Wali Kota Samarinda Andi Harun menyentil Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim), terkait pengawasan tambang ilegal. Apalagi beberapa waktu lalu, dinilai terlalu sibuk mengurusi yang menjadi kewenangan pemerintah kota.
MENURUT Andi Harun, pentingnya kejelasan pembagian kewenangan antara pemerintah daerah dan pemerintah provinsi, khususnya dalam isu lingkungan dan pertambangan. Hal ini disampaikan, dalam menanggapi pernyataan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kalimantan Timur yang sempat mengomentari Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) di wilayah Kota Samarinda.
Menambang batu bara berkedok pematangan lahan di Kota Samarinda khususnya di Kecamatan Palaran masih saja banyak ditemukan. Seperti aktivitas penambangan batu bara yang ketahuan warga di Jalan Niaga, RT 19, Kelurahan Handil Bakti.
Warga yang mengetahui di lokasi seluas kurang lebih 10 hektare tersebut, diherankan dengan kegiatan pengerukan batu bara di area bukit yang dikeruk dan tanahnya digunakan untuk menimbun area perumahan.
Ironisnya kegiatan penambangan batu bara yang dilakukan itu dekat dengan rumah warga. Bahkan jaraknya kurang dari 30 meter.
Dikatakan Andi Harun, pernyataan DLH provinsi itu, dinilai tidak tepat karena pengelolaan TPA berada di bawah kewenangan Pemerintah Kota. Sebaliknya, DLH dan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Kalimantan Timur seharusnya lebih fokus menangani persoalan lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan di wilayah kewenangannya.
“Kalau DLH Provinsi punya perhatian, lebih baik komentari tambang-tambang yang ada. Itu wilayah kewenangannya. Bukan malah mengomentari TPA yang bukan urusannya,” tegas Andi Harun, Senin (14/7/2025).
Ia mempertanyakan langkah-langkah konkret yang telah dilakukan Inspektur Tambang yang berada secara struktural di bawah kewenangan Pemprov Kaltim. Menurutnya, para inspektur tersebut memiliki dasar hukum yang kuat untuk mengambil tindakan administratif, hingga merekomendasikan penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan di sektor pertambangan.
“Inspektur tambang itu punya dasar hukum. Ada Perda Reklamasi Pascatambang Nomor 3 Tahun 2023. Pertanyaannya, apa yang sudah mereka kerjakan? Sudah berapa rekomendasi yang mereka keluarkan? Sudah berapa tindakan yang mereka ambil?” ujarnya.
Lanjutnya, keterbatasan kewenangan Pemkot Samarinda dalam urusan pertambangan membuat pihaknya tidak bisa bertindak secara langsung, sekalipun dampak aktivitas tambang—seperti banjir dan kerusakan lingkungan—dirasakan di wilayah kota.
“Kalau hari ini saya punya kewenangan, tidak usah ditanya bagaimana saya akan bertindak. Tapi karena ini bukan ranah kami, kami berharap DLH dan ESDM provinsi mengambil langkah nyata. Jangan sampai inspektur tambang hanya duduk di kantor, merokok di lantai atas, tapi giliran ada masalah, kami yang ditanya,” ucapnya.
Wali Kota juga mengingatkan, bahwa tindakan pemerintah daerah harus selalu berpijak pada hukum. Ia menekankan bahwa keterlibatan Pemkot dalam pengawasan tambang tanpa dasar kewenangan justru akan melanggar aturan.
“Kalau pemkot masuk ke ranah yang bukan kewenangannya, maka itu melanggar hukum. Tapi kalau provinsi, mereka punya kewenangan penuh. Ada institusinya, ada anggarannya, ada perdanya, tinggal mau kerja atau tidak,” tandasnya.
Andi Harun mengajak seluruh pihak, termasuk media, untuk turut mengawal tanggung jawab pemerintah provinsi dalam penegakan hukum lingkungan di sektor pertambangan. Ia berharap, apabila pengawasan dilakukan secara optimal, maka dampak buruk tambang, termasuk banjir di Samarinda, dapat diminimalkan.
“Kalau ingin banjir kita bisa dikurangi, ya Inspektur Tambang harus bekerja. Koordinasikan dengan Gakkum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian ESDM. Jangan hanya diam,” pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kaltim pun menyoroti kinerja pengelolaan sampah di 10 kabupaten/kota Provinsi Kaltim.
Kepala DLH Kaltim, Anwar Sanusi mengatakan, dari temuan hasil penilaian, pihaknya mendapati masih ada 5 daerah yang mengalami hal ini, yakni Samarinda, Kutai Kartanegara (Kukar), Berau, Kutai Timur (Kutim), dan Kutai Barat (Kubar).
Penilaian ini sejalan dengan hasil yang dilaporkan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) RI ke Pemprov Kaltim.
“Sama ya, dari hasil kementerian yang memberikan penilaian itu, juga merupakan penilaian kami. Kami sudah laporkan ke kementerian. Di catatan kami, ada 5 kabupaten/kota yang pengelolaan sampahnya masih di bawah standar. Ya lima daerah itu tadi, harus berbenah,” ungkap Anwar, Senin, 23 Juni 2025.
Lebih lanjut, Anwar mengatakan, 5 daerah ini harus segera membenahi sistem mereka, terutama kebijakan oleh OPD terkait. Berdasarkan hasil penilaian terbaru, lima daerah di antaranya, termasuk Kota Samarinda.
Anwar Sanusi juga menyampaikan perkembangan penilaian umum pengelolaan lingkungan di Kaltim. “Untuk Kalimantan Timur sendiri grade-nya tahun ini dinaikkan, ketika grade dinaikkan Alhamdulillah yang emas itu bertahan,” kata Anwar, merujuk pada penghargaan Adipura.
Namun, Anwar mengakui adanya fluktuasi pada kategori lainnya. Dirinya juga mengungkapkan adanya kategori terendah yang tidak diumumkan secara luas, yaitu ‘zona hitam’. Kategori ini diberikan kepada daerah yang terkena sanksi dan tidak boleh mendapatkan perhatian atau penghargaan sama sekali.
“Kemudian hijau ada yang berubah, ada yang turun, ada yang naik. Yang biru juga gitu, ada yang turun, ada yang naik. Yang merah, alhamdulillah, walaupun masih banyak, sudah gak turun,” bebernya.
“Ada lagi sebenarnya hitam. Hitam itu yang kena sanksi. Dia tidak boleh mendapatkan perhatian sama sekali. Makanya tidak kita umumkan,” pungkas Anwar, tanpa merinci jumlah pasti daerah yang masuk kategori ini.
Oleh karena itu, Anwar mengimbau, pemerintah daerah akan terkena sanksi serius jika pengelolaan sampah masih berada di bawah standar, seperti hasil terakhir kali dilaporkan KLHK.
“Pengelolaan sampah di 5 daerah yang ditetapkan ini akan terancam sanksi berat jika tidak segera berbenah. Kelima daerah ini, mendapat teguran langsung dari KLHK karena pengelolaan sampah mereka belum maksimal dan masih menerapkan sistem open dumping (pembuangan terbuka) yang telah dilarang,” jelas dia.
Disinggung mengenai daerah mana di antara kelima lokasi tersebut yang paling buruk, Anwar enggan menyebutkan secara spesifik.
Menurutnya, semua daerah harus berupaya lebih dalam menangani masalah sampah supaya arah pengelolaannya jelas dan tertata sesuai standar kementrian yang berlaku.
“Tidak, kelima-limanya sama terburuknya. Kita pokoknya tidak mau menyebutkan begitu, kelima-limanya itu ya sesuai penilaian yang ada,” papar Anwar.
Beruntungnya, saran DLH ini didengar dan dapat diterima dengan respons positif di beberapa daerah yang menyadari kekurangannya dalam memanajemen sampah. Untuk itu, Anwar optimistis ada upaya perbaikan yang sedang dilakukan oleh kelima daerah tersebut.
“Mereka (sekarang) mengadakan penutupan yang open dumping itu pakai sanitary landfill. Nah, semua sudah melakukan itu. Tinggal nanti kita adakan penilaian ulang. Sudah sesuai standar atau tidak? Kalau memang sudah sesuai standar, kita cabut (sanksinya). Itu kan sangsi. Kalau sangsinya sudah cabut, ya alhamdulillah lebih tertata,” tambah Anwar.
Sanitary landfill merupakan metode pengelolaan sampah yang lebih ramah lingkungan dengan menimbun sampah secara berlapis dan menutupinya dengan tanah.
Anwar mengatakan, salah satu kota yang tengah berupaya untuk menerapkan sanitary landfill usai mendumping sampah, adalah Samarinda. Hal serupa juga sedang dilakukan oleh daerah lainnya yang masuk daftar teguran.
“Samarinda kan sudah melakukan itu ya, dia membuat. Yang ada sudah ditutup oleh Pak Menteri, kemudian dia bangun lagi di sekitar Sambutan. Nah, itu sesuai prosedur sudah bagus yang ada di Samarinda,” terangnya.
Anwar menjelaskan, sanksi yang dikenakan pada daerah di Kaltim ini, merupakan sanksi administrasi berupa teguran yang mengharuskan daerah-daerah tersebut untuk mengubah sistem pengelolaan sampah dari open dumping menjadi sanitary landfill.
“Kalau teguran berupa sanksi teguran itu tidak dilakukan, ya mereka akan kena sanksi yang lebih berat lagi. Bisa kena hukum itu, seperti di Tangerang,” tegas Anwar.
Sanksi hukum ini dapat menargetkan penanggung jawab utama, seperti pemangku kebijakan daerah kabupaten maupun kota. Bahkan bisa menyasar wali kota atau bupati.(rahmat/arie)