Persoalan Dana Bagi Hasil (DBH) masih menjadi perbincangan, dan menjadi persoalan serius ketika pemerintah pusat menurunkan besarannya. Padahal hal tersebut sudah menjadi hak setiap daerah.
———————
Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, menyoroti kondisi dana bagi hasil (DBH) yang menjadi salah satu penopang utama keuangan daerah. Ia menyampaikan hal ini menjelang agenda sinkronisasi antara Menteri Keuangan (Menkeu) dengan Badan Anggaran DPR RI yang dijadwalkan berlangsung di Senayan.
Menurut Rudy, wilayah Kalimantan Timur (Kaltim) tidak terlalu bergantung pada transfer daerah, namun justru sangat bergantung pada DBH.
“Dana bagi hasil itu memang merupakan hak atau milik pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di seluruh Kalimantan Timur,” ujarnya, saat berada di Balikpapan, Rabu (17/9/2025).
Rudy menegaskan, ketahanan fiskal daerah akan sangat dipengaruhi oleh besaran DBH yang diterima. Hingga saat ini, pihaknya masih mengetahui adanya pemotongan hingga 75 persen dari alokasi yang seharusnya diterima daerah.
“Kalau misalkan Kalimantan Timur Rp 6 triliun, mungkin yang tersisa hanya Rp 1,4 triliun,” kata Rudy.
Meski demikian, Rudy berharap ada perubahan dalam keputusan pemerintah pusat terkait skema pemotongan tersebut. Ia menyatakan pemerintah daerah akan sangat senang jika ada penambahan alokasi DBH, bukan pengurangan.
“Semoga nanti ada perubahan, karena penambahan dana tentu akan membantu pemerintah daerah dalam membiayai pembangunan,” ucap Rudy.
Rudy juga menegaskan, bahwa Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim menunggu hasil pembahasan resmi di tingkat pusat. Dan, keputusan tersebut akan berdampak langsung pada kemampuan daerah dalam menjalankan program pembangunan.
Pada kesempatan sebelumnya, Pemerintah Provinsi Kaltim tetap berkomitmen menjaga keberlanjutan infrastruktur meski dengan dana terbatas.
“Kita akan melakukan yang terbaik untuk Kalimantan Timur, begitu juga dengan pemerintah kabupaten dan kota,” ujarnya.
Hingga kini, kepastian angka DBH masih menunggu keputusan resmi melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang dijadwalkan terbit pada 23 September 2025.
Menurut Rudi, situasi ini juga dipengaruhi oleh transisi kepemimpinan di Kementerian Keuangan, dari Sri Mulyani kepada Purbaya Yudhi Sadewa.
“Jadi kami pemerintah provinsi Kaltim dituntut mencari strategi inovatif agar pembangunan tetap berjalan, meski ruang fiskal dinilai semakin menyempit,” pungkasnya.
Di sisi lain, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) telah bergerak ke Kementerian Keuangan, untuk memastikan perihal pemotongan Dana Bagi Hasil (DBH) dan transfer dana pusat.
Wakil Ketua DPRD Balikpapan, Budiono, mengatakan bahwa saat ini pihaknya bersama pimpinan dan sebagian Banggar (Badan Anggaran) telah bertolak ke Jakarta. “Betul. Berjuang agar dana tidak dipotong,” singkat Budiono, saat dikonfirmasi, Rabu (17/9/2025).
Diketahui, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan bahwa pengurangan anggaran Transfer ke Daerah (TKD) yang dilakukan pemerintah pusat merupakan bentuk pengalihan anggaran sebagai upaya efisiensi belanja daerah.
Tito menyebut, pengurangan ini tidak dilakukan secara merata, melainkan mempertimbangkan kekuatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing wilayah.
“Ya, jadi ini namanya pengalihan ya, pengalihan anggaran dari daerah pusat, karena menurut undang-undang keuangan negara, itu adalah pengelola keuangan negara itu adalah residen ya,” kata Tito di Komplek Parlemen, Senayan, dikutip Selasa 16 September 2025.
Tito menilai ada ketidakefisienan pengelolaan anggaran di sejumlah daerah. “Banyak daerah, ya ada daerah yang baik pengelolaanya, tapi banyak juga yang enggak. Yang enggaknya ya mungkin karena faktor integritas maupun karena situasi, situasi keadaan politik yang ada di situ,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung praktik kolusi yang kerap terjadi dalam pembahasan APBD antara kepala daerah dan DPRD.
“Contohnya banyak sekali kasus saya kira, beberapa daerah yang DPRD-nya bedol desa, seperti di Sumatera Utara beberapa hari lalu, Jambi, kemudian di Papua Barat, di Jawa Timur masih berlangsung,” jelasnya.
Menurut Tito, pengalihan anggaran ke pusat justru diarahkan pada program-program nasional yang akan berdampak ke daerah. Ia menyebut nilainya mencapai Rp1.369 triliun.
“Nilainya 1.369 triliun, yang dari berbagai macam program. Semua ada 1 paket besar, 1.369 triliun, yang akan dieksekusi oleh pemerintah pusat yang berdampak ke daerah,” terangnya.
Ia menambahkan, pengurangan anggaran dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi masing-masing daerah.
“Jangan pukul rata, tapi yang daerahnya yang memang lemah dan perlu dibantu oleh pusat, kurangi sedikit. Yang kira-kira sedang, karena PAD-nya cukup besar, boleh kurangin signifikan,” paparnya.
Tito juga mengungkap, pemerintah telah menghitung kebutuhan belanja minimal daerah sebesar Rp693 triliun.
“Dan saya sudah menyampaikan kepada Menteri Keuangan yang baru, Pak Purbaya, dan Pak Purbaya menyatakan akan mendukung, 43 triliun itu minimal,” pungkasnya.(chandra/disway.id/arie)