Wanti-Wanti Dampak Perang

Perang di Timur Tengah bukan berarti tak berdampak kemana-mana, perekonomian Indonesia pun bisa terdampak.

Dalam kurun waktu beberapa minggu ini, dunia perekonomian global tengah dilanda kekhawatiran besar usai konflik militer Iran dan Israel kembali memuncak.Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga turut mewanti-wanti dampak yang akan ditimbulkan oleh konflik ini kepada perekonomian Indonesia.

Bukan tanpa alasan. Pasalnya, masalah konflik Iran-Israel yang saat ini tengah berlangsung bukan hanya seputar konflik regional, melainkan potensi krisis ekonomi global yang serius.

Selain itu menurut Ekonom sekaligus Pakar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, peristiwa ini bisa saja awal dari eskalasi yang akan berkembang jauh meluas lintas area, dan bisa jadi ini perang antar regional bahkan perang skala global.

“Masalah yang kita hadapi bukan hanya seputar konflik regional, melainkan potensi krisis ekonomi global yang serius. Ini adalah dentuman keras yang mengguncang fondasi perekonomian global yang sudah rapuh, dan secara langsung, perekonomian nasional kita,” pungkas Achmad ketika dihubungi oleh Disway, pada Rabu 18 Juni 2025.

Achmad menambahkan bahwa salah satu dampak yang diprediksi akan terjadi adalah terjadinya kemunduran dalam investasi. Dalam hal ini, ketika ketegangan geopolitik meningkat, investor cenderung menarik diri dari aset-aset berisiko dan mencari perlindungan.

“Pada Jumat 13 Juni 2025, pasar dibuka dengan penurunan tajam dan terus berada di bawah tekanan. Dow Jones Industrial Average turun lebih dari 500 poin, atau sekitar 1,3 persen. S&P 500 turun hampir 1 persen, sementara Nasdaq-100 anjlok sekitar 1,1 persen dengan saham teknologi besar seperti Nvidia dan Tesla memimpin penurunan,” jelas Achmad.

Sebaliknya, saham -saham energi seperti ExxonMobil, Chevron, dan BP mengalami kenaikan bersamaan dengan harga minyak mentah, menunjukkan pergeseran fokus investor.

“Jika investasi asing langsung (FDI) yang menjadi motor penggerak pertumbuhan tersendat karena ketidakpastian global yang meningkat dan investor memilih menunda ekspansi, maka lapangan kerja yang bisa tercipta akan berkurang,” tambahnya.

Tidak hanya itu, bahwa proyeksi ekonomi Indonesia untuk tahun 2025 sudah berada di level 4,7 persen dan diprediksi akan mencapai 4,5 persen dan sulit melampaui angka ini, bahkan cenderung menurun ke level 4.0 persen.

Menurutnya, angka ini, yang sejatinya sudah merupakan sebuah tantangan di tengah pemulihan pasca-pandemi dan tekanan inflasi global, kini terancam semakin tertekan oleh gejolak eksternal yang diakibatkan oleh konflik di Timur Tengah.

“Pendapatan keluarga bergantung pada stabilitas pekerjaan dan harga-harga yang wajar di pasar. Jika harga kebutuhan pokok melambung karena kenaikan harga minyak, daya beli keluarga akan terkikis, inflasi domestik akan melonjak, dan beban hidup masyarakat akan meningkat secara signifikan,” tutur Achmad.

Menurutnya, hal ini berarti memastikan stabilitas harga di dalam negeri dengan kebijakan moneter dan fiskal yang pruden, menjaga daya beli masyarakat melalui program bantuan sosial yang tepat sasaran atau penyesuaian upah yang seimbang, dan menciptakan iklim investasi yang kondusif dengan memangkas birokrasi serta memberikan insentif yang menarik.

“Pemerintah harus memiliki skenario darurat yang komprehensif untuk mengatasi lonjakan harga minyak dan komoditas lainnya, mungkin dengan subsidi yang terarah atau kebijakan fiskal yang fleksibel dan responsif terhadap perubahan kondisi pasar,” ujarnya.

Selain itu, Achmad juga turut menambahkan bahwa diversifikasi dan adaptasi juga diperlukan untuk menghadapi dampak dari konflik Iran-Israel.

“Jika ketergantungan pada satu sumber energi atau satu rantai pasok terlalu tinggi, maka risiko akan semakin besar,” kata  Achmad.

Dalam hal ini, Pemerintah juga perlu terus mencari alternatif energi terbarukan, memperkuat rantai pasok domestik untuk mengurangi ketergantungan impor, dan mengembangkan sektor-sektor ekonomi yang lebih resilient terhadap gejolak eksternal, seperti ekonomi digital atau industri pengolahan dengan nilai tambah tinggi.

“Inisiatif hilirisasi perlu dipercepat untuk mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah dan menciptakan nilai tambah di dalam negeri,” ucap Achmad.

“Kita tidak bisa menghentikan badai, tetapi kita bisa mempersiapkan kapal kita agar lebih kokoh, mengencangkan sabuk pengaman, dan merancang strategi pelayaran yang lebih adaptif. Fokus kita bukan pada data teknis yang rumit, melainkan pada pesan inti: kita harus siap menghadapi gelombang badai ini dengan kebijakan yang cerdas dan kolaborasi yang kuat,” tambahnya.(disway.id/arie)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *