Moratorium terkait Daerah Otonomi Baru (DOB), dinilai sudah waktunya dicabut, meski tidak secara menyeluruh. Kalimantan Timur (Kaltim) dinilai paling siap untuk hal tersebut.
Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, terus mendorong pemerintah pusat untuk segera mencabut moratorium pembentukan daerah otonomi baru (DOB) secara terbatas. Kebijakan moratorium yang telah berlangsung lebih dari satu dekade itu dinilai perlu dievaluasi karena makin banyak daerah menunjukkan kesiapan untuk berdiri sendiri secara administratif maupun fiskal.
Ketua Komite I DPD RI, Andi Sofyan Hasdam menegaskan, bahwa Kalimantan Timur (Kaltim) adalah salah satu provinsi yang paling siap mengajukan usulan pemekaran wilayah. Bahwa Kaltim tidak hanya serius dalam menyiapkan dokumen usulan, tetapi juga memiliki struktur politik yang mendukung.
Dari seluruh aspirasi pemekaran yang masuk ke DPD maupun Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kaltim tercatat mengusulkan setidaknya delapan calon DOB. Di antaranya: Kutai Utara, Kutai Tengah, Kutai Pesisir, Pasir Selatan, Berau Pesisir Selatan, Kabupaten Sangkulirang, Benua Raya, dan Kota Samarinda Baru. Seluruhnya telah melewati proses penyampaian aspirasi masyarakat dan kajian awal oleh tim pemekaran daerah masing-masing.
“Kalau dilihat dari data dan kesiapan, saya kira Kaltim termasuk daerah yang paling matang dan serius menyiapkan DOB. Tapi dari delapan itu, Kutai Utara yang paling siap secara administratif dan politik,” ujar Sofyan.
Sofyan mengungkapkan, bahwa Komite I DPD RI saat ini mengantongi 188 usulan DOB dari seluruh Indonesia. Sementara itu, versi Kemendagri mencatat ada 341 usulan, namun hanya sebagian kecil yang lolos verifikasi teknis dan administratif. Meski pemerintah pusat belum sepenuhnya membuka keran DOB, Sofyan menegaskan, bahwa pembentukan daerah baru tetap dimungkinkan, dengan syarat ketat dan pendekatan selektif.
“DPD RI dan Komite I telah memiliki data 188 calon DOB, sedangkan versi Kemendagri ada 341 usulan. Tapi setelah diverifikasi, yang benar-benar memenuhi syarat sangat sedikit,” jelas mantan Wali Kota Bontang itu.
Menurutnya, hambatan utama dalam proses pemekaran adalah lemahnya kelengkapan dokumen, terutama ketiadaan persetujuan kepala daerah dan DPRD kabupaten/kota induk.
“Biar tokoh masyarakat, mantan camat, ketua adat tanda tangan semua, tapi kalau kepala daerah dan ketua DPRD tidak setuju, tidak akan bisa jalan. Itu syarat mutlak,”tegasnya.
Selain syarat administratif, kata Sofyan, terdapat kriteria jumlah kecamatan dan kesiapan fiskal yang juga menjadi pertimbangan penting. Minimal ada lima kecamatan untuk membentuk kabupaten dan empat kecamatan untuk kota. Sedangkan untuk pembentukan provinsi, dibutuhkan minimal lima kabupaten/kota.
Di luar itu, kemampuan fiskal, kualitas pelayanan publik, dan ketersediaan aparatur sipil negara yang mumpuni juga menjadi prasyarat mutlak. “Banyak yang bersemangat minta dimekarkan, tapi tidak siap ketika diminta melengkapi syarat-syaratnya,”katanya.
DPD RI juga melihat bahwa pemekaran wilayah di Kalimantan Timur menjadi relevan dalam konteks pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN). Keberadaan IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara membutuhkan penyangga daerah yang kuat secara struktural dan otonom secara fiskal.
“Kalau IKN ini dipandang sebagai pusat pertumbuhan baru, tentu dibutuhkan mitra sekitarnya yang mampu menopang pembangunan. Pemekaran wilayah di sekitar IKN menjadi sangat relevan dan strategis,”ujar Sofyan.
Komite I bahkan tengah mengkaji opsi untuk memasukkan klausul pemekaran ke dalam revisi Undang-Undang Ibu Kota Negara, agar DOB di sekitar IKN memperoleh dasar hukum yang kuat dan bisa diprioritaskan secara nasional. “Ini sedang kami dorong dalam revisi UU IKN. Kita ingin ada terobosan hukum yang memungkinkan DOB di sekitar IKN bisa diprioritaskan. Karena kebutuhan dan konteksnya sangat mendesak,”jelasnya.
Namun begitu, Sofyan mengingatkan, agar pemekaran wilayah dilakukan secara selektif, realistis, dan berbasis data. Menurutnya, tidak semua usulan DOB layak direalisasikan, apalagi jika hanya dilandasi oleh kepentingan politik lokal jangka pendek.
“Tidak bisa semua daerah dimekarkan hanya karena tekanan politik atau euforia. Harus realistis. Jangan sampai malah membebani APBN dan menciptakan daerah baru yang tidak mampu mandiri,” kata Sofyan.
Dari delapan calon DOB di Kaltim, Kutai Utara menjadi yang paling menonjol. Wilayah ini telah menyiapkan dokumen lengkap, memiliki dukungan dari DPRD dan bupati induk, serta memiliki potensi fiskal yang memadai dari sektor perkebunan, kehutanan, dan pertambangan.
Sementara itu, Berau Pesisir dan Paser Selatan juga menunjukkan progres signifikan, namun masih perlu memperkuat dokumen teknis dan dukungan administratif.
“Beberapa masih perlu dilengkapi, terutama menyangkut batas wilayah dan dukungan anggaran dari kabupaten induk. Tapi secara umum, semua delapan wilayah menunjukkan keseriusan,” terang Sofyan.
Meski demikian, pemekaran wilayah bukan tanpa risiko. Tantangan terbesar terletak pada keterbatasan anggaran negara, serta kesiapan SDM dan kelembagaan di DOB baru.
Pemerintah pusat kerap mengkhawatirkan pembengkakan belanja pegawai, lemahnya kapasitas tata kelola, dan rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) di daerah baru yang belum siap.
Hal itu terbukti dalam sejumlah DOB hasil pemekaran sebelumnya, yang justru menjadi beban fiskal negara dan kesulitan mengelola pemerintahan secara efektif.
Karena itu, Komite I menilai perlu ada desain besar yang mengatur mekanisme pembukaan moratorium DOB secara selektif.”Pastinya berbasis kebutuhan pembangunan nasional dan daya dukung fiskal masing-masing wilayah,” tutur Sofyan.
Dalam waktu dekat, Komite I akan menjadwalkan pertemuan dengan Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas untuk merumuskan strategi pengelolaan pemekaran wilayah agar lebih terarah dan tidak mengulang kesalahan masa lalu.(mayang/arie)