Pemisahan pemilu nasional, dan daerah masih menjadi perdebatan di kalangan politik. Pemerintah pun membentuk tim kajian.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang mengatur pemisahan pelaksanaan pemilu nasional dan daerah menuai gelombang kritik dari sejumlah partai politik besar. Dalam putusan itu, MK memutuskan agar pelaksanaan pemilu legislatif dan eksekutif nasional dipisah dari pemilihan kepala daerah, dengan jeda waktu antara 2 hingga 2,5 tahun.
Kebijakan ini dipandang sebagai bentuk pelanggaran terhadap konstitusi yang mengatur pemilu lima tahunan.
Ketua DPP PDI Perjuangan, Puan Maharani, menyatakan bahwa DPR masih akan mencermati lebih lanjut dampak dari putusan tersebut. Ia menekankan pentingnya sikap kolektif dari semua partai politik dalam merespons putusan tersebut.
“Ya, kemarin ada rapat pertemuan antara pimpinan DPR dengan Mendagri kemudian Mensesneg, Perludem untuk mendengarkan hasil keputusan MK yang menyatakan bahwa ada perubahan dari pemilihan terkait dengan kepala daerah dan anggota DPRD,” ujar Puan di Komplek parlemen, Selasa 1 Juli 2025.
Puan menambahkan bahwa saat ini DPR belum mengambil keputusan terkait pembentukan panitia khusus (pansus) atau langkah legislasi lanjutan. “Belum diambil keputusan karena kemarin baru mendengarkan masukan dari pemerintah,” katanya.
Terkait dengan kemungkinan perubahan undang-undang, Puan mengatakan akan membahas keputusan MK tersebut.”Nantinya kan tentu saja itu akan ada efeknya ke undang-undang pemilu, tapi undang-undang pemilunya juga belum kita bahas, karenanya DPR dan pemerintah akan mencermati keputusan dari MK tersebut,” ujarnya.
Soal sikap fraksi PDI-P, Puan menyebut bahwa dampak putusan MK bukan hanya menyangkut satu partai, tetapi semua.”Ini bukan hanya sikap dari fraksi PDI Perjuangan saja, tapi itu tentu saja semua partai, karena memang undang-undang dasar menyatakan bahwa sebenarnya kan pemilu itu lima tahun sekali digelar, karenanya emang ini perlu dicermati oleh seluruh partai politik,” tegas puan.
Senada dengan Puan, Wakil Ketua Umum PKB, Cucun Ahmad Syamsurijal, menegaskan bahwa partainya menolak jika putusan MK justru menyimpang dari prinsip konstitusi.
“Konstitusi pemilu itu kan di kita 5 tahun sekali. Ya tinggal kembalikan, nanti publik kan bisa memahami. Masa penjaga konstitusi-konstitusinya dilanggar,” tegas Cucun.
Cucun juga menyoroti ketidakpastian hukum akibat interpretasi final and binding dari MK yang inkonsisten: “Final and binding ini, kalau kita melihat yang dulu aja kan ditolak udah final and binding. Tapi sekarang malah diterima semua. Final and binding lagi gitu kan,” ucap Cucun.
Sementara itu, Partai NasDem secara tegas menyebut bahwa pelaksanaan putusan MK berpotensi melanggar konstitusi dan menciptakan krisis ketatanegaraan.
“Pelaksanaan putusan MK dapat mengakibatkan krisis konstitusional bahkan deadlock constitutional. Sebab, apabila Putusan MK dilaksanakan justru dapat mengakibatkan pelanggaran konstitusi,” ujar Lestari Moerdijat, Anggota Majelis Tinggi DPP Partai NasDem.
Ia menjelaskan bahwa Pasal 22E UUD 1945 secara jelas mewajibkan pemilu digelar setiap lima tahun sekali, mencakup seluruh unsur legislatif dan eksekutif.
“Jika setelah lima tahun tidak dilakukan pemilu DPRD, maka menurutnya, itu adalah pelanggaran konstitusional,” katanya.
Lebih lanjut, Lestari menilai MK telah melampaui kewenangannya sebagai negative legislator: “MK telah menjadi negative legislator sendiri yang bukan kewenangannya dalam sistem hukum yang demokratis dan tidak melakukan metode moral reading dalam menginterpretasi hukum dan konstitusi,” kata Moerdijat.
Terpisah, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi mengatakan, pihaknya akan membentuk tim untuk mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi No. 135/PUU-XXII/2024 yang memisahkan Pemilu Nasional dan Pemilu daerah.
Prasetyo mengatakan tim kajian yang sudah dibentuk itu terdiri dari Kemensetneg, Kemenkum dan Kemendagri. “Kami saya dan Kemendagri selama ini yang memang membawahi masalah kepemiluan ya kemudian dengan teman-teman di Kementerian Hukum, kami membuat satu tim untuk mengkaji sebuah putusan Mahkamah Konstitusi yang baru kemarin,” kata Prasetyo kepada wartawan, Selasa, 1 Juli 2025.
Selain membuat tim kajian, Prasetyo mengatakan pemerintah juga menunggu arahan dari Presiden Prabowo Subianto dalam menyikapi putusan MK.”Kemudian tentu kami akan minta petunjuk dari Bapak Presiden, kalau analisa dari kementerian sudah selesai,” jelas dia.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan DPR RI mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai pemisahan pemilihan umum nasional dengan pemilihan umum daerah bersama pemerintah dan organisasi masyarakat sipil.
“Kami kemarin di DPR sudah mengadakan rapat brainstorming baik dengan pihak pemerintah yang dihadiri oleh Menteri Hukum, Menteri Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara, ada KPU, kemudian juga kita ada Komisi II, Komisi III yang membawahi hukum, Badan Legislasi, dan juga ada NGO yang melakukan JR (judicial review) seperti Perludem,” kata Dasco.
Diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional meliputi pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.(disway.id/arie)












