Ganti Untung jadi Motif

Tiga tahun terakhir, kasus penyalahgunaan lahan Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) di Kabupaten Berau, tercatat satu kali dengan melibatkan dua pelaku. Motifnya berupaya mendapatkan ganti rugi atau ganti untung atas tanah Garapan yang telah dikelola.

Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Kejaksaan Negeri Berau, Ito Aziz Wasitomo. Ketika ditemui di ruangannya pada Selasa (3/10), Ito Aziz menyebut, bentrok terkait lahan KBK biasanya bersinggungan dengan konsesi tambang milik perusahaan yang memiliki kontrak dengan negara. Namun, selama Dia bertugas di Berau, baru satu kasus yang terungkap terkait dengan penyalahgunaan lahan KBK, tepatnya di Kampung Gurimbang yang melibatkan dua orang pelaku, dan saat ini sedang dalam proses di persidangan.

“Tahun 2022 diproses di Polres Berau, kemudian tahun 2023 kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan,” ucapnya.

Pembuatan kelompok tani menjadi cara yang dilakukan dalam melancarkan aksi, dengan tujuan mendapatkan dana ganti rugi ketika lahan tersebut digunakan untuk aktivitas tambang, selain memang ingin memanfaatkan lahan kehutanan dan mengklaim kepemilikan. Karena tidak memiliki lahan secara sah, maka kelompok tani yang dibentukpun tidak didaftarkan kepada dinas terkait.

“Bisa dibilang strategi oknum untuk mendapatkan ganti untung,” tegasnya.

Lebih lanjut, negara selalu hadir untuk melindungi dan membantu masyarakat adat atau kelompok masyarakat yang telah sejak lama mendiami suatu kawasan. Namu, fakta yang terjadi di lapangan, ada beberapa oknum yang mencoba mengambil untung dari penyalahgunaan lahan KBK. Ironisnya lagi Kawasan hutan itu merupakan wilayah konsesi dari perusahaan, baik itu perusahaan di bidang Hutan Tanam Industri (HTI) maupun perusahaan tambang.

“Mereka yang hidup di situ, bercocok tanam dan mencari penghidupan di lokasi tersebut, itulah yang diberikan ruang oleh pemerintah dengan melepaskan Kawasan, bukan orang baru yang mencoba membuka lahan,” papar Ito Aziz.

Terpisah, Staf Pengelola Perencanaan KPHP Berau Tengah, Dedi Agus Supiyan menuturkan, masyarakat tidak diperbolehkan melakukan kegiatan atau pengelolaan lahan KBK. Pihaknya tetap melakukan pengawasan terhadap lahan KBK yang ada di Kabupaten Berau, khususnya di lima kecamatan wilayah kerja Berau Tengah.

“Tidak bisa disertifikatkan, jadi masyarakat tidak bisa menggunakan lahan KBK, tapi yang terjadi masih saja ada yang menggunakan lahan KBK, biasanya disebut perambahan,” tegasnya.

Dirinya mengaku memahami apabila terdapat sejumlah masyarakat yang menggantungkan kehidupannya dari hasil hutan, sehingga tidak bisa melakukan penindakan terhadap praktik tersebut. Namun, ada solusi yang diberikan oleh pemerintah bagi masyarakat yang memanfaatkan lahan KBK seperti sekema pertanian kemitraan kehutanan, atau yang biasa disebut dengan kehutanan sosial.

“Selama untuk mencari nafkah sebenarnya bisa mencari jalan keluar melalui program hutan sosial, dengan catatan masyarakat yang menggunakan lahan tersebut memang sudah lama, bukan baru akan melakukan perambahan,” ucapnya.

Ia menegaskan, yang menjadi permasalahan justru masyarakat yang baru membuka lahan dan bersikeras ingin memiliki lahan KBK , justru oknum masyarakat yang seperti itu yang harus ditindak.

“Misal sudah 20 tahun lebih menanam, itu bisa diajukan perubahan status lahan,” pungkasnya. (RAMA/ARIE )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *