Belum Maksimal Manfaatkan Blue Carbon

ilustrasi  terumbu karang

PEMERINTAH Kabupaten (Pemkab) Berau hingga kini belum memanfaatkan potensi karbon biru (blue carbon) yang dapat memberikan manfaat berupa insentif ekonomi. Karbon biru, yang berasal dari ekosistem laut dinilai mampu menjadi sumber pendapatan tambahan bagi daerah.

Sekretaris Dinas Perikanan (Diskan) Berau, Yunda Zuliarsih menyampaikan, konsep blue carbon sangat penting untuk menjaga kelestarian ekosistem laut di Kabupaten Berau. Menurutnya, potensi karbon biru berasal dari ekosistem terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Selama ekosistem ini tetap terjaga dengan baik, karbon yang dihasilkan bisa signifikan.

“Namun, saat ini kita belum sepenuhnya mampu menghitung kontribusi karbon dari ketiga ekosistem tersebut,” ujarnya, Minggu (22/12/2024)

Yunda juga menekankan bahwa karbon biru berperan mendukung ekonomi biru (blue economy), yaitu pemanfaatan sumber daya laut secara berkelanjutan dan bijaksana. Dalam konsep ini, ekosistem laut seperti ikan, terumbu karang, dan mangrove dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengabaikan kelestarian lingkungan.

Ekosistem yang sehat, seperti mangrove dan padang lamun, memiliki kemampuan besar menyerap karbon, yang kemudian disebut sebagai karbon biru. Dengan menjaga keberlanjutan ekosistem laut, ekonomi biru dapat berkembang. Karbon biru juga memainkan peran penting dalam mitigasi perubahan iklim sekaligus memberikan insentif yang memperkuat perekonomian daerah.

“Pemanfaatannya meliputi penangkapan ikan yang berkelanjutan, budidaya tambak yang sesuai aturan, serta pengelolaan sumber daya alam laut untuk bahan alami,” jelas Yunda.

Ia menambahkan, pihaknya juga memberdayakan masyarakat pesisir melalui pelatihan untuk ibu-ibu nelayan dan kerajinan tangan yang memanfaatkan sumber daya laut, seperti penggunaan kerang laut.

Yunda menegaskan, tiga ekosistem utama yakni terumbu karang, mangrove, dan padang lamun dapat memberikan kontribusi karbon yang besar. Namun, pengembangan ekonomi biru juga harus memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan, termasuk penangkapan ikan ramah lingkungan dan budidaya sesuai pedoman.

Saat ini, karbon biru belum dapat diperdagangkan langsung. Namun, ada wacana untuk mengembangkan program kerja sama dengan Negara Seychelles, yang menggabungkan pariwisata dengan pemanfaatan karbon biru. Kerja sama ini diharapkan mampu membantu menghitung potensi karbon dari ekosistem laut di Berau.

“Meski begitu, ada tantangan yang harus dihadapi, seperti penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, termasuk jaring yang merusak terumbu karang dan racun,” jelas Yunda.

Ia juga menyebutkan bahwa masih ada tambak di pesisir yang tidak sesuai pedoman Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 tentang cara budi daya yang baik. Beberapa tambak terlalu dekat dengan sungai dan tidak memiliki zona penyangga yang memadai. Selain itu, penggunaan pupuk dan obat-obatan yang tidak ramah lingkungan juga masih ditemukan.

“Masalah lain adalah keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia untuk mengelola potensi ini secara optimal,” tambahnya.

Kendati demikian, Yunda optimistis bahwa dengan upaya yang tepat, pengembangan ekonomi biru dan karbon biru di Berau dapat tercapai. Langkah konkret seperti patroli kelautan untuk melindungi terumbu karang dan pengembangan tambak ramah lingkungan telah dilakukan.

“Dengan dukungan Tim Percepatan Pembangunan Maratua, kami berharap bisa mendapatkan insentif sekaligus memperkuat ekonomi biru di Kabupaten Berau,” tuturnya.

Ia juga menyebutkan bahwa perhitungan karbon biru di laut lebih kompleks dibandingkan di darat. Dengan luas laut sekitar 1,2 juta hektare dan mangrove seluas 89 hektare, Berau memiliki potensi besar untuk pengelolaan karbon biru.

“Semoga dengan upaya yang terus dilakukan, ekosistem laut Berau semakin terjaga dan mendukung pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan di masa depan,” pungkasnya. (RIZAL)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *