Politik dinasti terus membayang-bayangi Kalimantan Timur (Kaltim), tiap kali berlangsungnya kontestasi pilkada. Lantas, apakah hal itu buruk?
Berdasar data yang dihimpun, terdapat tujuh dinasti politik yang mengakar sejak periode 2016-sekarang. Faktor penyebabnya beragam. Akademisi Fahukum Unmul Herdiansyah Hamzah membeber beberapa di antaranya.
Pertama, keberadaan partai politik yang tidak demokratis. Dalam pengambilan keputusan, parpol cenderung dimonopoli kelompok tertentu.
“Kemudian gagalnya partai politik menjalankan fungsinya dalam proses rekrutmen dan kaderisasi,” jelas Herdi, Rabu 9 Oktober 2024.
Hal lainnya, adalah minimnya kapasitas partai politik dalam membangun kemandirian keuangan mereka. Hal ini tentu memberikan ruang bagi kelompok yang memiliki sumber daya finansial yang matang, untuk mendominasi ruang gerak partai. Herdy menyinggung hampir semua partai politik dikuasai oleh kelompok oligarki. Di mana mereka memang matang, dan mapan secara ekonomi.
Faktor selanjutnya, adalah regulasi yang memberikan keringanan bagi para pelaku dinasti politik, untuk berkonsolidasi.”Adanya mahar pencalonan yang hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki sumber daya finansial memadai. Inilah yang memberikan ruang konsolidasi bagi dinasti politik untuk leluasa bergerak,” ujarnya.
Kemudian, rendahnya kesadaran politik masyarakat untuk mengkritisi hal ini. Akibatnya tidak ada kontrol sosial terhadap dominasi klan politik tertentu. “Logika sederhananya, dinasti politik akan terus menguat, seiring dengan lemahnya kontrol publik,” singgungnya.
Dalam perjalananya, politik dinasti di Kaltim seringkali berakhir dengan nasib yang tidak baik. Korupsi salah satunya. Tertangkapnya tiga klan dinasti politik di Kaltim oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI, menandakan bahwa praktik ini tidak selalu baik. Herdi mencontohkan satu per satu. Mulai dari kasus mantan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Timur Ismundar, hingga mantan Bupati PPU Abdul Gafur Mas’ud.
“Ini sudah mengonfirmasi betapa rentannya dinasti politik terhadap praktik korupsi, Dinasti politik dan korupsi memiliki korelasi yang kuat.”
Memang katanya tidak semua politik dinasti di Kaltim berakhir dengan tindakan korupsi. “Namun dinasti politik condong destruktif dengan menciptakan ketimpangan yang tajam, serta melapangkan jalan terjadinya tindak pidana korupsi,” sambungnya.
Kritikan terkait dinasti politik, juga diutarakan Aktivis Muda Kaltim Andi Muhammad Akbar. Ia menyebut jika kontestasi pilkada khususnya Pilgub Kaltim dikuasai para pelaku dinasti, dipastikan tidak akan bekerja secara profesional.
“Dinasti politik ini tak menyehatkan untuk demokrasi. Dengan adanya dinasti politik, akan rawan konflik kepentingan dan membuat tidak bisa profesional kala menjabat,” jelasnya.
Memang di kontestasi Pilgub Kaltim, keberadaan kandidat Rudy Mas’ud paling disorot. Kakak Rudi, Hasanudin Mas’ud saat ini menjabat sebagai Ketua DPRD Kaltim. Tak sampai di situ, dua saudara lainnya juga menjadi pejabat, yakni Rahmad Mas’ud sebagai Wali Bota Balikpapan. Ada juga Abdul Gafur Mas’ud sebagai mantan Bupati PPU, yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ia khawatir kualitas demokrasi bisa menurun dengan dinasti politik ini. “Kepentingan kelompok yang akan diutamakan. Akan berpengaruh tentunya untuk kepentingan rakyat banyak,” sesalnya.
Andi menegaskan juga, jika dinasti politik diterapkan, pembangunan Kaltim bisa terganggu. “Karena yang akan diutamakan adalah kelompoknya sendiri. Sementara di sisi lain, kepentingan masyarakat menjadi tersisihkan. Akhir dari semuanya lagi-lagi masyarakatlah yang menjadi korbannya,” pungkasnya.
Sayangnya Rudy Mas’ud belum berhasil dihubungi. Awak media ini mencoba menghubungi namun tidak direspons.(bayong/arie)