Kaltim Paling Banyak Kehilangan

Landscape hutan dan pesisir di wilayah Kaltim.- Forest Wacth Indonesia.

Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, deforestasi di Indonesia dalam dua tahun terakhir (2021-2023) mencapai 1,93 juta hektare (Ha). Kalimantan Timur, menjadi salah satu wilayah dengan angka deforestasi tertinggi nasional dalam dua tahun terakhir.

Angka itu melebihi batas kuota deforestasi yang ditetapkan pemerintah dalam dokumen FoLU Net Sink 2030, yaitu sebesar minus 577 ribu hektare untuk mencapai target penurunan emisi.

“Strategi FoLU Net Sink 2030 tidak dijalankan secara serius di tingkat tapak. Komitmen menurunkan laju deforestasi tidak tercapai,” kata Anggi Putra Prayoga, Juru Kampanye FWI, dalam siaran pers yang diterima pada Senin (23/6/2025).

Ia menjelaskan, sebagian besar deforestasi terjadi secara terencana dalam skema perizinan resmi. FWI mencatat deforestasi sebesar 375.368 hektare dalam Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH), termasuk di hutan alam, hutan tanaman, dan kawasan restorasi ekosistem.

“Deforestasi dalam PBPH seharusnya bisa dicegah jika Kementerian tidak menyetujui rencana usaha perusahaan,” sebutnya.

Selain itu, deforestasi juga berlangsung melalui pelepasan kawasan hutan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit dan perizinan Perhutanan Sosial. Total 1,66 juta hektare deforestasi terjadi dalam wilayah yang dikategorikan sebagai kawasan hutan negara oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Hutan dirusak, sawit dibangun. Ini deforestasi terencana,” tegas Anggi.

Di Kalimantan Timur, menjadi salah satu wilayah dengan angka deforestasi tertinggi nasional dalam dua tahun terakhir.

Adapun, deforestasi terjadi baik di konsesi perkebunan, maupun pertambangan yang telah memperoleh izin dalam kawasan hutan. Wilayah-wilayah seperti Kutai Timur, Berau, dan Paser mengalami kehilangan tutupan hutan alam secara signifikan.

Di sisi lain, pihaknya juga mencatat peningkatan deforestasi di wilayah pulau kecil. Sepanjang 2017-2021, deforestasi di wilayah Kaltim mencapai 318,6 ribu hektare atau 3 persen dari rata-rata deforestasi nasional. Luas hutan alam yang tersisa di pulau kecil pada 2021 mencapai 3,49 juta hektare.

Menurutnya, ancaman deforestasi di pulau kecil meningkat karena kebijakan yang memperbolehkan pertambangan tanpa batasan luas di kawasan tersebut. Hal ini diatur dalam Peraturan Menteri LHK No. 7/2021.

“Kebijakan ini bertentangan dengan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan juga putusan Mahkamah Konstitusi yang melarang eksploitasi besar di pulau kecil,” bebernya.

Anggi menyebut, tiga kesalahan utama dalam pengelolaan pulau kecil yakni menyamakan pulau kecil dengan pulau besar, menggeneralisasi antar pulau kecil, dan pendekatan pengelolaan yang tidak berbasis ilmiah.

Deforestasi tak bisa dimaknai semata sebagai pelepasan emisi karbon, melainkan juga hilangnya fungsi ekologis hutan seperti konservasi air, perlindungan tanah, sumber pangan, dan ruang hidup masyarakat adat.

“Target emisi 2030 harus dilandasi komitmen melindungi fungsi hutan sebagai ekosistem,” ujar Anggi.

Kemudian, lanjutnya, perubahan kebijakan yang serius juga diperlukan, termasuk revisi UU Kehutanan yang berpihak pada perlindungan hutan dan keadilan bagi komunitas lokal. Rencana revisi UU Kehutanan dalam Prolegnas 2025 turut dikritik sejumlah akademisi dari kawasan timur Indonesia.

Mereka menyoroti potensi dimasukkannya pasal-pasal turunan UU Cipta Kerja, termasuk yang membuka ruang tambang dan perkebunan di kawasan hutan.

Prof. Agustinus Kastanya dari Universitas Pattimura menilai paradigma pengelolaan hutan selama ini masih bersifat kolonial.”Hutan ditetapkan sebagai kawasan negara melalui asas domein verklaring, dan itu mencakup sekitar 66 persen ruang hidup masyarakat,”

“Bahkan, 62 persen pulau kecil di Indonesia merupakan kawasan hutan. Tapi tata kelolanya disorientatif karena memaknainya sebagai komoditas,” sambungnya.

Dr. Andi Chairil Ichsan dari Universitas Mataram menilai definisi-definisi dalam regulasi kehutanan perlu dikaji ulang.”Perlu ada redefinisi terhadap istilah hutan, kawasan hutan, deforestasi, cadangan pangan, dan energi,” tekannya.

Ia menilai bahwa kawasan hutan saat ini diperlakukan sebagai komoditas untuk proyek pangan, energi, tambang, dan tanaman monokultur.

Sementara itu, Prof. La Ode M. Aslan dari Universitas Halu Oleo dan anggota Forum Akademisi Timur Melawan Tambang mengungkapkan bahwa 242 pulau kecil telah dikapling tambang dengan luas total 245 ribu hektare atau setara tiga kali luas Singapura.

“Tambang di pulau kecil tidak hanya merusak daratan, tapi juga mencemari sungai, pesisir, dan laut. Di Sulawesi Tenggara, masyarakat pesisir Pulau Kabaena sudah terdampak logam berat dari aktivitas pertambangan,” tutup Aslan.(salsa/arie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *