Pemangkasan anggaran dari pemerintah pusat tentu akan menjadi masalah serius, dan akan terasa dampaknya tahun 2026. Lalu, bagaimana siasat pemerintah daerah mengatasi persoalan tersebut?
—————————
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim), tengah bersiap menghadapi dampak pemangkasan Transfer ke Daerah (TKD) oleh pemerintah pusat. Besarnya potongan mencapai Rp 4,5 triliun, jumlah yang tidak kecil mengingat posisinya berpengaruh langsung terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji mengatakan, langkah antisipasi sudah mulai dibicarakan. Pemprov akan memilah kembali program berdasarkan tingkat urgensi. Program prioritas dipastikan tetap berjalan, sementara program yang dianggap bisa ditunda akan direview untuk tahun 2027.
“Pasti akan ada dampaknya, tapi akan kita lihat mana yang urgennya tinggi, dan mana yang bisa kita tunda sebentar di 2027. Insya Allah tidak ada yang (program) sampai terhenti,” ungkap Seno Aji saat ditemui usai rapat paripurna di Gedung B, DPRD Kaltim, Senin (8/9/2025).
Menurutnya, pendekatan ini menjadi penting, agar Pemprov Kaltim tidak gegabah dalam melakukan pemangkasan di tingkat daerah. Dengan pengelolaan yang hati-hati, Ia optimistis pelayanan publik bisa tetap berjalan optimal meski anggaran berkurang.
Seno menyinggung, soal program tambahan di luar pelayanan dasar yang bisa jadi bahan evaluasi. Ia mencontohkan program perjalanan umrah yang sempat menuai sorotan publik. “Justru itu, mungkin yang seperti itu yang akan kita review nanti kalau memang terpaksa juga harus dipotong. Tapi mudah-mudahan tidak ada. Insya Allah tidak ada,” ujarnya.
Pemerintah provinsi tidak gegabah dalam mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan anggaran. Bahwa setiap program harus sesuai aturan agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.
APBD 2026 Rp 21,3 Triliun
Terkait posisi APBD Kaltim 2026, dipastikan terkunci di angka Rp 21,3 triliun, sesuai KUA-PPAS yang telah disepakati bersama DPRD Kaltim.
Namun, tidak menutup kemungkinan adanya perubahan melalui APBD Perubahan 2026. Hal ini bergantung pada kebijakan pemerintah pusat, terutama jika ada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur penyesuaian Dana Bagi Hasil (DBH).
“Perubahannya ada kemungkinan di DBH yang secara PMK harus turun 75 persen. Kalau ternyata PMK itu sudah turun, maka kita akan lakukan evaluasi. Tapi untuk saat ini tetap di angka Rp 21,3 triliun,”terang Seno.
Selain 2026, APBD Perubahan 2025 juga menjadi fokus. Menurut Seno, pembahasan sudah hampir rampung.”Kalau enggak salah minggu ini juga diketok,” ungkapnya.
Ia menambahkan, perubahan APBD 2025 ini akan memperhitungkan kondisi fiskal terkini, termasuk potensi penyesuaian belanja daerah akibat pemangkasan TKD. Namun, Pemprov Kaltim berkomitmen untuk tetap memprioritaskan pelayanan dasar, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga infrastruktur publik yang menunjang mobilitas masyarakat.
Jika dilihat dari skema fiskal, TKD memiliki kontribusi besar terhadap APBD Kaltim. Dengan pemangkasan Rp 4,5 triliun, Pemprov dipaksa menata ulang pos belanja.
Seno menilai, prinsip yang akan digunakan adalah memilah antara program yang bersifat esensial dengan program yang bersifat tambahan. Program esensial seperti pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur strategis, dan dukungan terhadap Ibu Kota Nusantara (IKN) dipastikan aman dari pengurangan.
“Yang kita lihat dulu urgen mana. Kalau pelayanan dasar, jelas tetap kita utamakan. Kalau ada program tambahan yang bisa ditunda, ya itu yang kita review,” jelasnya.
Dengan strategi ini, Pemprov berharap masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan. Meski ada pemangkasan, pemerintah berkomitmen agar pelayanan publik tetap bisa dirasakan masyarakat. Pemangkasan TKD sejatinya merupakan bagian dari kebijakan fiskal nasional untuk menyeimbangkan keuangan negara. Kaltim, yang sebelumnya diproyeksikan menerima DBH sekitar Rp 8–9 triliun, diperkirakan hanya akan menerima sekitar Rp 4–5 triliun.
Kondisi ini memaksa Pemprov Kaltim berhitung ulang. Sebab, DBH merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar daerah, terutama dari sektor migas dan minerba. Jika realisasi turun, maka otomatis ruang fiskal daerah ikut menyempit.
Para pengamat menilai, daerah harus segera mencari strategi alternatif untuk menutup celah fiskal, misalnya dengan mendorong pendapatan asli daerah (PAD) atau mengefisienkan belanja.
Meski situasi ini tidak mudah, Seno menegaskan Pemprov Kaltim akan berusaha menjaga keseimbangan. Di satu sisi, pemerintah pusat memiliki kebijakan yang harus ditaati. Di sisi lain, daerah harus memastikan masyarakat tidak dirugikan.
BALIKPAPAN, MAKSIMALKAN PAD
Pemerintah Kota (Pemkot) Balikpapan, tengah mempersiapkan langkah untuk memaksimalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) seiring dengan pemotongan dana transfer dari pusat.
Sekretaris Daerah Kota Balikpapan, Muhaimin, mengatakan bahwa fokus utama yang sedang digenjot yakni potensi pajak daerah, memperkuat sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM), dan mengembangkan ekosistem ekonomi berbasis event.
Proyeksi PAD terus diarahkan agar memberi kontribusi signifikan terhadap anggaran. “Target kami jelas, ketergantungan terhadap dana transfer harus berkurang. Pada 2025 masih sekitar 70 persen, tapi 2030 kami ingin tekan jadi 55 persen,” katanya, Senin (8/9/2025).
Salah satu terobosan yang dijalankan Pemkot adalah digitalisasi pengelolaan pajak dan retribusi. Langkah ini dilakukan agar sistem penerimaan lebih transparan, akurat, dan mudah diawasi. Digitalisasi juga mendukung pemasangan alat rekam transaksi di berbagai sektor usaha, mulai dari restoran hingga hotel.
“Dengan sistem ini, potensi kebocoran bisa ditekan dan kepatuhan wajib pajak meningkat,” tegas Muhaimin.
Selain pajak, penguatan UMKM menjadi prioritas untuk mendorong pertumbuhan PAD. Pemkot mengupayakan stimulus serta pembinaan agar pelaku UMKM lebih siap bersaing, terutama dalam menghadapi lonjakan permintaan ketika event berskala besar digelar di Balikpapan.
“UMKM harus ikut tumbuh sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi di kota ini,” tambahnya.
Balikpapan juga mengandalkan penyelenggaraan acara berskala nasional dan regional untuk menggerakkan sektor jasa, seperti perhotelan, transportasi, dan kuliner. Hampir setiap bulan, direncanakan ada event besar agar perputaran uang tetap tinggi.
“Semakin banyak event, semakin besar multiplier effect untuk ekonomi lokal. Ini otomatis meningkatkan PAD,” ujar Muhaimin.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025–2029, ia mengatakan bahwa PAD diproyeksikan tumbuh 11 persen setiap tahun. Kontribusi PAD yang saat ini 34,5 persen dari total pendapatan daerah, ditargetkan naik menjadi 40,7 persen pada 2026 mendatang.
Dari anggaran yang seharusnya mencapai Rp300 miliar hingga Rp400 miliar, baru masuk sekitar Rp99 miliar.
BERAU, INFRASTRUKTUR TERDAMPAK
Rencana pemerintah pusat memangkas alokasi dana Transfer ke Daerah (TKD) pada 2026 diprediksi akan berdampak langsung pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Berau.
Kebijakan tersebut dinilai bisa menghambat laju pembangunan infrastruktur dan mengurangi kapasitas fiskal daerah, mengingat mayoritas belanja daerah masih mengandalkan kucuran dana transfer dari pusat.
Dalam RAPBN 2026, alokasi dana TKD diproyeksikan hanya Rp650 triliun atau turun sekitar 29 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp919,9 triliun. Penyesuaian ini disebut sebagai bagian dari kebijakan prioritas nasional yang diarahkan pemerintah, terutama untuk mendukung sejumlah program unggulan.
Bagi Berau, kondisi ini jelas menjadi tantangan. Pada 2025, kabupaten berjuluk Bumi Batiwakkal tersebut menerima Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp3,4 triliun.
Angka itu meliputi Dana Alokasi Umum (DAU) Rp564 miliar, Dana Alokasi Khusus (DAK) Rp152 miliar, Dana Bagi Hasil (DBH) sekitar Rp2,5 triliun, Dana Desa Rp101 miliar, serta Dana Insentif Daerah (DID).
Sementara itu, nota kesepahaman Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) yang ditekan Pemkab Berau bersama DPRD pada Agustus lalu, memproyeksikan APBD 2026 sebesar Rp4,8 triliun. Namun, angka tersebut dinilai berisiko terkoreksi bila alokasi TKD benar-benar dipangkas.
Sekretaris Daerah (Sekda) Berau, Muhammad Said, menegaskan, pengurangan TKD tidak bisa dianggap sepele. Menurutnya, ketergantungan fiskal daerah terhadap transfer pusat masih tinggi sehingga setiap penurunan pasti berimbas pada kapasitas belanja daerah.
“Informasi mengenai pengurangan dana transfer memang belum final, tapi kita harus bersiap. Karena pembiayaan daerah semakin besar, sementara program prioritas nasional seperti makan bergizi gratis, sekolah rakyat, hingga koperasi merah putih sebagian besar juga dibebankan melalui APBD,” ujarnya, Rabu 3 September 2025.
Said menyebut, jika pemangkasan benar terjadi, langkah awal yang akan ditempuh adalah rasionalisasi belanja. Kebutuhan dasar pemerintahan seperti gaji dan tunjangan ASN hingga operasional kantor dipastikan tetap dijaga, meski dengan konsekuensi pengurangan kegiatan pembangunan fisik.
“Kita sudah pernah mengalami efisiensi, misalnya perjalanan dinas dan rapat koordinasi di luar daerah dihapuskan. Kalau skenario pengurangan kembali berlaku, maka pola efisiensi semacam itu kemungkinan terulang, bahkan bisa lebih luas,” katanya.
Meski masih menaruh optimisme, Said menegaskan sektor infrastruktur tetap akan menjadi korban pertama jika anggaran dipangkas.
“Kalau sampai pengurangan terjadi, otomatis proyek-proyek infrastruktur terdampak. Kita berharap dampaknya tidak terlalu besar karena ini akan memengaruhi kegiatan pembangunan yang selama ini berjalan,” ujarnya.
Ia menambahkan, Pemkab Berau akan menunggu kepastian dari pemerintah pusat, sembari menyiapkan strategi efisiensi dan prioritisasi belanja agar APBD 2026 tidak goyah.
“Optimisme tetap ada, tapi daerah harus bersiap sejak dini agar pelayanan publik dan pembangunan tetap berjalan meski ruang fiskal terbatas,” pungkasnya.
KUKAR, ANDALKAN PANGAN DAN PARIWISATA
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) mulai mengandalkan sektor ketahanan pangan dan pariwisata untuk mengurangi ketergantungan terhadap transfer dana pusat yang selama ini mendominasi struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) menegaskan, akan mengurangi ketergantungan pada transfer dana pusat dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2026. Hal itu menyusul turunnya proyeksi APBD menjadi Rp7,5 triliun, jauh lebih rendah dibanding Rp11,6 triliun pada 2025.
Bupati Kukar, Aulia Rahman Basri mengatakan, kondisi ini harus menjadi momentum besar untuk memperkuat Pendapatan Asli Daerah (PAD). Ia menilai selama ini APBD Kukar terlalu bergantung pada DBH sektor minyak dan batu bara yang sifatnya fluktuatif.
Menurutnya, langkah pertama yang dilakukan Pemkab Kukar adalah menggenjot PAD melalui optimalisasi berbagai sektor lokal. Mulai dari pariwisata, pertanian, perdagangan, hingga retribusi layanan publik akan dipetakan kembali untuk melihat potensi tambahan pemasukan.
“Target kita jelas, PAD harus kembali menyentuh angka di atas Rp1 triliun. Sekarang ini masih di bawah Rp500 miliar, jadi kita harus bekerja keras agar ada peningkatan signifikan,” ujarnya.
Aulia menegaskan, Pemkab Kukar akan menerapkan dua strategi utama untuk memperkuat PAD. Pertama, mendatangkan lebih banyak orang dari luar daerah agar membelanjakan uangnya di Kukar. Kedua, mendorong produk unggulan Kukar agar bisa dipasarkan ke luar daerah bahkan ke luar negeri.
“Jadi rumusnya cuma dua. Pertama, orang datang dan spending money di Kukar. Kedua, barang kita dibawa keluar daerah. Inilah yang akan memperkuat ekonomi lokal dan menaikkan PAD kita,” jelasnya.
Ia mengungkapkan, saat ini Pemkab sedang melakukan inventarisasi terhadap seluruh potensi ekspor dari desa, kelurahan, hingga kecamatan. Hasilnya nanti akan difokuskan pada pemasaran internasional melalui penerbangan langsung dari Balikpapan ke Singapura, Malaysia, hingga Brunei Darussalam.
“Kita ingin produk lokal bisa masuk ke pasar luar negeri, agar ekonomi desa terangkat dan pendapatan daerah bertambah,” tambahnya.
Selain itu, Pemkab juga akan menertibkan distribusi bahan bakar minyak (BBM) yang menggunakan delivery order (DO) atas nama Kukar. Hal ini dinilai sebagai potensi pendapatan besar yang belum dimaksimalkan selama ini.
“Sekarang kita dorong agar semua perusahaan di Kukar menggunakan kendaraan berpelat Kukar. Dana bagi hasil dari situ nilainya cukup tinggi, dan itu harus kita maksimalkan,” katanya.
Aulia menjelaskan, turunnya aktivitas produksi tambang membuat royalti yang diterima Pemkab melalui DBH menurun drastis. Oleh karena itu, Pemkab tidak lagi bisa mengandalkan sektor ekstraktif sebagai tulang punggung keuangan daerah.
“Memang struktur pendapatan kita ada tiga, yaitu PAD, dana bagi hasil, dan sumber lainnya. Ketergantungan kita masih tinggi pada DBH, padahal aktivitas tambang sudah menurun. Ini harus segera diubah,” tegasnya.
Pemkab juga menginstruksikan kepada seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) agar memetakan potensi masing-masing sektor yang bisa digali. Harapannya, PAD tidak lagi hanya bersumber dari pajak dan retribusi konvensional, tetapi juga dari peluang-peluang baru yang berbasis potensi lokal.
“Kalau desa semakin kuat secara fiskal, maka per kapita masyarakat juga kuat. Itu akan mendorong Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kukar naik,” pungkas Aulia.
Ketua DPRD Kukar, Ahmad Yani, menyatakan dukungannya terhadap langkah Pemkab untuk memperkuat PAD dan mengurangi ketergantungan pada transfer dana pusat. Ia menyebut bahwa proyeksi APBD 2026 yang sebesar Rp7,5 triliun memang menjadi tantangan tersendiri.
“Total penerimaan kita Rp7,5 triliun, dengan PAD hanya Rp737 miliar, sedangkan sisanya masih didominasi transfer pusat. Karena itu, strategi peningkatan PAD memang harus dipercepat,” ujarnya.
PPU
Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) telah mendengar dan mengetahui kabar dana transfer pusat ke daerah nominalnya mengalami penurunan.
Kepala Bapenda Kabupaten PPU, Hadi Saputro, mengatakan dalam nota keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 mengalami pengurangan dana transfer pusat ke daerah. Penurunannya mencapai 24,7 persen, yakni proyeksi alokasi Rp650 triliun dibandingkan 2025 dengan nilai Rp864,1 triliun.
“Berdasarkan pidato presiden dalam nota keuangan RAPBN pengurangan dana transfer. Memang ada pengalihan secara nasional terkait beberapa program prioritas presiden, seperti koperasi merah putih dan MBG (Makan Bergizi Gratis),” kata Hadi Saputro.
Sehingga alokasi APBN sebagian juga dialihkan untuk menyukseskan program Presiden Indonesia, Prabowo Subianto berjalan lancar. Dikatakannya, secara pasti akan berdampak kekuatan fiskal di daerah, karena dana transfer di daerah dikurangi.
Hanya saja untuk meningkatkan pendapatan, pemerintah daerah tidak dapat leluasa. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, jika pemerintah daerah diperbolehkan menarik pajak dan retribusi daerah.
“Kami di daerah tidak banyak diberi keleluasan menarik pajak. Hanya yang ada dalam sub-sub undang-undang diperbolehkan pajak dan retribusi,” terangnya.
Adapun kantung-kantung pajak atau retribusi daerah, antara lain, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), hotel, restoran, hiburan, reklame, penerangan jalan umum, parkir, air bawah tanah, sarang burung walet, pajak minerba, serta opsen Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). Dimana opsen PKB dengan skema bagi hasil yakni 66 persen menjadi hak kabupaten dan sisanya provinsi.
Bapenda menyebut, bahwa Kabupaten PPU masih bergantung pada suntikan dana transfer dari pusat, khususnya Dana Bagi Hasil (DBH). Jika hanya mengandalkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak akan kuat untuk kemandirian keuangan di daerah. Diinformasikan, PAD pada 2024 lalu mencapai Rp174 miliar, target 2025 sebesar Rp211 miliar.
Dengan situasi itu, dikatakannya harus cermat dalam menyajikan proyeksi terkait dana transfer. Sebab, bakal berimbas pada beberapa proyek strategis yang disusun kepala daerah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).
“Imbasnya ke mana-mana, apakah dari sisi belanja daerah. Dari sisi kebijakan RPJMD bupati yang baru disusun banyak program perioritas yang disampaikan, sementara secara nasional dana transfer mengalami penurunan, berimbaslah dengan beberapa proyek strategis,” terang Hadi.
Dihimpun berbagai sumber terpercaya, DBH Kabupaten PPU pada 2025 sebesar Rp965,58 miliar. “Untuk tahun depan secara pasti (nilainya) belum ada. Tunggu PMK (Peraturan Menteri Keuangan) dan KMK (Keputusan Menteri Keuangan),” pungkas Hadi.
KUTIM, PERTANYAKAN PEMANGKASAN
Isu pemangkasan anggaran daerah kembali menjadi perhatian serius. Kondisi ini dikhawatirkan akan berdampak langsung pada perekonomian daerah di tahun depan khususnya di Kabupaten Kutai Timur (Kutim), jika ditambah dengan ketidakpastian pasar ekspor batu bara.
Tahun 2026 bisa menjadi masa yang paling sulit bagi Kutim, apabila pemerintah daerah tidak memiliki strategi yang matang dalam menjaga stabilitas fiskal. Pasalnya, ketergantungan yang cukup tinggi terutama terhadap sektor pertambangan yang di nilai rawan terhadap permintaan global dan gejolak harga.
Wakil Bupati Kutai Timur (Kutim), Mahyunadi, menilai langkah pemangkasan akan berdampak langsung pada perekonomian daerah, khususnya di tahun 2026 mendatang.
“Ya, kalau memang pemangkasan anggaran ya kita kencangkan ikat pinggang. Karena namanya efisiensi, jadi kita akan melakukan hal-hal yang paling yang berguna,yang akan kita laksanakan. Yang paling bermanfaat itu yaitu standar pelayanan masyarakat, ini infrastruktur, kesehatan, pendidikan,” ucapnya, saat di temui di depan kantor Bupati, Senin 8 September 2025.
Mahyunadi mengaku, masih mempertanyakan alasan pemerintah pusat memangkas anggaran daerah. Pasalnya, mekanisme pembagian DBH, sebenarnya telah diatur dan dilindungi oleh undang-undang.
“Yang selanjutnya mungkin saya enggak tahu ini belum ada gambaran. Kenapa terjadi pemangkasan oleh pemerintah pusat? Sementara kan undang-undang bagi hasil bagi hasil itu kan dilindungi oleh undang-undang.”
“Jadi saya belum tahu itu kita ke depannya, mungkin kita juga perlu menyuarakan ke pusat agar tidak seenaknya pemerintah dengan pemangkasan itu tanpa perhitungan. Tanpa tiba-tiba dipangkas, Ini menyepelekan semangat undang-undang otonomi daerah,” jelasnya.
Ia juga menyoroti kondisi perekonomian nasional yang disebut pemerintah pusat sedang dalam tekanan. Namun, alasan tersebut perlu dijelaskan secara lebih terbuka kepada daerah.
“Kalau memang pendapatan di visa negara itu menurun, tapi ini kan kelihatannya batu bara juga masih menjadi primadona walaupun sempat harga turun,” lanjutnya.
“Kalau dulu kita sempat terpangkas tahun 2018, itu memang karena harga minyak dunia yang lagi kendor jadi kita terpangkas yaitu dimaklumi. Kalau sekarang belum jelas,” ungkap Mahyunadi.
Untuk menyikapi kebijakan tersebut, akan lebih dulu dibahas bersama internal pemerintah daerah.
PASER, TUNGGU PMK
Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Paser, Katsul Wijaya belum mengetahui pasti terkait rencana pemangkasan dana Transfer ke Daerah (TKD) dari pusat untuk tahun anggaran 2026.
Katsul Wijaya menjelaskan alokasi TKD dengan pertimbangan kondisi keuangan pemerintah pusat selama ini hanya melalui skema penyaluran kurang bayar DBH.
Dengan begitu, terkait kepastian dana TKD dari pusat, sampai saat ini pemerintah daerah masih menunggu terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
“Setahu saya yang ada terjadi ini penyaluran kurang bayar atau belum optimal, skemanya bukan pemangkasan, jadi angka yang seharusnya kami terima masih disalurkan,” kata Katsul Wijaya, Senin 8 September 2025.
Kepala Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD) Paser, Nur Asni belum bisa menjelaskan terkait proyeksi APBD 2026 sebelum terbitnya PMK untuk mengetahi kepastian nilai anggaran yang diterima.
Menurutnya, ketidakpastian fiskal yang terjadi saat ini akan berdampak pada kemampuan daerah dalam menyusun rencana anggaran. Dampaknya akan menggerus kemampuan fiskal di daerah.
“intinya total APBD Paser bisa saja berkurang dari nilai yang diproyeksikan,” kata Nur Asni.
Jika melihat dari nilai TKD yang diterima Paser pada tahun lalu mencapai Rp3 triliun dari total APBD sebesar Rp4,6 triliun, angka itu mengartikan Kabupaten Paser masih bergantung terhadap pendapatan transfer dari pusat.
Jika pemotongan TKD seperti yang membayang-bayangi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Timur (Kaltim) mencapai 50 persen juga terjadi di Paser, sehingga nominal yang akan diterima bisa jauh di bawah ekspektasi.
“Kami belum menerima informasi mengenai angka pasti TKD. Jadi kami tidak bisa menyampaikan berapa nilai anggaran yang akan diterima,” pungkasnya.
Kondisi ketergantungan dari pendapatan transfer pusat membuat pemerintah daerah harus bisa mencari jalan keluar agar mampu memenuhi kebutuhan fiskal di daerah.
Salah satunya dengan memaksimalkan sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang selama ini belum optimal yang hanya mengandalkan sumber retribusi dan pajak daerah.
Untuk diketahui, proyeksi PAD Paser 2025 sebesar Rp314 miliar. Angka itu, lebih rendah atau rendah dari PAD 2024 dengan nilai Rp348 miliar. Sementara pada 2026, proyeksi PAD sebesar Rp307 miliar. (MAYANG/ CHANDRA/AZWINI/RIZAL/ARI/AWAL/SAKIYA/SAHRUL)












