberikan dampak maksimal bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sabaruddin Panrecalle menegaskan, bahwa pemerintah daerah tak bisa lagi “bermain aman” dalam mengelola sektor-sektor vital ini. Selama ini, PAD dari pajak daerah dan PI migas 10 persen belum memberikan kontribusi maksimal, padahal nilainya bisa menjadi penopang utama keuangan daerah.
“Sudah saatnya pajak dan PI ini masuk dalam regulasi tetap, agar bisa dikelola secara transparan dan konsisten. Jangan hanya bergantung pada dana pusat,” tegas Sabaruddin belum lama ini.
Ia menyarankan, Pemprov menerapkan sistem reward and punishment terhadap perusahaan. Perusahaan yang patuh dan disiplin membayar pajak perlu diberi penghargaan, sementara yang melalaikan kewajibannya harus dikenai sanksi tegas, seperti evaluasi izin usaha.
“Penghargaan bisa memotivasi, dan sanksi memberi efek jera. Kalau sampai izinnya dievaluasi, tentu perusahaan akan berpikir ulang untuk tidak patuh,” ujarnya.
Jadi, perlunya dasar hukum yang kuat. Selama ini, pengelolaan pajak dan PI masih bergantung pada surat edaran atau instruksi gubernur, yang sifatnya sementara dan tidak mengikat. Oleh sebab itu, DPRD mendorong lahirnya Peraturan Daerah (Perda) sebagai regulasi permanen.
“Perda akan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat, sehingga Pemprov memiliki dasar legal yang kokoh dalam menjalankan kebijakan reward and punishment,” jelas politisi Gerindra itu.
Ia juga menggarisbawahi, pentingnya transparansi dan pengawasan terhadap dana PI migas. Menurutnya, PI 10 persen dari perusahaan migas yang beroperasi di Kaltim memiliki potensi besar untuk memperkuat kas daerah, namun selama ini belum dikelola dengan efektif.
“Kalau dikelola tepat, PI ini bisa langsung dirasakan masyarakat. Jangan hanya jadi angka di atas kertas,” ucapnya.
Komisi II DPRD Kaltim, kata Sabaruddin berkomitmen, mendorong lahirnya regulasi yang tidak hanya administratif tetapi bisa diterapkan secara konsisten. Koordinasi antara legislatif, eksekutif, dan perusahaan akan terus dilakukan agar kebijakan ini berdampak nyata bagi masyarakat.
Di tengah tingginya kebutuhan pembangunan, khususnya dalam mendukung hadirnya Ibu Kota Nusantara (IKN), optimalisasi PAD dinilai menjadi kunci memperkuat kemandirian fiskal daerah. Sabaruddin optimistis, dengan regulasi yang jelas dan tata kelola yang tegas, PAD Kaltim bisa meningkat signifikan dalam beberapa tahun ke depan.
“Kalau PAD kita kuat, maka pembangunan daerah bisa lebih mandiri. Kita tidak terlalu bergantung pada dana transfer pusat,” tandasnya.
Sebagai informasi, dalam dokumen Peraturan Gubernur Nomor 19 Tahun 2025, yang merupakan perubahan atas Pergub Nomor 50 Tahun 2024 tentang penjabaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025, Pemprov Kaltim memang telah melakukan sejumlah klarifikasi terhadap pos-pos PAD.
Namun, berdasarkan data tersebut, sebagian besar komponen PAD tidak mengalami perubahan nilai. Contohnya, Pada retribusi dari penjualan hasil produksi usaha pemerintah daerah tetap sebesar Rp3,23 miliar, begitu pula retribusi atas pemanfaatan aset daerah yang tetap di angka Rp10,65 miliar. Selain itu, sektor retribusi perizinan, penggunaan tenaga kerja asing (TKA) juga tidak mengalami perubahan, dengan nilai tetap Rp400 juta.
Pendapatan dari hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan pun tidak menunjukkan pergeseran. Dividen dari penyertaan modal pemerintah pada BUMN tercatat Rp379,41 miliar, dan dari BUMD sebesar Rp69,89 miliar. Dividen dari lembaga keuangan daerah tercatat Rp2,19 miliar, sedangkan dari BUMD sektor aneka usaha mencapai Rp67,70 miliar.
Selain itu, komponen lain-lain PAD yang sah juga tetap berada pada angka Rp115,51 miliar. Dengan tidak adanya selisih antara anggaran sebelum dan sesudah revisi pada sebagian besar pos PAD tersebut, DPRD menilai masih terdapat ruang besar untuk optimalisasi.
Untuk itu, Pemprov diharapkan tidak hanya fokus pada pembaruan klasifikasi dan penyesuaian administratif, tetapi juga perlu lebih agresif menggali potensi yang ada, khususnya pada sektor-sektor yang selama ini belum tergarap maksimal.(mayang/arie)