Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang tak maksimal pendapatannya, serta merugi dinilai tak perlu dilanjutkan, alias ditutup saja.
Ekonom Kalimantan Timur (Kaltim), yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi menyebut, bahwa masalah pada perusahaan daerah (Perusda) di Kaltim, merupakan persoalan lama yang tak kunjung tuntas, terutama karena persoalan tata kelola yang tidak profesional.
“Ini sih sering saya bilang, Perusda ini kan penyakit lama ya. Tidak dikelola dengan profesional,” ungkap Purwadi kepada nomorsatukaltim (Disway Grup), Senin, 30 Juni 2025.
Menurutnya, selama pengelolaan Perusda tidak dibenahi, penyuntikan modal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), hanya akan menjadi beban tanpa hasil.
“Ketika tidak profesional ya mau disuntik duit berapa miliar pun kan selalu minta tambahan modal. Tahunya minta modal kerja terus. Ini APBD loh. Uang APBD, uang rakyat. Uang pajak rakyat,” tegasnya.
Purwadi juga menekankan, bahwa pemerintah daerah perlu bersikap tegas. Bila suatu Perusda terus merugi tanpa kejelasan arah usaha, maka lebih baik ditutup.
“Ya kalau gak beres ya diamputasi, bersihkan gitu. Diamputasi aja kalau bikin tekor terus kan. Daripada jadi benalu,” ujarnya.
Namun, Dia menambahkan, bahwa secara prinsip keberadaan Perusda tetap penting selama dijalankan sesuai misi utamanya. “Tetep harus dilanjutkan. Perusda itu kan misinya dua: sosial dan profit,” katanya.
Ia juga mempertanyakan komitmen pemerintah daerah yang baru, di tengah tahun politik dan transisi kepemimpinan. “Sekarang udah 2025. Ada keberanian gak pemerintah yang baru sekarang? Atau beda-beda tipis? Atau lebih parah kan?” tutupnya.
Masalah Perusda Kaltim, dinilai sebagai cerminan dari ketidaksiapan tata kelola dan pengawasan. Oleh karena itu, langkah reformasi struktural serta political will yang kuat dari pemangku kebijakan sangat diperlukan agar Perusda tak lagi menjadi ladang pemborosan uang rakyat.
Sebelumnya diketahui, Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim), hingga pertengahan 2025 masih belum menerima seluruh pembagian keuntungan (dividen), yang seharusnya disetorkan oleh perusda atau BUMN. Dividen ini pun menjadi utang piutang yang masih diusahakan untuk ditagihkan kepada perusda.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHPBPK) RI tahun anggaran 2024, Pemprov Kaltim telah menganggarkan penyertaan modal untuk Perusda senilai Rp 8,360 triliun pada 2024. Sementara realisasi hasil pengelolaan kekayaan daerah (laba), senilai Rp 237,697 miliar.
Sekretaris Daerah Provinsi Kaltim, Sri Wahyuni, pun angkat bicara soal hasil temuan laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Kaltim, tentang pengelolaan investasi jangka panjang lewat PAD dari perusda yang belum maksimal.
“Mereka ini sebenarnya bukan tidak menghasilkan PAD, Mereka yang dari itu sudah menghasilkan PAD. Tetapi kan keinginan kita harus optimal, apalagi dengan aset yang dimiliki. Nah, Mekanisme ini wajar,” ungkap Sri, Rabu, (25/6/2025).
Sri mengakui masalah utang-piutang ini, memang ada dan bermasalah, serta telah ditangani prosesnya oleh aparat penegak hukum. Dalam hal ini salah satunya, adalah Kejati Kaltim. Menurutnya, beberapa masalah ini berakar sejak lama dari masa pengelolaan sebelumnya, yakni sebelum 2010.
“Memang piutang ini, ada yang sudah kita serahkan ke aparat penegak hukum. Ini kan dari manajemen-manajemen yang sebelumnya. Dari tahun di bawah 2010. Jadi piutang itu ada yang sudah diserahkan ke APH itu tadi,” jelasnya.
Pemprov, terpaksa harus menindak perusda ini melalui jalur hukum, karena dinilai tidak lagi kooperatif dalam mengingat kewajibannya menyetor PAD dari pemanfaatan aset yang dimiliki.
“Karena pihak yang berkewajiban bayar utang itu sudah tidak kooperatif misalnya. Intinya tidak membayar kewajiban itu kan jadi piutang. Jadi, salah satunya seperti ada haknya PT MMP yang belum dibayarkan. Ada yang ke APH. Ada juga lewat prosedur-prosedur yang lain,” ucap Sri.
Adapun, Pemprov Kaltim berniat untuk melakukan perbaikan melalui evaluasi BUMD secara keseluruhan melalui peninjauan dan audit BPK setiap tahun yang turut diawasi mekanismenya oleh biro ekonomi.
“Dilakukan lewat Biro Ekonomi. Evaluasinya ada dengan melihat dari rencana bisnisnya, rencana kerja. Juga ada audit dari BPK. Setiap tahun mereka harus memberikan jawaban hasil audit. Respons terhadap audit dari BPK itu juga bagian dari evaluasi,” kata dia.
Dalam salah satu kasus, Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Pemprov Kaltim seharusnya menerima dividen sebesar Rp 76,266 miliar dari perusahaan daerah PT Migas Mandiri Pratama Kaltim (MMP) sesuai berita acara Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tahun 2024.
Namun, hingga akhir tahun 2024, PT ini baru menyetorkan Rp 38,37 miliar. Skemanya terdiri dari, Rp 35,62 miliar pada 23 Desember 2024 dan Rp2,75 Miliar pada 27 Desember 2024.
Akibatnya, per 31 Desember 2024 masih ada piutang dividen sebesar Rp40 miliar yang belum dibayar ke Pemprov Kaltim.
Lalu, masih berdasarkan laporan BPK, pada 25 Februari 2025, PT MMP kembali menyetor sebesar Rp13,60 miliar. Dengan demikian, total yang sudah disetor hingga awal 2025 adalah Rp51,97 miliar, dan masih ada kekurangan pembayaran sebesar Rp26,39 miliar yang belum disetorkan.
Disinggung soal kekurangan setoran itu, Sri Wahyuni, mengakui masih ada piutang yang belum dibayarkan sepenuhnya. Dia mengatakan bahwa itu terjaid karena PT MMP masih menunggu pemasukan dari PT Pertamina Hulu Mahakam (PHM), mitra bisnis yang menjadi salah satu sumber pendapatan perusahaan daerah itu.(nizar/arie)