Keluhan penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax, belum juga mereda. Justru bertambah, ada indikasi bahwa terdapat campuran air dalam kandungannya. Yang diduga membuat kendaraan rusak.
Sejumlah pengendara mengaku mengalami penurunan performa kendaraan, usai mengisi bahan bakar tersebut. Motor yang tiba-tiba mati, mobil yang tarikannya melemah, hingga mesin yang terasa brebet menjadi keluhan umum yang banyak dibagikan di media sosial maupun komunitas otomotif.
Salah seorang yang mengalami kejadian serupa adalah Bagus Muliawan, direktur laboratorium lingkungan swasta di Samarinda.
Lulusan Sarjana Kimia Murni Universitas Mulawarman tahun 2013 ini pun ikut mempertanyakan ada apa dengan kualitas Pertamax belakangan ini.
“Saya juga mengalami masalah yang sama. Mobil saya usianya baru satu tahun dan rutin saya isi Pertamax. Tapi belakangan ini, saat di-starter terasa brebet, nyendat-nyendat. Saya penasaran dan coba cek sendiri filter BBM-nya. Ternyata ada kandungan air di dalamnya,” ungkap Bagus Muliawan, Sabtu (29/3).
Menurut pria yang memiliki latar belakang riset di bidang biodiesel, dan telah berkecimpung di dunia laboratorium lingkungan selama 13 tahun ini, seharusnya bahan bakar memiliki standar mutu yang ketat sebelum dipasarkan ke masyarakat.
Berdasarkan standar yang dikeluarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) serta Direktorat Jenderal Minyak dan Gas (Dirjen Migas) sejak tahun 2006, ada sekitar 23 parameter yang harus dipenuhi agar BBM layak digunakan.
“Setiap jenis BBM, termasuk Pertamax, memiliki spesifikasi tertentu untuk menjamin kualitasnya. Ada sekitar 23 parameter yang diuji di laboratorium. Sayangnya, kontrol kualitas ini sepertinya tidak sampai ke tangan konsumen. Padahal, masyarakat yang membeli Pertamax sudah mengeluarkan uang lebih dan seharusnya mendapatkan jaminan mutu yang lebih baik,” jelasnya.
Salah satu hal yang disoroti oleh Bagus, adalah lemahnya pengawasan kualitas BBM di tingkat Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Ia menduga, bahwa kontrol kualitas Pertamina hanya dilakukan hingga terminal BBM, yakni tempat pencampuran aditif sebelum BBM didistribusikan ke berbagai SPBU. Setelah sampai di SPBU, pengawasan terhadap kualitas bahan bakar cenderung longgar.
“Sejauh yang saya tahu, Pertamina hanya memeriksa kuantitas BBM di SPBU, memastikan apakah benar satu liter tetap satu liter. Tapi bagaimana dengan kualitasnya? Itu yang saya pertanyakan. Seharusnya ada pengecekan terhadap tangki BBM di setiap SPBU, karena banyak faktor yang bisa menyebabkan BBM tercampur air, mulai dari tangki di SPBU, truk pengangkut, hingga pipa penyalur,” katanya.
Ketika ditanya, bagaimana bisa mengetahui adanya kandungan air dalam Pertamax yang digunakannya, Bagus mengungkapkan bahwa melakukan pemeriksaan secara kasat mata dengan melihat kondisi filter BBM kendaraannya.
Meskipun belum dilakukan uji laboratorium yang lebih mendalam, indikasi kehadiran air dalam bahan bakar cukup terlihat jelas.
“Saya melihatnya secara kualitatif saja. Kalau mau diuji lebih lanjut, tentu butuh laboratorium yang lebih kompeten, seperti laboratorium ESDM atau Pertamina. Tapi secara kasat mata, kandungan airnya cukup terlihat,” katanya.
Bagus menegaskan bahwa masalah ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Jika memang terjadi penurunan kualitas Pertamax di banyak tempat, seharusnya ada investigasi lebih lanjut dari pihak berwenang, baik dari Pertamina maupun lembaga terkait lainnya.
Terakhir, ia menyampaikan, bahwasannya konsumen pun berhak mendapatkan kejelasan mengenai kualitas bahan bakar yang mereka gunakan, terutama bagi mereka yang mempercayakan kendaraan mereka pada bahan bakar non-subsidi dengan harga lebih tinggi.
MASALAH RON PADA PERTAMAX
Sejumlah pengendara motor dan mobil yang terbiasa menggunakan bahan bakar beroktan 92 itu mengeluhkan performa kendaraan mereka yang justru menurun setelah mengisi Pertamax.
Bagus Muliawan, memberikan pandangannya terkait fenomena ini. Dengan latar belakangnya sebagai ahli kimia yang pernah meneliti biodiesel berbasis katalis logam, ia menyoroti aspek teknis bahan bakar yang mungkin menjadi penyebab keluhan para pengguna Pertamax.
Bagus melihat, bahwa masalah ini lebih dari sekadar perbedaan angka Research Octane Number (RON) antara Pertamax dan Pertalite.
“RON itu tidak berpengaruh terhadap kerusakan mesin. RON hanya mempengaruhi rasio kompresi kendaraan. Kalau Pertamax dengan RON 92 dan Pertalite 90, selisihnya memang ada, tetapi itu bukan faktor utama yang menyebabkan kendaraan bermasalah,” jelas alumni Universitas Mulawarman itu.
Sebagai contoh, selisih RON antara Pertalite (90) dan Pertamax (92) sebenarnya tidak terlalu besar, sehingga seharusnya tidak menyebabkan perbedaan signifikan dalam performa kendaraan.
“Penggunaan RON tergantung dari kebutuhan piston dan ukuran diameter silinder, semakin panjang langkah piston maka membutuhkan RON yang lebih tinggi untuk menghasilkan pembakaran yang sempurna,” tambahnya.
Menurutnya, masalah utama yang harus diperhatikan adalah kebersihan bahan bakar serta kadar air yang terkandung di dalamnya.
“Walaupun RON tinggi, tapi kalau bahan bakarnya kotor atau bercampur dengan air, tetap saja bisa merusak mesin,” tegas Bagus.
Bagus juga menyoroti, isu yang berkembang di media sosial, di mana beberapa pengguna Pertamax menguras tangki kendaraannya setelah pemakaian satu tahun dan menemukan endapan kotoran yang cukup signifikan.
“Beberapa influencer sudah membahas ini, banyak video di YouTube dan media sosial yang menunjukkan kondisi tangki mereka setelah menggunakan Pertamax dalam kurun waktu satu tahun ini,” katanya.
Lebih lanjut, Ia menyinggung dugaan bahwa Pertamax yang beredar di pasaran telah mengalami pencampuran atau blending dengan bahan bakar beroktan lebih rendah seperti Pertalite.
Namun, yang paling disesalkan olehnya adalah lemahnya pengawasan terhadap kualitas bahan bakar setelah keluar dari Terminal BBM.
“Saya rasa Pertamina hanya melakukan quality control sampai di terminal BBM yang menjadi pusat blending dan penambahan aditif. Seharusnya pengawasan tetap berlanjut sampai ke SPBU dan akhirnya ke tangan konsumen,” ujarnya.
Sebagai konsumen yang memahami spesifikasi bahan bakar, Bagus berharap ada jaminan mutu yang lebih baik bagi pengguna Pertamax.
“Konsumen kelas menengah ke atas yang menggunakan Pertamax sudah membayar lebih mahal, seharusnya mereka mendapatkan bahan bakar dengan kualitas yang layak,” pungkasnya.(ghatan/arie)