BIANG BENCANA EKOLOGIS

Perkebunan Sawit dan Tambang yang Masif

Pengamat Kebijakan Publik Unmul, Saiful Bachtiar mengatakan salah kelola tambang dan sawit bisa picu Krisis ekologis di Kaltim. Klaim keberhasilan SDA tak sejalan dengan kerusakan lingkungan (Disway Kaltim/Mayang)

Pengelolaan hutan di Kalimantan Timur (Kaltim), jika salah kelola tentunya jadi persoalan besar. Terutama jadi bencana ekologis, dampak terbesar bisa dari tambang maupun perkebunan kelapa sawit.

——————————————————-

Pengamat kebijakan publik Universitas Mulawarman (Unmul), Saiful Bachtiar, menilai meningkatnya ancaman bencana ekologis di Kalimantan Timur (Kaltim) bukan semata dipicu faktor alam, melainkan akumulasi kesalahan kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang berlangsung selama puluhan tahun.

Menurut Saiful, kerusakan lingkungan di Kaltim harus dibaca secara historis. Persoalan tersebut bermula sejak era Orde Baru, ketika pemerintah pusat mendorong penebangan hutan besar-besaran di Kalimantan pada 1970-an untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dan ekspor.

“Kalimantan, termasuk Kaltim, dijadikan lumbung kayu nasional. Hutan ditebang secara masif tanpa perhitungan daya dukung lingkungan,”ujar Saiful, Sabtu (13/12/2025) malam.

Ketika era kayu mulai mereda pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an, eksploitasi alam tidak berhenti. Pola perusakan justru bergeser dan semakin masif sejak awal 2000-an, ditandai ekspansi pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit secara bersamaan.

Ia menyoroti perubahan metode pertambangan batu bara yang sebelumnya dilakukan secara tertutup atau menggunakan terowongan, kemudian beralih ke sistem tambang terbuka. Perubahan ini menjadi titik balik kerusakan lingkungan karena menghilangkan tutupan hutan secara total.

“Tambang terbuka dan sawit berjalan paralel. Dua-duanya sama-sama menebang hutan dan menghilangkan fungsi ekologis lahan,” kata dia.

Saiful menyebut, kondisi tersebut terlihat jelas di wilayah penghasil sumber daya alam seperti Kutai Kartanegara, Berau, hingga Kutai Timur. Di Kutai Timur, ekspansi tambang batu bara dan perkebunan sawit dalam skala luas telah mengubah bentang alam secara signifikan dan memperbesar risiko bencana ekologis.

“Di Kutai Timur bukaan lahannya luar biasa. Tambang dan sawit saling beririsan. Kalau hujan ekstrem terjadi, dampaknya bukan hanya banjir, tapi juga longsor dan rusaknya daerah aliran sungai,”ujarnya.

Lanjutnya, klaim pemerintah terkait pengelolaan tambang dan sawit ramah lingkungan tidak sesuai realitas lapangan. Salah satu indikator paling nyata terlihat dari menurunnya kualitas air sungai yang menjadi sumber air baku masyarakat di berbagai daerah di Kaltim.

“Air Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya kini tercemar residu pertambangan batu bara serta pupuk dan pestisida dari perkebunan sawit,” tuturnya.

Saiful menambahkan, dampak pencemaran serupa mulai dirasakan di Kutai Timur, terutama di wilayah yang bergantung pada sungai-sungai kecil dan kawasan hulu.

“Di Kutim, masyarakat bergantung pada sungai lokal. Ketika hulunya rusak karena tambang dan sawit, kualitas air turun dan dampaknya langsung dirasakan warga,”katanya.

Selain pencemaran air, persoalan krusial lain terletak pada kegagalan reklamasi pascatambang. Saiful menilai dana jaminan reklamasi yang disetor perusahaan tidak sebanding dengan biaya riil pemulihan lahan.

“Secara logika, dana jaminan itu tidak rasional. Tidak mungkin cukup untuk mengembalikan lahan bekas tambang menjadi hutan,” tegasnya.

Akibatnya, banyak lubang tambang dibiarkan menganga tanpa pemulihan. Di sekitar Samarinda, Kutai Kartanegara, Kutai Timur, hingga wilayah pedalaman, lubang-lubang tersebut berubah menjadi kolam dan danau buatan yang berbahaya bagi lingkungan dan keselamatan warga.

Saiful juga mengkritik pembukaan lahan sawit yang menggantikan hutan alam dengan tanaman monokultur. Ia menekankan struktur akar sawit tidak mampu menyerap dan menyimpan air seperti pohon hutan tropis Kalimantan.

“Hutan memiliki fungsi mitigasi alami. Ketika diganti sawit atau tambang, banjir bandang dan longsor hanya menunggu waktu,” sebutnya.

Ia mengingatkan bencana besar di Sumatera dan Aceh seharusnya menjadi alarm keras bagi Kalimantan. Luas bukaan lahan tambang dan sawit di Kalimantan, termasuk di Kutai Timur, dinilai lebih besar dibanding wilayah terdampak bencana tersebut.

Saiful juga melontarkan kritik kepada kepala daerah, termasuk gubernur, yang kerap membanggakan luas hutan dan besarnya kontribusi sektor ekstraktif terhadap nasional.

“Jangan buru-buru bangga lalu mengklaim kita punya 8,5 juta hektare hutan atau menyumbang 30 persen energi nasional. Pertanyaannya, hutan yang mana dan rakyat yang mana sejahtera?,” ujar Saiful.

Menurutnya, kepala daerah sering mengulang narasi keberhasilan ekonomi tanpa membaca dampak ekologis dan sosial di lapangan.”Gubernur dan kepala daerah seharusnya tidak sekadar mengulang klaim pusat. Mereka mestinya berdiri membela keselamatan rakyat dan lingkungan daerahnya,” lanjutnya.

Saiful menilai pemerintah daerah gagal bersikap kritis terhadap kebijakan perizinan tambang dan sawit yang ditarik ke pemerintah pusat. Akibatnya, daerah hanya menerima dampak, sementara kewenangan strategis berada di luar kendali.

“Mitigasi bencana seharusnya dimulai sejak izin diterbitkan. Tapi kepala daerah cenderung diam, bahkan ikut mempromosikan investasi tanpa mengukur risikonya,” ucap Saiful.

Ia juga mengkritik narasi tambang dan sawit sebagai motor kesejahteraan. Fakta di lapangan, menurutnya, menunjukkan masyarakat sekitar tambang di Kutai Kartanegara, Berau, dan Kutai Timur masih hidup dalam kondisi rentan.

“Yang sejahtera itu bukan masyarakat Kaltim, tapi pemilik modal. Keuntungan mengalir ke luar daerah, bahkan ke luar negeri,” bebernya.

Selain itu, Pemerintah, kata Saiful, tidak pernah membuka secara jujur luas tambang dan sawit, kepemilikan izin, serta kontribusi riilnya terhadap daerah. Minimnya transparansi data turut memperparah situasi ini.

“Kalau datanya terbuka, publik bisa menilai. Selama ini yang disampaikan hanya klaim sepihak,” ujarnya.

Saiful menegaskan, koreksi kebijakan tetap harus dilakukan meski terlambat. Prinsip pembangunan berkelanjutan perlu menjadi dasar utama arah kebijakan ke depan.

“Kalau kebijakan ini terus dilanjutkan tanpa koreksi, Kaltim, termasuk Kutai Timur, hanya akan mewarisi bencana ekologis bagi generasi berikutnya,” pungkasnya. (MAYANG/ARIE)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *