Terungkapnya kasus pemalsuan uang di Tanah Air, kali ini cukup mengguncang publik. Sebab, produksi uang palsu berlangsung di dalam kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Sulawesi Selatan. Peredaran bahkan belum terdeteksi seluruhnya.
YANG paling mengejutkan, UIN Makassar bisa memproduksi uang palsu (upal) berkualitas tinggi atau KW Super, karena sangat identik dengan yang asli. Sindikat ini disebut-sebut menggunakan peralatan canggih untuk memproduksi uang palsu pecahan Rp 100 ribu yang sulit terdeteksi, bahkan oleh alat X-Ray.
Kapolres Gowa, AKBP Reonald Simanjuntak, menjelaskan bahwa mesin cetak yang digunakan pelaku memiliki teknologi canggih.
“Pengembangan ini kami harus melibatkan beberapa bank karena uang palsu yang dicetak terbilang canggih,” ujarnya.
Kasus ini bermula dari laporan aktivitas mencurigakan di kampus UIN Alauddin Makassar, yang mengarah pada dugaan pencetakan uang palsu di dalam area perpustakaan kampus. Setelah dilakukan penyelidikan, pihak kepolisian berhasil menangkap 17 tersangka di berbagai lokasi, seperti Gowa, Makassar, Wajo, dan Mamuju, Sulawesi Barat.
Tak hanya mencetak uang rupiah, sindikat ini juga memproduksi mata uang asing seperti Won Korea Selatan, serta Surat Berharga Negara (SBN) palsu.
Kapolda Sulsel, Irjen Yudhiawan Wibisono, menyatakan bahwa barang bukti yang disita dari operasi ini mencapai nilai fantastis. “Ada mata uang rupiah, mata uang Korea, dan bahkan satu lembar surat berharga senilai Rp 700 triliun. Cukup menarik barang buktinya nilainya ini triliunan,” ujar Yudhiawan.
Selain uang palsu, polisi juga menyita mesin cetak seharga Rp 600 juta yang diduga dibeli dari Surabaya, serta menemukan modus pemasaran uang palsu melalui media sosial seperti Instagram dan Facebook.
BI: Uang Palsu Tidak Bisa Menyamai Rupiah Asli
Meski disebut KW Super, Deputi Direktur Bank Indonesia (BI) Sulsel, Edy Kristianto, memastikan bahwa uang palsu tersebut tidak bisa menyamai kualitas uang asli.
Ciri yang paling menonjol adalah uang palsu tersebut tidak bisa dimasukkan dalam ATM setor tunai. “Untuk ATM setor tunai paling susah dimasukkin (uang palsu) karena selain kontrol manusia, juga ada kontrol sensor jadi ketolak,” jelasnya.
Rizky Ernadi, Kepala Perwakilan Bank Indonesia, menambahkan bahwa perbedaan antara uang palsu dan uang asli tetap bisa dikenali, terutama pada elemen desain dan bahan uang asli.
“Kami tidak dalam kapasitas membedakan berapa persen (kemiripannya). Satu saja beda itu sudah uang palsu. Yang paling tidak bisa dipalsukan adalah multi colour, latin image, dan bahannya yang khas,” ujar Rizky.
Ia juga menyebutkan beberapa ciri uang asli yang perlu diperhatikan masyarakat. Di antaranya efek safeting colour yang terlihat saat uang dimiringkan dan mikroteks yang tampak tajam dan tidak buram.
“Jika gambar terlihat buram, itu indikasi uang palsu. Pencetakan uang palsu biasanya menggunakan bahan yang berbeda, sehingga hasilnya tidak sebaik uang asli,” jelasnya.
Bank Indonesia menegaskan bahwa uang palsu tidak memiliki nilai tukar dan tidak dapat diganti di bank mana pun. Masyarakat yang menemukan uang palsu diimbau untuk segera melapor ke pihak berwenang.
Rizky menambahkan bahwa BI akan terus mengadakan sosialisasi tahunan terkait ciri-ciri uang asli dan metode pembayaran yang aman.
“Kami akan melaksanakan sosialisasi setiap tahunnya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang uang palsu dan cara menghindarinya,” ujarnya.
Namun, ia mengakui bahwa jumlah uang palsu yang beredar di masyarakat belum bisa dipastikan. “Uang palsu yang ditemukan ini seperti gunung es. Jadi permukaannya saja tetapi yang beredar mungkin sudah banyak, kita tidak tahu,” kata Rizky.
Kasus ini menjadi peringatan bagi masyarakat untuk lebih waspada terhadap peredaran uang palsu, terutama dalam transaksi tunai.
Perlu kehati-hatian lebih saat menerima uang dengan pecahan besar, seperti Rp100 ribu, yang sering menjadi target sindikat pemalsuan. Dengan terus berkembangnya teknologi, para pelaku kejahatan punya peluang lebih besar untuk mencetak uang palsu yang semakin identik dengan yang asli. (hariadi/arie)