Penambangan batu bara ilegal di Kalimantan Timur (Kaltim) masih terus terjadi, pengawasan dianggap lemah, dan seolah terjadi pembiaran.
Sekretaris DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin, menyampaikan keprihatinannya terhadap tata kelola pertambangan. Menurutnya, upaya legislatif daerah sudah maksimal, namun belum didukung dengan eksekusi yang efektif oleh berbagai pemangku kepentingan.
“Kami cukup merasa sedikit frustrasi melihat proses tata kelola pertambangan di Kalimantan Timur,” kata Salehuddin dalam pernyataannya kepada nomorsatukaltim (Disway Grup), Senin, 21 Juni 2025.
Padahal, kata Dia, DPRD Kaltim telah membentuk Panitia Khusus (Pansus), serta merevisi beberapa peraturan daerah (perda) terkait pertambangan. Namun, kendala justru muncul pada tataran eksekusi yang dianggap tidak berjalan sebagaimana mestinya.
“Pada intinya memang proses eksekusinya yang mungkin tidak mudah. Ada beberapa kewenangan pertambangan yang tidak hanya di provinsi tapi juga di pusat,” jelasnya.
Salehuddin juga menyoroti lemahnya penindakan terhadap aktivitas tambang ilegal. Menurutnya, keberadaan aparat penegak hukum (APH) dan Gakkum (Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan) seharusnya mampu memberikan efek jera kepada pelaku tambang ilegal.
“Kalau sudah tambang ilegal, yang namanya ilegal sebenarnya harusnya ditindak. Siapa yang menindak? Aparat hukum. Entah itu dalam level provinsi, Kejati misalnya, Polda, Gakkum,” ujarnya.
Sebagai bentuk keseriusan, DPRD Kaltim bahkan telah merekomendasikan kasus-kasus pertambangan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), guna mengawasi dan mendorong perbaikan tata kelola sektor tersebut.
“Jadi saran saya memang satu, penindakan. Pengawasan dan penindakan yang dilakukan atau rekomendasi yang disampaikan oleh DPRD juga harus ditindaklanjuti oleh kementerian,” ungkapnya.
Lanjutnya, dari regulasi sebenarnya sudah jelas, hanya saja yang perlu dimaksimalkan adalah pelaksanaannya. Oleh karena itu, Ia mendorong agar kementerian, aparat penegak hukum, serta organisasi masyarakat sipil turut bertanggung jawab.
“Saya pikir ini menjadi trigger untuk bagaimana melakukan proses eksekusi, investigasi terhadap beberapa penyimpangan tata kelola pertambangan di Kalimantan Timur. Semua harus dilibatkan, semua harus bertanggung jawab,” tutupnya.
Seperti diketahui, belum lama ini, aktivitas tambang ilegal di Kalimantan Timur kembali terungkap. Bareskrim Polri menemukan penyelundupan 351 kontainer batu bara yang diduga dari kawasan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto.
Kegiatan, diduga telah berlangsung sejak 2016 dan luput dari pemantauan selama hampir satu dekade. Dalam operasi itu, polisi menyita ratusan kontainer batubara ilegal, sejumlah alat berat, dan menangkap tiga tersangka.
Modusnya, batu bara dari tambang tanpa izin dikumpulkan dan disimpan di stock rom atau gudang, dikemas dalam karung, lalu dikirim melalui jalur laut dari Pelabuhan Kariangau Terminal (KKT) Balikpapan ke Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
Adapun temuan yang diungkap, para pelaku menggunakan dokumen resmi milik perusahaan berizin seperti PT MMJ dan PT BMJ. Dokumen tersebut dipalsukan sehingga batu bara ilegal tercatat seolah berasal dari tambang legal. Pemalsuan ini digunakan untuk menyamarkan asal usul batu bara.
“Penggunaan dokumen IUP milik perusahaan resmi menunjukkan adanya potensi keterlibatan yang lebih luas mulai dari perusahaan, pelabuhan, transportasi hingga otoritas pengawas,” kata Peneliti Publish What You Pay (PWYP) Indonesia, Adzkia Farirahman, dalam keterangannya, pada Senin 21 Juli 2025.
PWYP menilai, keberadaan tambang ilegal di wilayah prioritas nasional sejak 2016 menunjukkan lemahnya pengawasan sektor minerba. Apalagi lokasi tambang berada di kawasan konservasi dan jantung pembangunan ibu kota baru.
“Ini bukan insiden biasa, tapi kegagalan pengawasan. Bagaimana mungkin aktivitas tambang ilegal berlangsung hampir 10 tahun di jantung pembangunan nasional tanpa diketahui?” lanjut Azil, sapaan akrabnya.
Pernyataan Menteri ESDM bahwa pengawasan hanya dilakukan terhadap tambang legal juga dipersoalkan. Koalisi masyarakat sipil menganggap, pendekatan ini tidak cukup untuk mencegah menjamurnya aktivitas tambang tanpa izin.
PWYP pun menyoroti kinerja Satgas Penanganan Tambang Ilegal yang dibentuk Otorita IKN sejak 5 September 2023. Meski sudah hampir dua tahun dibentuk, satuan tugas ini belum menunjukkan capaian signifikan dalam mengendalikan aktivitas tambang liar di kawasan IKN.
“Keberadaan tambang ilegal berskala besar selama bertahun-tahun tanpa terdeteksi membuktikan bahwa pengawasan masih lemah dan koordinasi lintas instansi belum berjalan optimal. Evaluasi menyeluruh terhadap Satgas menjadi keharusan, agar tidak hanya menjadi formalitas,” tegasnya.
Sebagai langkah korektif, PWYP mendorong Kementerian ESDM untuk segera melakukan audit menyeluruh terhadap seluruh izin usaha pertambangan (IUP) di sekitar IKN. Selain itu, penguatan sistem pemantauan digital yang terintegrasi dengan verifikasi lapangan diperlukan untuk mendeteksi pelanggaran lebih dini.
Azil juga menggarisbawahi pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses pengawasan, agar tata kelola pertambangan berlangsung lebih transparan dan akuntabel.
“Ekspoitasi ilegal di kawasan konservasi seperti Tahura Bukit Soeharto tidak hanya berdampak ekologis, tetapi juga bertolak belakang dengan visi pembangunan IKN yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Koordinator Pokja 30 Kaltim, Buyung Marajo, yang tergabung dalam koalisi PWYP, menekankan bahwa kasus ini bukan satu-satunya indikasi lemahnya pengawasan pertambangan di Kalimantan Timur.
Ia menyebut, masih banyak aktivitas serupa yang belum terungkap.”Kami mengapresiasi langkah Bareskrim Polri, namun pertanggungjawaban tidak bisa berhenti pada tiga pelaku lapangan. Harus ditelusuri siapa saja yang menjadi penerima manfaat dari rantai distribusi batubara ilegal ini,” ucap Buyung.
Selain itu, minimnya peran aparat penegak hukum di daerah dalam mengungkap kasus serupa. “Kalau hanya Bareskrim yang bergerak, ke mana peran Polda Kaltim, pemerintah daerah, dan Otorita IKN? Harus ada evaluasi kinerja mereka dalam menghadapi aktivitas ilegal yang merugikan negara,” pungkasnya.
PWYP sebelumnya mencatat kerugian negara akibat tambang ilegal ini mencapai Rp5,7 triliun. Rinciannya, Rp3,5 triliun berasal dari deplesi batu bara, dan Rp2,2 triliun dari kerusakan lingkungan.
Diketahui, nilai tersebut dinilai menjadi alarm serius atas masih lemahnya tata kelola dan pengawasan sektor minerba, bahkan di wilayah yang disebut sebagai kawasan strategis nasional.(nizar/salsa/arie)