Curiga Jadi Transaksi Politik

Picu Pasar Gelap Izin Tambang

Soal Ormas Boleh Kelola Tambang 

Kebijakan organisasi masyarakat (ormas) keagamaan, boleh mengelola tambang menjadi polemik belakangan ini. Ada yang setuju, dan ada yang tidak.

Anggota Fraksi PKS DPR RI Mulyanto mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memprioritaskan Ormas keagamaan untuk kelola tambang mineral dan batubara (minerba).

Mulyanto meragukan manfaat pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) kepada sejumlah ormas.

“Sekarang saja persoalan tambang ilegal sudah seperti benang kusut. Belum lagi dugaan adanya beking aparat tinggi yang membuat berbagai kasus jalan di tempat. Sementara pembentukan Satgas Terpadu Tambang Ilegal sampai hari ini tidak ada kemajuan yang berarti, semua masih jadi PR yang harus diselesaikan,” kata Mulyanto dalam keterangannya, Selasa, 4 Juni 2024.

Anggota Komisi VII DPR RI ini melihat Presiden gagal menentukan skala prioritas kebijakan pengelolaan minerba. “Saat ini yang dibutuhkan adalah penguatan instrumen pengawasan pengelolaan tambang minerba bukan bagi-bagi izin. Saat ini saja dua orang mantan Dirjen Minerba jadi tersangka, bahkan terpidana. Dan sampai hari ini Dirjen Minerba belum ada yang definitif,” ungkap Mulyanto.

Artinya, kata Mulyanto, Pemerintah tidak serius mengelola pertambangan nasional. Pemerintah masih menjadikan IUPK sebagai komoditas transaksi politik dengan kelompok-kelompok tertentu.

“Saya sudah baca revisi PP Minerba yang baru saja ditandatangani Presiden. Memang tertulis, bahwa yang diberikan prioritas IUPK adalah ‘badan usaha’ yang dimiliki ormas keagamaan. IUPK prioritas diberikan kepada badan usaha, bukan kepada Ormas Keagamaan itu sendiri,” terang Mulyanto.

Saat ini menurutnya, yang sebetulnya dibutuhkan adalah penguatan instrumen pengawasan pengelolaan tambang minerba. “Bukan bagi-bagi izin. Saat ini saja dua orang mantan Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara menjadi terpidana. Sampai hari ini Dirjen Minerba belum ada definitif,” ucapnya.

Namun dalam sudut pandang politik, upaya ini sangat kentara motif untuk bagi-bagi kue ekonominya.  “Jadi perlu dipantau dipelototi betul nanti kinerja badan usaha tersebut. Apakah benar-benar profesional dalam menjalankan RKAB tambangnya dengan baik, lalu berkontribusi bagi peningkatan penerimaan keuangan negara (PNBP). Atau menjadi sekadar badan usaha abal-abal, perusahaan ali-baba. Di depan Ormas keagamaan di dalamnya perusahaan yang itu-itu juga,” terang Mulyanto.

“Saya sendiri pesimistis tapi kita lihat saja nanti. Ujung-ujungnya di lapangan, siapa yang sesungguhnya mengelola badan usaha tambang tersebut. Apakah benar-benar pemain baru profesional atau pengusaha yang itu-itu juga, yakni pengusaha eks PKP2B atau afiliasinya. Termasuk juga jumlah saham sesungguhnya, berapa jumlah saham ormas tersebut secara riil. Apakah benar-benar menjadi saham pengendali atau sekedar nama saja,” tandasnya.

JATAM KALTIM MERESPONS

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim, merespon terkait Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 tahun 2024, tentang izin tambang bagi ormas keagamaan.

Menurut Jatam, kasus-kasus tambang di Kaltim masih banyak yang belum terselesaikan, sehingga jangan ditambah lagi dengan regulasi ini. Saat ini, tercatat 49 nyawa menjadi korban lubang galian tambang di Kaltim yang tidak direklamasi.

Belum lagi dengan kasus yang berdampak pada lingkungan di Bumi Etam. “Tidak adanya pemulihan kawasan pasca tambang di Kaltim yang memuaskan, masih banyak kasus-kasus yang terjadi mulai dari dampak buruknya terhadap lingkungan, hingga memakan korban jiwa. Hal ini saja masih belum dapat terselesaikan dengan baik, terkhusus di Kaltim,” ungkap Dinamisator Jatam kaltim, Mareta Sari.

Sebelumnya, Pemerintah memberikan IUP ke organisasi kemasyarakatan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 tahun 2021 tentang pelaksanaan usaha pertambangan mineral dan batu bara.

Kemudian, Presiden Jokowi melanggengkan lewat Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dan ditetapkan pada 30 Mei 2024 berlaku efektif pada tanggal diundangkan.

Dengan kondisi Kaltim yang sudah menjamur konsesi tambangnya, dapat menimbulkan konflik horizontal di kalangan masyarakat, ditambah ketika negara turut mengobral habis-habisan ruang hidup di Kaltim.Hal tersebut berpotensi dapat membuat masalah diatas konflik yang belum terselesaikan.

“Perusahan-perusahan besar yang memang bergerak di bidang pertambangan saja, masih ada yang belum beres menyelesaikan persoalan tambang ini. Jangan ditambah lagi dengan regulasi ini,” tegasnya.

Karena sampai sejauh ini, upaya Jatam dalam mengadvokasi masih banyak yang belum dapat terselesaikan. Selain itu, Mareta melihat kebijakan ini sebagai langkah yang diambil oleh presiden untuk menjaga kroni-kroninya agar tetap setia, meskipun tidak lagi menjabat sebagai RI 1.

“Sejauh ini dari pengalaman saya, ketika melihat fenomena obral izin pertambangan di Kaltim. Biasanya terjadi mendekati waktu-waktu Pemilu. Kalau sebelum Pemilu disebut dengan Ijon Politik dan kalau sesudah disebut Politik balas budi,” terang Mareta.

Dirinya menilai, regulasi ini juga dapat menimbulkan konflik horizontal baru, mengingat efek dari peraturan ini bisa menjadi sebuah pusaran konflik baru di tengah-tengah masyarakat.

“Saya melihat dari kebijakan ini, bisa menghasilkan suatu pusaran konflik baru antar rakyat dengan rakyat, bahkan dengan yang seiman sekalipun bisa terbentur akibat kebijakan ini,” pungkasnya.(DISWAY.ID/ARIE)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *