Uang Kuliah Tunggal (UKT) saat ini, menjadi beban, karena mengalami kenaikan. Namun, hal tersebut dianggap sudah adil, berdasarkan kelompoknya.
Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Stella Christie memaparkan bagaimana penerapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang saat ini masih menjadi polemik di masyarakat.
Pasalnya, kebijakan UKT ini masih belum menjawab upaya pemerintah dalam memberikan keadilan bagi seluruh masyarakat dalam mengakomodasi pendidikan.
Biaya kuliah yang mahal masih menjadi tantangan bagi keluarga kurang mampu, meski penetapan golongan UKT telah disesuaikan dengan kemampuan ekonomi. Sementara itu, Stella mengaku telah mempelajari dan menganalisis data penerapan kebijakan UKT ini.
Menurutnya, kebijakan-kebijakan kementerian telah menuju ke arah keadilan. “Berbicara tentang keadilan, sebenarnya sudah ada kebijakan-kebijakan yang dilakukan kementerian yang sungguh ingin ke arah keadilan,” ungkap Stella di Jakarta, 30 Oktober 2024.
Ia menyebut sebagai contohnya, UKT dikelompokkan menjadi beberapa golongan dengan besaran paling rendah, menengah, hingga tinggi.
“Dan seperti yang para rekan-rekan ketahui bahwa UKT itu dibagi dua untuk yang memilih atau untuk yang jalur yang afirmasi,” tambahnya.
Ia mengungkap, bahwa 24,4 persen mahasiswa membayar kelompok UKT terendah dengan besaran Rp500 ribu-Rp1 juta.Sementara di kelompok UKT menengah, ini adalah 69,7 persen. Dan di kelompok UKT tinggi, hanya 5,9 persen.
Meski belum meraih hasil ideal, menurutnya, hal ini sudah mengarah kepada keadilan sehingga menyeluruh kepada keluarga dari berbagai macam bidang ekonomi sosial. Selain jalur afirmasi, ia juga menyoroti UKT khusus untuk program undangan berprestasi.
“Kalau kita bandingkan antara UKT keseluruhan dan UKT program undangan berprestasi, berarti ini untuk yang lebih berprestasi, ada tingkat lebih tinggi dari UKT rendah.”
Pada kedua jalur tersebut terdapat perbedaan sebesar 5 persen untuk UKT terendahnya. Dan kelompok UKT tinggi untuk undangan berprestasi, untuk masuk kuliah berprestasi, itu hanya 3,7 persen.
Dengan kata lain, lanjutnya, anak-anak akan mendapatkan kekhususan mendapatkan UKT serendah-rendahnya, berdasarkan kemampuan ekonominya. Lebih lanjut, ia menghubungkan bagaimana penerapan UKT berkeadilan ini masih tetap menunjang pengembangan pendidikan lebih berkualitas. Dalam hal ini, tentu perlu biaya yang tidak sedikit.
Namun demikian, kondisi saat ini adalah UKT masih menjadi pemasukan utama perguruan tinggi. “Keadaan yang terjadi adalah pada sementara ini, pemasukan nomor satu untuk pendidikan tinggi, dengan kata lain, untuk menggaji dosen dengan layak, itu masih dari UKT.”
Ia pun menegaskan perlunya melihat permasalahan dalam suatu sistem secara menyeluruh. Termasuk selisih antara Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dengan UKT.
“Karena biaya kuliah tunggal adalah biaya yang diperlukan untuk melakukan kuliah itu dengan sebaik-baiknya. Sedangkan UKT adalah yang dibayarkan oleh mahasiswanya,” tegasnya.
Disebutkannya, terdapat selisih dengan BKT yang lebih besar dibanding UKT. Lulusan Harvard University itu, menegaskan, BKT yang lebih tinggi dari UKT adalah sesuatu yang bagus, begitu pula sebaliknya.
“Kita tidak mau menjadi kebalikan, bahkan kita tidak mau menjadi sama. Kalau sama itu berarti semuanya dibayar at cost.”
Sebagai contoh di Prodi Ilmu Hukum Universitas Indonesia yang selisih antara BKT dan UKT sebesar Rp5 juta dengan BKT lebih besar dibanding UKT. Namun begitu, ia menyadari UKT dan BKT masing-masing prodi dan universitas berbeda-beda.
“Ini akan saya hitung kembali datanya secara keseluruhan supaya kita sungguh-sungguh mengetahui kedalaman masalah ini, dan bisa menetapkan UKT yang sungguh berbasis keadilan, keadilan yang juga menjunjung kualitas agar supaya agile setiap orang Indonesia bisa mendapatkan pendidikan tinggi yang berkualitas,” pungkasnya. (disway.id/arie)