SAMARINDA – Siapa yang paling menderita ketika orangtua memilih untuk bercerai? Tentu saja anak yang menjadi korban.
BM (13), menjadi korban peliknya kehidupan berumah tangga, memilih tinggal seorang diri di hutan.
Warga yang merasa iba sempat menampung bocah terlantar tersebut. Namun bocah sekolah dasar itu merasa merepotkan pemilik rumah.
Sehingga BM memilih tinggal di tenda di area hutan kota, di Jalan Wahid Hasyim/Gang Salam RT 13, Kelurahan Sempaja Selatan, Kecamatan Samarinda Utara, selama hampir satu bulan.
Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan Anak (TRC PPA) Kaltim, Rina Zainun menceritakan, BM tidak memiliki tempat tinggal tetap, sejak kedua orangtuanya bercerai.
“Anak itu tinggal tidak menentu. Kadang, dia di pihak keluarga ayah, kadang juga dengan keluarga ibu. Dia merasa tidak nyaman dengan lingkungan keluarganya dan memilih untuk tinggal sendiri,” ujar Rina, dikutip dari Antara, Rabu (15/11/2023).
Bahkan, kata Rina, BM sempat tidur berpindah-pindah. Dari halaman masjid, emperan toko, bahkan teras rumah warga.
Sebenarnya ada Ketua RT setempat yang merasa iba dan mengajak BM tinggal di rumahnya. Namun, kondisi ini hanya berlangsung selama dua bulan.
“BM merasa dirinya merepotkan dan keluar lagi dari rumah Pak Ketua RT. Dia kemudian tinggal di tenda yang dipinjamkan oleh Bu Dwi dan Bu Yana di kebun mereka, selama hampir sebulan,” tuturnya.
Menurut Rina, warga di sekitar kebun sebenarnya merasa resah dengan kondisi BM dan mencoba mengembalikannya kepada ibunya. Tapi sang anak menolak.
“Anak itu tidak mau kembali dengan ibu kandungnya. Bahkan, kami juga sudah berkoordinasi dengan ayahnya, tapi dia tetap tidak mau. Dia ingin menjadi anak negara dan tinggal di pondok pesantren,” kata Rina.
TRC PPA Kaltim kemudian membawa anak itu ke pondok pesantren di wilayah Samarinda Utara yang menerima anak-anak tidak mampu secara gratis.
“Anak itu sudah kelas 3 sekolah dasar, tapi terlambat 4 tahun karena tidak sekolah secara rutin. Kami berharap dia bisa mengikuti paket pendidikan di pondok pesantren agar bisa melanjutkan pendidikannya,” ujarnya.
Rina menambahkan, pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Samarinda.
“Anak itu menjadi korban perpisahan dengan orang tua. Kami selalu menyampaikan, boleh gagal menjadi suami-istri, tapi jangan gagal menjadi orang tua. Kami berharap anak itu bisa mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” kata Rina.
Sementara itu, Kepala UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Dinas Kependudukan, Perlindungan Perempuan dan Anak (DKP3A) Provinsi Kalimantan Timur, Kholid Budhaeri mengatakan sudah mengirim tim.
“Kami menindaklanjuti terkait kasus anak tersebut dan tim kami sudah turun ke lapangan. Kami mendapati laporan anak itu sudah di pondok pesantren dan sudah ditangani Tim Reaksi Cepat (TRC) PPA Kaltim. Langkah selanjutnya, kami akan menghubungi pondok pesantren untuk memastikan kondisi anak tersebut,” kata Kholid di Samarinda, Selasa (14/11/2023).
Kholid menjelaskan, pihaknya akan berkolaborasi dengan dinas terkait untuk menindaklanjuti penanganan BM.
“Kasus itu sebenarnya ranah Dinas Sosial. Kami akan berkolaborasi dengan Dinas Sosial Samarinda, kemudian dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kota Samarinda, serta Dinas Pendidikan Samarinda,” ujarnya.
Kholid menambahkan, pihaknya juga sedang menghubungi orang tua BM, karena sang anak masih tanggung jawab orang tua. Pihak dinas, menurut Kholid akan menggali masalah kenapa BM tidak mau gabung ke orang tuanya.
Jika BM tidak mau kembali ke orang tuanya, dia akan dirawat ke panti asuhan. Namun, keputusan itu tetap harus ada tanggung jawab dari orang tua walaupun mereka sudah bercerai.
“Kami masih menggali informasi dari tim yang kami tugaskan di lapangan. Kami berharap anak itu bisa mendapatkan perlindungan dan pendidikan yang layak, serta bisa kembali bersama keluarganya,” demikian Kholid. (HARIADI)