Imbas Pergantian Menteri

UN Bakal Dilaksanakan Lagi

UN Bakal Dilaksanakan Lagi

Ujian Nasional (UN) yang sempat ditiadakan, bakal kembali dilaksanakan. Tapi, berbeda penerapan dengan sebelumnya. DPR berharap, kebijakan tersebut tidak membebani siswa dan guru, akibat pergantian menteri.

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa ujian nasional hanya bisa dilakukan oleh sekolah yang telah terakreditasi.

“Kami tegaskan bahwa yang menjadi penyelenggara ujian itu adalah satuan pendidikan yang terakreditasi. Jadi satuan pendidikan yang tidak terakreditasi itu tidak bisa menjadi penyelenggara ujian nasional,” ujar Mu’ti di Kantor Kemendikdasmen Jakarta, 31 Desember 2024.

Seperti yang diketahui, Kemendikdasmen telah selesai melakukan kajian terkait evaluasi hasil belajar, termasuk Ujian Nasional (UN) yang sejak 2021 dihapus dan digantikan oleh Asesmen Nasional (AN).

Ia menyebut salah satu kekurangan AN yang dinilai masih belum memadai karena sifatnya sampling sehingga tidak menggambarkan hasil belajar masing-masing individu. Begitu pula dengan penggunaan rapor yang memunculkan polemik terhadap objektivitas guru dalam menilai.

“Rapor itu memang penting, tetapi juga kadang-kadang bikin repot karena banyak yang menyoal objektivitas guru dalam membuat nilai rapor.”

“Sehingga, banyak istilahnya kami menyebut dengan guru-guru banyak sedekah nilai. Bukan jangan pakai markup ya, tapi sedekah nilai. Harusnya kemampuan dia itu misal nilainya 6, tapi demi dalam rangka misalnya meningkatkan kemampuan murid itu kemudian diangkat jadi nilainya 9 dan seterusnya,” bebernya.

Maka dari itu, pihaknya sudah mengkaji semua pengalaman sejarah dari pelaksanaan evaluasi hasil belajar, termasuk kekhawatiran masyarakat, dalam merumuskan sistem yang baru. “Pada akhirnya kami akan memiliki sistem evaluasi baru yang dia akan berbeda dengan sebelumnya,” ungkapnya.

Namun demikian, ia masih enggan membongkar UN versi terbaru tersebut. “Tahun 2025/2026 itu kita akan selenggarakan ujian. Namanya apa dan bentuknya bagaimana, tunggu sampai itu diumumkan,” tandasnya.

Sejarah Perkembangan Sistem Evaluasi Hasil Belajar

Mu’ti menjelaskan bagaimana evaluasi hasil belajar di sistem pendidikan Indonesia telah berkembang dan terus berganti sejak 1950. “Sepanjang sejarah kita pernah punya pengalaman yang dulu namanya Ujian Penghabisan yang itu memang menjadi penentu kelulusan, Ujian Negara, dan Ujian Sekolah.”

Tak berhenti di situ, evaluasi hasil belajar kembali berganti menjadi Ebta dan Ebtanas.

Meski tidak menentukan kelulusan, nilai Ebtanas murni (NEM) ini menjadi kriteria penilaian seleksi masuk sekolah di jenjang berikutnya.

“Setelah kemudian Ebta-Ebtanas ditiadakan, diganti dengan Ujian Nasional.

Dulu Ujian Nasional itu menjadi penentu kelulusan dan kemudian dievaluasi lagi sehingga tidak menjadi penentu kelulusan.”

Lantas, kelulusan ditentukan dari Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) oleh masing-masing sekolah. “Kelulusan itu tidak ditentukan dari Ujian Nasional, tapi ditentukan dari Ujian Sekolah karena menurut undang-undang, yang punya kewenangan untuk menentukan lulus atau tidak lulus itu adalah satuan pendidikan. Dan kembali lagi, adalah satuan pendidikan yang terakreditasi,” tandasnya.

JANGAN TERBEBANI

Ketua Komisi X DPR RI Hetifah Sjafudian memberikan sejumlah catatan terkait kebijakan terbaru yang disebut mengembalikan ujian nasional (UN). Ia menekankan pentingnya memastikan kebijakan yang akan dikeluarkan benar-benar berkontribusi pada peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia, bukan justru menambah beban siswa, guru, dan sistem pendidikan nasional.

“Kebijakan ini harus dibangun melalui dialog terbuka dengan para guru, siswa, orang tua, dan akademisi. Partisipasi aktif dari para pemangku kepentingan ini akan memastikan bahwa kebijakan UN tidak hanya menjadi keputusan sepihak, tetapi juga mencerminkan kebutuhan nyata dunia pendidikan,” tutur Hetifah dalam keterangannya, Kamis, 2 Januari 2025.

Oleh karena itu, ia mendorong pengembangan sistem penilaian yang lebih holistik. “Penilaian tidak boleh hanya berfokus pada hasil tes, tetapi juga mencakup aspek perkembangan karakter dan kompetensi siswa secara keseluruhan,” tandasnya.

Ia pun mengingatkan kembali pada pengalaman sebelumnya, di mana UN kerap menimbulkan tekanan psikologis bagi siswa, bahkan orang tua. Maka dari itu, lanjutnya, sangat penting untuk menyediakan program pendampingan dan pelatihan yang membantu siswa menghadapi UN tanpa rasa cemas berlebihan.

Di samping itu, ia juga menegaskan bahwa kebijakan UN harus relevan dengan perkembangan kurikulum dan sistem pendidikan nasional. “Kami berharap bahwa UN dapat menjadi bagian dari visi pendidikan yang konsisten, bukan sekadar perubahan kebijakan yang mengikuti pergantian menteri,” lanjutnya.

Di samping itu, ia menegaskan pentingnya evaluasi kebijakan secara berkala untuk menilai efektivitas UN dalam mencapai tujuan pendidikan nasional.

“Kebijakan ini harus mencerminkan kebutuhan masyarakat dan dunia pendidikan, bukan sekadar menggantikan AN tanpa dasar yang jelas.”

Lebih lanjut, ia menyinggung teknis pelaksanaan UN yang perlu mengantisipasi berbagai kendala dan kecurangan. “Pemerintah juga harus memastikan distribusi soal berjalan lancar, khususnya di wilayah 3T, serta mengatasi isu kebocoran soal yang sering terjadi,” cetusnya.

Dalam hal ini, Hetifah mengatakan, pemerintah perlu memastikan infrastruktur pendidikan yang memadai di seluruh wilayah, termasuk daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T).

“Selain itu, alokasi anggaran harus direncanakan secara matang. Sebagai catatan, penggantian UN dengan Asesmen Nasional (AN) sebelumnya juga dilakukan dengan pertimbangan efisiensi anggaran,” terangnya.

“Kami akan terus mengawal kebijakan ini agar diterapkan secara efektif, efisien, dan adil bagi seluruh lapisan masyarakat,” pungkasnya.(DISWAY.ID/ARIE)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *