2 Tahun Tak Terima Bantuan

Belum Ada Tambahan Koleksi Buku Braille di Perpustakaan Berau

Sudah 2 tahun perpustakaan Berau tak menambah koleksi buku braille. (Azwini/Disway Kaltim)

DINAS Perpustakaan dan Kearsipan (Dispusip) Kabupaten Berau mengaku sudah dua tahun terakhir tidak lagi menerima bantuan buku Braille dari pemerintah pusat. Padahal, buku dengan huruf timbul itu menjadi sumber utama bagi penyandang tunanetra untuk mengakses bacaan dan informasi.

Kepala Dispusip Berau, Yudha Budisantosa mengatakan, bantuan buku Braille sebelumnya rutin diterima setiap tahun. Namun, dalam dua tahun terakhir pihaknya sudah tidak menerima bantuan tersebut.

“Biasanya kami dapat kiriman setiap tahun, tapi dua tahun ini tidak ada lagi. Padahal buku Braille sangat penting agar teman-teman tunanetra tetap bisa membaca dan menambah pengetahuan,” ujar Yudha.

Meski belum ada tambahan koleksi, Yudha memastikan stok buku Braille di Perpustakaan Daerah Berau masih mencukupi. Buku-buku tersebut disimpan di ruang khusus dan hanya dapat dibaca di tempat agar kondisinya tetap terjaga.

“Karena terbatas jadi buku Braille tidak bisa kami pinjamkan, hanya boleh dibaca disini, kami sediakan ruang baca yang ramah difabel supaya pengunjung tunanetra tetap nyaman,” jelasnya.

Namun, ia mengakui tanpa dukungan bantuan baru, koleksi buku Braille berisiko menipis dan tertinggal dari perkembangan pengetahuan terkini.

Ia menilai pemerintah pusat perlu kembali memperhatikan kebutuhan literasi bagi kelompok difabel.

“Kami ingin memastikan bahwa hak untuk membaca dan belajar berlaku bagi semua kalangan, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan penglihatan,” ucapnya.

Selain menunggu bantuan dari pusat, Dispusip Berau juga membuka ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi melalui donasi buku Braille. Menurut Yudha, keterlibatan masyarakat bisa menjadi langkah nyata memperkuat akses literasi inklusif di daerah.

Yudha menegaskan, pihaknya terus berupaya menjaga agar layanan perpustakaan tetap inklusif dan mudah diakses oleh semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas. Menurutnya, perhatian terhadap kelompok difabel tidak cukup berhenti pada tataran wacana, tetapi harus diwujudkan dalam langkah konkret yang memastikan mereka mendapat kesempatan setara untuk belajar.

“Literasi itu kan hak setiap orang. Kami ingin perpustakaan itu menjadi ruang belajar yang benar-benar terbuka bagi semua pihak, tanpa terkecuali,” kata Yudha. (MAULIDIA AZWINI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *