Soal Rencana Larangan Jurnalistik Investigasi
DPR RI menginisiasi peraturan yang mengharamkan atau melarang penayangan hasil liputan investigasi.
Larangan ini termaktub dalam draf Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 32 Tahun 2002 yang saat ini dalam pembahasan Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. Tepatnya pada pasal 50 B ayat 2 huruf c yang melarang penayangan eksklusif jurnalisik investigasi.
Rencana ini kontan memantik protes dari sejumlah organisasi pers seperti Aliansi Jurnalistik Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), termasuk Dewan pers.
Dewan Pers tegas menolak Revisi Undang-Undang (RUU) No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang digodok oleh DPR RI.
“Kita menolak draf ini, karena pertama ada ada pasal yang memberikan larangan pada media investigatif,” kata Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu dalam konferensi pers di Jakarta, pada Selasa (14/5/2024).
Menurut Ninik, pelarangan terhadap media investigatif bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang tidak mengenal sensor dan pelanggaran penyiaran terhadap karya jurnalistik berkualitas.
“Penyiaran media investigatif itu adalah satu modal kuat dalam karya jurnalistik professional,” tegasnya.
Ninik juga mengatakan, selama ini sudah ada mekanisme penyelesaian sengketa pers melalui lembaga yang berwenang, yakni Dewan Pers. Sehingga tidak ada urgensi revisi UU Nomor 32 Tahun 2002 untuk melarang jurnalistik investigatif.
Ninik menyayangkan Pasal 25 Ayat 1 Huruf q, RUU Nomor 32 Tahun 2002 malah memberikan kewenangan penyelesaian sengketa pers kepada lembaga yang tak punya mandat, yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
“Soal penyelesaian sengketa jurnalistik di dalam RUU ini dituangkan penyelesaian itu justru akan dilakukan oleh lembaga yang sebetulnya tidak punya mandat penyelesaian etik dalam karya jurnalistik,” ujar Ninik.
Ninik menegaskan, mandat penyelesaian etik jurnalis ada di Dewan Pers, yang diatur dalam UU Pers.
Sementara itu, protes juga datang dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sekretaris Jenderal (Sekjen) AJI, Bayu Wardhana menilai, RUU ini bisa dimaknai sebagai upaya pembungkaman pers.
Bayu mengkhawatirkan RUU ini nantinya berdampak pada kualitas berita yang ditayangkan di televisi dan radio. Alih-alih berita yang kritis, masyarakat nanti hanya akan disuguhi berita-berita seremonial. “Ini sungguh aneh, mengapa di penyiaran tidak boleh ada investigasi?” ujar Bayu Wardhana.
Sebagai informasi, selain larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, draf RUU Penyiaran terbaru juga melarang 10 siaran konten yang dinilai tidak sesuai dengan Standar Isi Siaran (SIS). Aturan ini tertuang dalam pasal 50 B Ayat 2.
Di antaranya, dilarang menayangkan isi dan konten siaran yang mengandung unsur mistik, pengobatan supranatural, serta rekayasa informasi dan hiburan melalui lembaga penyiaran atau platform digital.
Kemudian, dilarang menayangkan isi dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik.
Pasal mengenai penghinaan dan pencemaran nama baik ini kerap dianggap sebagai pasal karet, karena berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis/pers.
“Kita sepakat bahwa sistem tata negara menggunakan demokrasi. Dan pers merupakan pilar keempat dari demokrasi. Pers memiliki tanggung jawab sebagai kontrol sosial agar proses bernegara berjalan transparan dan akuntabel dan sepenuhnya memenuhi hak-hak publik,” kata Ketua Umum Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI) Pusat, Herik Kurniawan.
Sementara itu, Pengamat politik dari Universitas Nasional (Unas), Selamat Ginting, menekankan pentingnya jurnalisme investigasi dalam negara demokrasi.
Pernyataan tersebut menjadi sorotan menyusul polemik terkait larangan penayangan jurnalistik investigasi dalam draf revisi Undang Undang Penyiaran.
“Peran jurnalisme investigasi sangat dibutuhkan, karena pers merupakan pilar keempat demokrasi agar lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga tinggi negara lainnya akuntabel,” katanya saat dikonfirmasi, Rabu 15 Mei 2024.
Ginting menilai bahwa pers harus membuat pemerintah akuntabel dengan memberikan informasi mengenai hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, termasuk mengungkap pelanggaran atau kejahatan oleh pihak yang berwenang.
“Di situ ada logika checks and balances dalam sistem demokrasi,” katanya.
Menurutnya, sebagai pilar keempat demokrasi, jurnalisme investigasi memiliki peran vital dalam memantau kinerja lembaga-lembaga demokrasi.
Ginting menegaskan bahwa elite politik harus menerima kenyataan baik dan buruk yang diungkapkan media massa untuk menjaga integritas demokrasi.
“Misalnya terjadi pelanggaran etika politik, hukum, dan ekonomi yang bisa ditindaklanjuti aparat penegak hukum. Itulah kontribusi jurnalisme investigasi,” paparnya.
Menurutnya, jurnalisme investigasi adalah tugas suci dalam menyelidiki kejanggalan yang dapat merugikan kepentingan publik, bahkan jika itu berisiko tinggi.
“Karena media massa menjadi sumber informasi utama publik dalam memengaruhi kehidupan warga negara,” tutupnya.(disway.id/arie)












