GARA-GARA PUSAT

Silpa Kaltim Tinggi, Dana Fiktif Tak Ditransfer

Caption: Gubernur Kaltim Rudy Mas'ud dan Wagub Seno Aji menjelaskan bahwa tingginya Silpa Pemprov Kaltim disebabkan oleh keterlambatan transfer dana dari pusat dan teknis pelaksanaan anggaran, Serta penyertaan silpa fiktif dari anggaran karbon. (Disway/Mayang Sari)

Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) mencatatkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) sebesar Rp 2,5 triliun dalam laporan keuangan tahun anggaran 2024, bukan tanpa alasan. Ternyata, salah satunya gara-gara pemerintah pusat.

Jumlah Silpa itu, dinilai cukup besar, terlebih diiringi dengan 27 temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pelaksanaan APBD. Menanggapi hal tersebut, Gubernur Kaltim Rudy Mas’ud dan Wakil Gubernur Seno Aji menyampaikan klarifikasi mengenai besarnya Silpa yang tinggi itu.

Mereka menyebutkan, sejumlah faktor struktural dan teknis yang menyebabkan dana tidak terserap secara optimal pada tahun lalu, termasuk keterlambatan transfer dari pemerintah pusat, dan mekanisme belanja yang masih terbentur birokrasi.

Gubernur Rudy Mas’ud mengatakan, bahwa Silpa yang cukup besar terutama berasal dari beberapa Organisasi Perangkat Daerah (OPD) strategis, yang menerima dana dalam jumlah besar namun pencairannya datang terlambat.

“Minimum Silpa di Dinas Kehutanan saja mencapai Rp 250 miliar. Belum lagi di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) yang Silpanya bisa mencapai Rp 500 miliar,” ungkap Rudy.

Menurut dia, kondisi tersebut terjadi karena proses transfer anggaran dari pemerintah pusat baru masuk menjelang akhir tahun anggaran, salah satunya pada bulan Agustus 2024. Karena waktu pelaksanaan kegiatan yang sudah mepet, sejumlah anggaran akhirnya tidak bisa digunakan dan terakumulasi sebagai Silpa.

“Kita tidak mungkin melaksanakan kegiatan dalam waktu dua atau tiga minggu. Apalagi untuk proyek fisik atau rehabilitasi kehutanan, ada proses lelang, verifikasi, dan pengawasan. Itu semua butuh waktu,” kata Rudy.

Rudy juga meluruskan persepsi publik, tentang besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kaltim yang pada 2024 tercatat sebesar Rp 20,67 triliun. Ia menekankan bahwa tidak semua dana tersebut menjadi kewenangan pengelolaan Pemprov Kaltim.

“Sebagian besar adalah dana bagi hasil dan transfer yang merupakan hak kabupaten dan kota. Misalnya, dari Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB), totalnya sekitar Rp 6 triliun, tapi 70 persen atau sekitar Rp 4,8 triliun langsung ditransfer ke kabupaten dan kota,”paparnya.

Artinya, kemampuan belanja riil Pemprov jauh lebih kecil dibanding total angka dalam dokumen APBD. Menurut Rudy, hal ini perlu dipahami masyarakat agar tidak terjadi persepsi keliru bahwa Pemprov ‘menumpuk’ uang tanpa penyerapan.

DANA KARBON JADI SILPA FIKTIF

Sementara itu, Wakil Gubernur Kaltim Seno Aji menyatakan, bahwa pihaknya tetap berkomitmen untuk menyelesaikan seluruh catatan yang diberikan oleh BPK. Ia menegaskan bahwa laporan pertanggungjawaban keuangan tahun 2024 telah disetujui dan saat ini fokus diarahkan pada tindak lanjut rekomendasi BPK.

“Laporan pertanggungjawaban sudah disetujui dan kita tetap konsisten untuk menyelesaikan semua arahan dari BPK,”ujar Seno, Rabu (30/7/2025).

Menurutnya, banyak dari temuan tersebut bersifat administratif dan teknis, yang membutuhkan koordinasi antara organisasi perangkat daerah (OPD) serta dukungan dari kementerian terkait.

Seno juga menyoroti, salah satu penyebab membengkaknya angka Silpa, yakni masuknya beberapa pos anggaran dalam APBD yang pada praktiknya tidak pernah diterima secara riil. Salah satunya adalah dana karbon yang disalurkan oleh pemerintah pusat, Namun hingga akhir tahun anggaran tersebut tidak pernah dicairkan.

“Dalam perhitungan APBD, dana itu dimasukkan, tapi tidak ada dananya dari pusat. Maka kami meminta ke Kementerian Dalam Negeri agar mencoret dana-dana tersebut supaya tidak membebani daerah,” jelasnya.

Ia menekankan, bahwa dana-dana yang tidak kunjung masuk ini seharusnya tidak dihitung sebagai Silpa, karena tidak pernah menjadi kas yang dikelola oleh daerah. Apabila tetap dicatat dalam neraca, hal itu akan menimbulkan kesan seolah-olah pemerintah daerah tidak mampu menyerap anggaran. Padahal, faktanya anggaran tersebut tidak pernah tersedia.

“Kalau dimasukkan, nanti seolah-olah itu Silpa, padahal tidak ada dana dari pusat yang masuk. Jadi angka riil Silpa kita itu sekitar Rp 2,4 triliun,” jelas Seno.

Di sisi lain, Seno juga mengakui, bahwa serapan anggaran Kaltim tahun 2025 hingga pertengahan tahun masih rendah, dan Kaltim bahkan masuk dalam daftar 10 provinsi dengan serapan anggaran terendah di Indonesia.

Namun demikian, ia menyatakan bahwa kondisi itu perlahan mulai diperbaiki, seiring dengan perbaikan teknis dan penyesuaian proses keuangan.

“Kami berharap pada awal hingga pertengahan Agustus, serapan anggaran sudah jauh lebih tinggi. Tadi kami juga sudah rapat dengan asosiasi OPD dan mereka menyatakan siap mempercepat pelaksanaan program,” ujar dia.

Lanjutnya,  bahwa salah satu hambatan adalah mekanisme uang muka, yang memerlukan persyaratan administrasi cukup ketat, terutama pada proyek konstruksi dan pengadaan.Silpa yang ada akan dimasukkan dan dibahas dalam mekanisme Perubahan APBD 2025 (APBD-P). Pemerintah Provinsi akan memastikan bahwa sisa anggaran tersebut digunakan untuk program-program prioritas dan layanan publik, bukan sekadar ditumpuk atau mengendap.

“Silpa akan masuk dalam pembahasan perubahan anggaran. Kita pastikan penggunaannya efektif dan tepat sasaran,” kata Seno.

Ke depan, sinkronisasi antara Pemprov dan pemerintah kabupaten/kota akan diperkuat, terutama dalam hal perencanaan program lintas sektoral. Tujuannya adalah agar penyaluran dana transfer dan pelaksanaan kegiatan di lapangan tidak saling tumpang tindih dan dapat diserap optimal. (mayang/arie)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *